Selain TKDN, Kementerian ESDM juga merilis beleid LC



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tancap gas untuk mengerem dampak dari penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Selama sepekan ini, setidaknya ada dua Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM yang ditanda tangani Ignasius Jonan pada 5 September 2018, yakni Kepmen ESDM Nomor 1952 K/84/MEM/2018 tentang Penggunaan Perbankan di Dalam Negeri atau Cadangan Perbankan di Luar Negeri untuk Penjualan Mineral dan Batubara ke Luar Negeri dan Kepmen ESDM Nomor 1953 K/06/MEM/2018 tentang Penggunaan Barang Operasi, Barang Modal, Peralatan, Bahan Baku dan Bahan Pendukung Lainnya yang Diperoleh Dalam Negari pada Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral.

Sebelumnya, Jonan mengungkapkan, pihaknya akan berupaya mengendalikan impor dan fokus menggunakan produk dalam negeri atau Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dalam proyek-proyek yang ada di dalam lingkup kementeriannya. Dengan tujuan yang sama, Jonan menegaskan hasil ekspor Sumber Daya Alam (SDA), baik di sektor minyak dan gas(migas) maupun mineral dan batubara (minerba) harus kembali ke dalam negeri.

“Tidak ada tambang dalam bentuk apapun, migas atau minerba yang dimiliki swasta. Yang ada hanya punya izin usaha. Kalau (hasil ekspor) parkir di luar negeri, tak bisa dimanfaatkan untuk keperluan dalam negeri. Jadi kalau ekspor harus kembali,” ujar Jonan dalam konferensi pers di Kantor Kementerian ESDM, Selasa (4/9).


Untuk itu, semua ekspor khususnya di sektor minerba harus menggunakan Letter of Credit (LC). Sehingga, hasil ekspor akan kembali ke Indonesia, baik dalam bentuk dolar AS, atau bisa juga ditempatkan perbankan dalam negeri atau cabang perbankan Indonesia di luar negeri.

Untuk sektor migas, ekspor tidak menggunakan LC lantaran sudah punya mekanisme sendiri yang sejalan dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI). “Mekanisme di hulu migas itu kerjasama antara Bank Indonesia, Dirjen Pajak dan Cukai serta SKK Migas,” kata Kepala SKK Migas, Amien Sunaryadi.

Untuk itu di sektor minerba, kini ada Kepmen ESDM Nomor 1952 K/84/MEM/2018. Isi dari Kepmen ini menegaskan tentang penggunaan perbankan di dalam negeri atau cabang perbankan Indonesia di luar negeri untuk penjualan minerba ke luar negeri.

Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menerangkan, peraturan ini pada pokoknya mewajibkan para pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), Kontrak Karya (KK), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), IUPK Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, serta IUP Operasi  Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan menggunakan cara pembayaran LC.

"Juga mengembalikan sepenuhnya ke dalam negeri hasil penjualan minerba ke luar negeri melalui rekening perbankan dalam negeri atau cabang perbankan Indonesia di luar negeri. Semangatnya agar hasil ekspor masuk ke dalam negeri melalui rekening bank nasional," kata Bambang di Kantor Ditjen Minerba Kementerian ESDM, Jum'at (7/9).

Bambang bilang, dalam Kepmen ini juga diatur soal sanksi jika nantinya ada perusahaan minerba yang tidak mengikuti peraturan ini. Ada sejumlah sanksi yang bisa dikenakan jika Kepmen ini tak dipenuhi.

Mulai dari peringatan atau teguran tertulis, penghentian sementara kegiatan usaha, pencabutan rekomendasi persetujuan ekspor, hingga penyesuaian Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) atau dengan pengurangan kuota produksi.

Dirjen Minerba, lanjut Bambang, menetapkan pelaksanaan lebih lanjut Kepmen ini sesuai dengan kewenangan. Termasuk dengan melakukan pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan kewajiban dalam Kepmen ini.

"Dirjen Minerba memiliki kewenangan untuk memberi rekomendasi atas sanksi itu," imbuh Bambang.

Sementara dalam upaya yang sama, ada pula Kepmen ESDM Nomor 1953 K/06/MEM/2018.

Dalam Kepmen itu disebutkan, badan usaha yang bergerak di sektor Migas, Minerba, Ketenagalistrikan dan EBTKE wajib menggunakan barang yang diproduksi di dalam negeri sepanjang memenuhi kualitas/spesifikasi, waktu penyerahan dan harga.

Apabila barang-barang itu bisa dipenuhi di dalam negeri, maka badan usaha yang akan melakukan impor barang tidak diberikan fasilitas impor (master list).

"Tujuannya bagaimana kita mengendalikan impor. Sebisa mungkin memakai produksi dalam negeri. Jadi kalau sudah ada produksi dalam negerinya berdasarkan data dari Kemperin, dimasukkan master list," tandas Jonan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi