SINGAPURA. Korea Utara (Korut) memiliki banyak sumber untuk mendanai program senjata nuklirnya. Sebut saja dari jaringan obat-obatan, ekspor batubara, hingga kejahatan siber. Mayoritas upaya pencegahan ujicoba rudal balistik Pyongyang lebih difokuskan pada sekutu lama mereka, yakni China. Tapi yang luput dari perhatian adalah minimnya peraturan di wilayah periferal seperti Afrika dan Asia Tenggara yang juga dinilai berkontribusi besar terhadap pendapatan Korea Utara. Pada awal bulan ini, Washington mengingatkan para menteri dari Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) untuk memutus hubungan dengan Korut.
"Tapi sepertinya negara-negara ASEAN belum siap untuk mengabaikan Pyongyang, setidaknya belum," jelas Kent Boydston, research analyst Peterson Institute untuk Ekonomi Internasional. Dia menambahkan, kecemasan negara-negara Asia Tenggara secara kolektif telah membantu Pyongyang terbang di bawah radar, mengisi pundi-pundi mereka, dan membantu perusahaan-perusahaan kriminal mereka sehingga bisa tetap beroperasi. "Gambaran secara keseluruhan antara ASEAN dan Korut merupakan sebagian dari masalah. Memang, perdagangan Korut-ASEAN relatif kecil, tapi US$ 181 juta per tahun adalah sesuatu," kata Boydston. Dia juga mengingatkan, fakta bahwa adanya hubungan dagang antara seluruh negara ASEAN -kecuali Brunei dan Filipina- dengan Korut juga menjadi masalah. Dia memperingatkan, agen-agen Korut hampir pasti mengambil bagian dalam beberapa tindakan non-diplomatik yang jahat.
"Sudah lama diketahui bahwa Korut menjalankan jaringan pelaku dan entitas jahat dari kedutaan besarnya di luar negeri. Hal inilah yang tengah dicoba untuk dibatasi lewat Resolusi 2321 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa," tambahnya. Berdasarkan catatan Boydston, meski tanpa adanya kedutaan, Manila masih menjadi partner dagang ketiga terbesar Pyongyang di 2016. Pada 2001 dan 2008, pihak berwenang Filipina menyita pengiriman besar, dan sindikat kejahatan internasional mengklaim pada 2013 telah menyimpan satu ton obat terlarang di negara kepulauan tersebut. Sementara itu, undang-undang anti pencucian uang di Filipina dinilai relatif longgar. Hal ini terlihat pada kasus pencurian bank siber tahun 2016 di mana warga Korut diduga mentransfer US$ 81 juta dari Bank Sentral Bangladesh ke Manila. "Dunia harus mengkhawatirkan hal-hal non-proliferasi dan perilaku kriminal lainnya terkait dengan hubungan Filipina-Korut, walaupun dalam sambungan telepon Presiden Donald Trump dengan Presiden Filipina Rodrigo Duterte bulan lalu, isu-isu spesifik ini tidak dibahas," urainya.
Editor: Barratut Taqiyyah Rafie