KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Upaya menagih utang via meja hijau diprediksi akan makin meningkat pada tahun ini. Sepanjang 2018, hingga Kamis (21/6), dari laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara di lima pengadilan niaga (Medan, Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Makassar), KONTAN mencatat ada 117 permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), dan 46 permohonan pailit yang didaftarkan. Rinciannya, ada 76 permohonan PKPU, dan 18 permohonan pailit di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Sebanyak 8 permohonan PKPU, dan 2 permohonan pailit di Pengadilan Niaga Medan. Lalu 12 permohonan PKPU, dan 17 permohonan pailit di Pengadilan Niaga Semarang. Sebanyak 16 permohonan PKPU, dan 3 permohonan pailit di Pengadilan Niaga Surabaya. Juga 5 permohonan PKPU, dan 1 permohonan pailit di Pengadilan Niaga Makassar. Sedangkan pada tahun-tahun sebelumnya, pada 2016 ada 143 permohonan PKPU, dan 67 permohonan pailit. Pada 2017 ada 162 permohonan PKPU, dan 68 permohonan pailit. Dihitung secara triwulan, jumlah permohonan pada triwulan II (April-Juni) 2018 pun melonjak lebih dari 50% dibanding triwulan I (Januari-Maret). Sebab dari data yang dihimpun KONTAN, sepanjang 2018 dengan data terakhir hingga 22 Maret 2018 ada 58 permohonan PKPU, dan 19 permohonan pailit. Perusahaan manufaktur jadi debitur terbanyak, dengan 29 permohonan PKPU, dan 2 permohonan pailit sepanjang 2018. Yang menarik datang dari sektor properti. Pada triwulan I 2018, ada 13 permohonan PKPU kepada perusahaan properti, terutama pengembang. Sementara pada triwulan II, ada 12 permohonan PKPU, dan 2 permohonan pailit. Sehingga sepanjang semester I, sudah ada 25 permohonan PKPU, dan 2 permohonan pailit kepada perusahaan properti. Bukan sekadar uang Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) Nien Raffles Siregar dari kantor hukum Siregar Setiawan Manalu mengatakan, meski bukan faktor utama, perkara niaga yang ditujukan kepada perusahaan properti paling diajukan oleh konsumen. "Paling banyak memang dari konsumen, karena pembangunannya tersendat, definisi utang pun memang bukan hanya uang, bisa berbentuk barang, termasuk properti yang tidak diserahkan sesuai perjanjian misalnya," jelasnya kepada KONTAN, Kamis (21/6). Meski demikian, ia menyatakan penagihan utang melalui jalur hukum kepada pengembangan properti oleh lonsumen, butuh kehati-hatian. Sebab jika terjadi pemberesan aset, konsumen hanya akan menjadi kreditur konkuren (tanpa jaminan). "Tanpa adanya investor, kalau terjadi pemberesan setelah pailit, maka konsumen hanya akan jadi konkuren, karena untuk proyek-proyek properti yang belum jadi, mereka hanya pegang Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), tanpa ada sertifikat kepemilikan," jelasnya. Hal ini pula yang jadi perhatian Arin Tjahjadi Maulana, salah satu pengurus PKPU PT Kagum Lokasi Emas, pengembang Apartemen Grand Asia Afrika di Bandung. Kagum yang resmi masuk proses PKPU pada 19 April 2018 lalu, mulanya dimohonkan oleh dua orang pembeli apartemennya lantaran belum menerima serah terima unit yang dijanjikan sejak 2015. "Pengurus tidak bicara sampai pailit, justru fokus kita bagaimana debitur bisa merestrukturisasi kewajibannya, dan konsumen bisa menerima unit yang dibelinya. Lagipula proyek ini sudah lama," kata Arin saat dihubungi KONTAN, Kamis (21/6). Sementara dalam proses PKPU, ada 226 kreditur yang terdaftar dengan nilai tagihan mencapai Rp 426 miliar. Terakhir, pada awal 4 Juni 2018 lalu, Kagum Lokasi diputuskan majelis hakim masuk proses PKPU tetap selama 60 hari yang akan berakhir pada 6 Agustus 2018. Lawan besar Mengajukan pailit kepada perusahaan properti memang terhitung riskan, namun bukan berarti hal tersebut nihil. PT Kapuk Naga Indah, sempat dijaukan pailit oleh dua orang konsumennya pada 9 April 2018. Polanya sama, Kapuk Naga belum melakukan serah terima unit kepada pembelinya. Sayangnya permohonan ini kemudian dicabut tanpa