JAKARTA. Kondisi sektor properti Indonesia tahun 2015 secara umum dinilai melambat. Hal ini terlihat dari kinerja tingkat hunian, tingkat penjualan, dan pertumbuhan harga, terutama untuk sub-sektor perkantoran, dan apartemen. "Kondisi sekarang, hingga kuartal pertama 2015 lampu kuning. Ini kondisi yang penuh tantangan. Situasi sedang kurang kondusif, ekonomi melemah, banyak yang menunda ekspansi terutama perusahaan pertambangan minyak, dan gas," tutur
Associate Director Reasearch Colliers International Indonesia, Ferry Salanto kepada
Kompas.com, Selasa (7/4) kemarin. Ferry melanjutkan, kinerja perkantoran pada kuartal pertama 2015, nyaris serupa dengan kuartal IV 2014. Pertambahan pasokan baru cukup signifikan. Hingga akhir tahun ini, di area central business district (CBD) Jakarta saja akan bertambah sebanyak 600.000 meter persegi yang masuk pasar. Sementara di area non-CBD akan masuk sekitar 334.206 meter persegi.
Pertumbuhan pasokan baru ini akan terus berlangsung hingga 2019 mendatang dengan jumlah total 2,9 juta meter persegi di CBD. Lebih banyak ketimbang pencapaian dalam kurun 2010-2014 dengan pasokan 300.000 hingga 400.000 meter persegi per tahun. Sedangkan pasokan baru di area non-CBD bertambah 780.000 meter persegi per 2017. Dikhawatirkan pasokan gedung-gedung baru tersebut tidak akan terisi sepenuhnya hingga akhir tahun. Kendati pra komitmen atau total gedung baru yang terserap pasar sudah mencapai 47 %. Namun, pertanyaan besar adalah bisakah seluruh pasokan baru ini terserap pasar? Sementara tingkat permintaan kata Ferry, justru menurun akibat anjloknya harga minyak dunia yang memaksa perusahaan-perusahaan pertambangan minyak, dan gas serta jasa terkait menunda ekspansi, merasionalisasi karyawan, dan menempuh penghematan ongkos operasional. Termasuk mengurangi luas ruang kantor. "Kinerja tingkat hunian sendiri, terutama perkantoran Grade A mengalami penurunan 3,7 % menjadi 92,1 %. Masuknya gedung-gedung baru tersebut akan berkontribusi terhadap tingkat kekosongan hingga akhir tahun ini," tandas Ferry. Harga terkoreksi Tantangan tersebut membuat pengembang akan fokus pada pertumbuhan tingkat okupansi gedung, baik pemilik gedung yang baru beroperasi maupun gedung lama namun tingkat okupansinya rendah. Menurut Ferry, mereka akan menempuh cara yang lebih fleksibel dalam menegosiasikan harga sewa terhadap ruangan yang akan dihuni. "Di pasar sudah terjadi diskon yang cukup besar untuk harga sewa. Pemilik gedung fokus untuk menarik minat penyewa. Meski itu sudah terjadi sejak awal 2014, tetap akan terus berlanjut hingga akhir 2015. Harga yang ditawarkan bisa dinegosiasikan tergantung luas ruang dan penyewa dengan nama besar akan mendapat harga yang lebih rendah," imbuh Ferry. Harga sewa saat semua kelas gedung perkantoran di CBD saat ini mencapai rerata Rp 257.543 per meter persegi per bulan, mengalami penyesuaian 1,8 % secara triwulanan. Sementara gedung yang mematok tarif dalam dollar AS, harganya mencapai rerata 38,18 dollar AS per meter persegi per bulan. Sedangkan harga sewa perkantoran di area non-CBD rerata Rp 191.603 per meter persegi per bulan, dan 21,47 dollar AS per meter persegi per bulan. Apartemen
Untuk sub-sektor apartemen, pasokan baru pada kuartal I 2015 sebanyak 3.255 unit, atau tumbuh hanya 2,3 % dibanding kuartal sebelumnya. Jumlah ini hanya 11 % dari total pasokan yang diproyeksikan masuk pasar hingga akhir 2015 sebanyak 29.451 unit. "Jumlah pasokan baru tersebut anjlok ketimbang periode yang sama pada 2014 lalu sebanyak 7.276 unit atau 115 % lebih tinggi. Jelas anjloknya pasokan baru ini akan membuat persaingan pasar lebih ketat lagi, seiring tingkat serapan juga berkurang sekitar 3,7 %," kata Ferry. Kondisi ekonomi dan politik, imbuh Ferry, juga sangat berpengaruh terhadap sub-sektor apartemen. Banyak calon konsumen dan investor yang memilih menunda pembelian apartemen. (Hilda B Alexander) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto