Sektor properti di China tengah menghadapi musim dingin



KONTAN.CO.ID - BEIJING. Pengembang properti di China biasanya sangat menantikan periode bulan September dan Oktober. Pasalnya, pada periode dua bulan ini, permintaan properti cenderung meningkat, bahkan acapkali dua bulan ini disebut September emas dan Oktober perang.

Namun nyatanya, tahun ini kondisinya tak sesuai dengan ekspektasi. Pasalnya, tahun ini kondisi pasar properti di China cenderung melambat. Padahal, banyak pengembang yang memanfaatkan momentum September dan Oktober untuk menggaet calon pembeli dengan menggelotorkan sejumlah promosi.

Reuters dalam artikelnya yang dimuat Senin (15/10) menyebut, kondisi ini tidak terlepas dari ekonomi China yang kini tengah menghadapi beragam tantangan. Termasuk salah satu penyebabnya yakni perang dagang yang semakin sengit antara China dengan Amerika Serikat. Belum lagi langkah Pemerintah Pusat China untuk menekan easy credit.


Hal ini serupa dengan ucapan musim dingin akan datang atau "Winter is Coming" yang belakangan ini tengah populer paska Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengibaratkan kondisi ekonomi global saat ini dalam IMF-WB Annual Meeting 2018 di Nusa Dua, Bali pekan lalu.

Lantaran, sektor properti merupakan salah satu pilar utama perekonomian di China yang kerap didorog oleh Pemerintah China dalam dua tahun terakhir ini mulai melambat.

Reuters melansir, turunnya tingkat permintaan properti di China disebabkan adanya kenaikan harga properti pada bulan Agustus 2018 lalu. Dus, pengamat sekaligus peneliti properti di China yakni CRIC menyarankan pembeli untuk mengerem rencananya untuk membeli rumah dalam waktu dekat.

Akibatnya, angka penjualan rumah atau properti berdasarkan luas lantai, yang kerap menjadi indikator peniliaian properti di negeri Tirai Bambu turun 27% menurut China's Golden Week holiday di awal Oktober 2018.

Namun untuk periode September, angka tersebut lebih baik alias tumbuh 10%. Salah satu penopang kenaikan di bulan tersebut yakni banyaknya apartemen yang laris terjual di kota-kota besar. Sayangnya, bila dibandingkan dengan September dua tahun lalu, penjualan properti per September 2018 di China merosot sebanyak 29%.

Analisis CRIC di 31 kota menyimpulkan, susutnya daya beli tersebut mencerminkan perlambatan perekonomian di kota-kota kecil China, sebagai akibat pertumbuhan harga properti yang pesat di awal tahun.

Walau demikian, untuk kota-kota besar di China, data penjualan masih menunjukan pertumbuhan yang baik.

"Ada tekanan ke bawah untuk harga rumah, terutama di kota-kota kecil tingkat tiga dan empat. Sebelumnya, harga rumah ini sempat naik paska stimulus kebijakan Pemerintah, dan kini harga tersebut sudah berada di puncak tertingginya," ujar Nomura, Kepala Ekonom Ting Liu.

Alih-alih untuk bertahan hidup, banyak pengembang di China menawarka promosi untuk menjaring pembeli. Termasuk diantaranya dengan memberi mobil gratis dan uang muka 10% dari harga pembelian. Bahkan, ada pula pengembang yang menurunkan harga hingga 30%.

"Ke depan, para pengembangakan menghadapi tekanan modal yang besar dan pasar properti yang semakin sengit dalam dua tahun terakhir ini, telah melampaui permintaan di masa depan, akibatnya pasar akan menghadapi tekanan yang relatif besar," tutur analis CRIC, Xin Shen.

Salah satu contoh pengembang yang memangkas harga, yakni di ibu kota Shanghai dan provinsi Jiangxi Tenggara, pengembang properti Country Garden Holding Co 2007 memotong harga hingga 30%. Praktis hal tersebut mengundang proters dari pembeli rumah yang tak pernah mendapatkan tawaran serupa.

Namun dalihnya, Country Garden menyebut promosi yang berlaku saat ini merupakan upaya normal perusahaan dan hanya diberikan pada pelanggan khusus. Sebelumnya, pengembang China Vanke juga memicu protes sejumlah pelanggannya di kota Timur Xiamen paska penawaran diskon pembeli baru hingga 30%.

Centaline, sebuah perusahaan makelar properti di China juga memotong tunjangan dan bonus bagi karyawannya di Shanghai. Menurut keterangannya, hal ini dilakukan untuk dapat melewati musim dingin sektor properti yang tengah melanda China.

"Dahulu, rata-rata volume transaksi di pasar sekunder Shanghai adalah lebih dari 20.000 unit per bulan. Sekarang, hanya separuhya menjadi sekitar 12.000," ujar Chairman Centaline China, Sherman Lai.

Shermain Lain menambahkan, pada tahun lalu pihaknya berhasil menyerap permintaan berlebih untuk sektor properti di Shanghai dan kota-kota sekitarnya. Namun, tahun ini kota-kota kecil di China telah mengumumkan langkah pengetatan paska adanya lonjakan harga. Akibatnya, ada penurunan tajam untuk penjualan properti baik di dalam maupun luar Shanghai.

"Tahun depan, kondisi pasar akan serupa. Artinya, kita harus dapat menyesuaikan skala dan biaya ke level yang memungkinan untuk bertahan selama musim dingin untuk melihat musim semi. Meningat musim semi masih amat sangat jauh," katanya.

Editor: Narita Indrastiti