alasan yang jelas. Kedua pemohon justru sempat memuat iklan permohonan maaf atas pengajuan pailit kepada Kapuk Naga pada 2 Mei 2018 di Harian Kompas, dan Harian Tempo. Teranyar, pengembang megaproyek Meikarta yaitu PT Mahkota Sentosa Utama dimohonkan untuk merestrukturisasi utang-utangnya melalui jalur PKPU. Bedanya, pemohon tak berasal dari konsumen melainkan vendor yaitu PT Relys Trans Logistics, dan PT Imperia Cipta Kreasi. Dua perusahaan ini mengajukan upaya PKPU Meikarta belum membayar biaya promosi yang dilakukan oleh Relys dan Imperia sebagai vendor yang mempromosikan Meikarta di pusat perbelanjaan dan kantor yang nilainya mencapai puluhan miliar. Namun pihak Meikarta membantah hal ini, Direktur Mahkota Danang Kemayan Jati bilang Meikarta telah membayar kedua vendor, dan merasa tagihan yang diajukan janggal, dan belum bisa diverifikasi secara internal. DIa memberikan contoh misalnya, Relys yang merupakan perusahaan freight forwarding bisa mendapatkan pekerjaan dari Meikarta sebagai event organizer. Meski demikian, proses persidangan akan tetap berjalan. Setelah sidang perdana pada 5 Juni 2018 lalu, sidang selanjutnya akan dilakukan pada Senin (25/6) mendatang. Danang menambahkan pihaknya juga telah menunjuk kuasa hukum, sebab pada sidang perdana, Danang datang sendiri tanpa kuasa hukum. Kita sudah menunjuk kuasa hukum, Ibu Sarmauli Simangunsong dari Nindyo Asociates Law Firm," kata Danang saat dihubungi KONTAN, Kamis (21/6). Utang obligasi macet Selain properti, sektor multifinance juga jadi catatan penting dalam perkara niaga semester I 2018. Tentu yang paling banyak menyedot perhatian perkara PT Sunprima Nusantara Pembiayaan alias SNP Finance. Anak usaha Grup Columbia ini tercatat punya rating bagus di sektor multifinance, hingga akhirnya muncul kasus gagal bayar bunga Medium Term Nites (MTN) yang dirilis Sunprima. Puncaknya, dua orang pegawainya mengajukan permohonan pailit kepada Sunprima pada 18 April 2018. Permohonan ini kemudian dibalas pleh Sunprima dengan mengajukan PKPU sukarela pada 2 Mei 2018, dan akhirnya kini Sunprima diharuskan merestrukturisasi utangnya melalui PKPU. Perkara ini kemudian membuka banyak masalah yang dimiliki Sunprima, mulai adanya dugaan pemalsuan laporan keuangan, hingga akhirnya ijin Sunprima dicabut Otoritas Jasa Keuangan (OJK). "Semua itu kan masih dugaan, kami berharap debitur memang bisa menyelesaikan seluruh kewajibannya dalam proses PKPU ini. kata kuasa hukum kreditur Sunprima yang enggan disebut namanya. Sementara menanggapi hal ini, Raffles menjelaskan perusahaan pembiayaan atau investasi juga punya resiko besar jika pailit. Terlebih kini banyak pula investasi-investasi bodong. "Normalnya, perusahaan investasi dan pembiayaan ini kan mengandalkan piutang, Account Receivable (AR), nah piutang seret saja sebenarnya bisa bermasalah, apalagi kalau investasinya bodong, kemudian uang masyarakat dibawa lari pemilik. Karena kalau begitu tak bisa masuk budel pailit. Aset tetap pun biasanya tak ada, kantornya sewa," jelas Raffles. Setali tiga uang, meski beresiko tinggi tetap saja ada perusahaan multifinance atau investasi yang kena pailit. PT Rimba Hijau Investasi misalnya yang berujung pailit, para kreditur menolak berdamai (homologasi) saat proses PKPU.
Rimba Hijau yang menawarkan investasi berupa logam mulia dalam proses PKPU punya tagihan senilai Rp 27,76 miliar dari 149 kreditur. Namun lantaran telah masuk proses pailit, nilai ini diprediksi akan meningkat. Sementara soal aset, apa yang disebut Raflles pun terjadi. Salah satu kurator pailit Rimba Hijau Anggiat Marulitua Sinurat, ketika dihubungi KONTAN awal Juni lalu mengaku, kurator turut kesulitan menyisir aset dalam rangka pemberesan. "Sampai sekarang sih belum ada yang bisa masuk budel pailit, kantor-kantor cabang pun statusnya sewa, tapi kita cari terus sesuai yang dilaporkan debitur kalau dia punya aset tanah, bangunan dan lainnya," kata Anggiat kala itu. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia