KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri periklanan terus berkembang seiring dengan perkembangan industri dunia. Di Indonesia sendiri tahun 2017 ini diperkirakan akan ada belanja iklan senilai US$ 2,8 miliar. Menurut data IAB Singapura (per September 2017), iklan di Indonesia masih akan terus tumbuh 25% dan terus tumbuh 2 digit sampai tahun 2020. Menurut IAB, sampai saat ini belanja iklan terbesar, yaitu sekitar 60% masih ditelan industri televisi. Sisanya ada 18,9% di media cetak dan 17% di digital. Tapi belanja iklan ini terus bergeser mengikuti perkembangan zaman dan semakin besar masuk ke media-media digital. Di tahun 2018, diprediksikan belanja iklan di digital sudah mencapai 18,8% atau bernilai US$ 564 juta. Pertumbuhan paling tinggi masuk di belanja iklan digital yang khusus
mobile. Di tahun 2018 diperkirakan akan ada belanja US$ 254 juta iklan mobile di Indonesia. Bagaimana sebenarnya perkembangan industri periklanan di media
mobile? Untuk menelusuri lebih jauh tentang iklan di
mobile ini, KONTAN mewawancarai Glispa Global. Glispa adalah salah satu perusahaan
advertising technology company yang khusus bergerak di
mobile advertising. Berikut ini wawancara khusus KONTAN dengan Julie Huang Senior Business Development Manager South East Asia Glispa Global Group beberapa saat lalu
Bagaimana Anda melihat perkembangan iklan
mobile di Indonesia? Beberapa tahun yang lalu waktu kami pertama masuk kami harus menjalankan advertising di website selain
mobile. Tapi sekarang kami melihat lebih banyak pertumbuhan di mobile. Sekarang ini musim
mobile di mana semuanya sudah punya aplikasi. Ada banyak sekali perusahaan-perusahaan tradisional mulai masuk juga ke aplikasi. Seperti Bank BTPN, itu kan tradisional, tapi mereka membuat aplikasi Jenius. Mereka berpikir kalau mereka bikin aplikasinya BTPN Apps, sepertinya enggak menarik. Mereka kan ingin menyasar ke pasar anak-anak millennial, akhirnya mereka berikan namanya Jenius. Karena kami melihatnya lebih banyak berkembang di
mobile, maka kami mengkhususkan diri di
mobile. Untuk di
mobile saja kan ada dua sisi. Sisi yang satu kalau kita bantu mempromosikan aplikasi
mobile, kalau di Indonesia kebanyakan m-commerce, m-travel. Apa sih bedanya iklan di
mobile dengan web? Kampanye promosi sebuah web dan mobile itu agak berbeda, teknologi di dalamnya itu berbeda banget. Soalnya kalau mobile apps iklannya kan langsung ke Google Play untuk
download dan
install aplikasi, kalau website kan dibawanya ke
landing page. Di Indonesia kita sudah di Shopee, Lazada, Zalora, Blibli, Belanja, Traveloka, 3com. Jadi kalau di
mobile itu kan adalah bagaimana cara membuat para pengguna yang melihat
icon di aplikasi bisa
engage mereka untuk
download aplikasi tersebut. Cara paling gampang adalah
advertisement di dalam aplikasi
mobile. Sebenarnya ada beberapa cara, kita ada juga
banner yang biasa ditaruh di bawah, ada video juga. Tapi kita sih lebih menekankan untuk iklan di
native. Jadi
native ad itu kayak iklan yang enggak mengganggu para pengguna, karena dia kan harus dibuat tidak terlalu kelihatan dalam aplikasi. Waktu orang melihatnya itu bukan berbentuk banner tapi sesuatu seperti informasi saja. Seperti bisa kita lihat di Facebook misalnya tahu-tahu ada
sponsored ad, begitu diklik larinya ke Google Play. Cuma tugas kita sebenarnya tidak berhenti di sini, karena setelah masuk Google Play user bisa saja kan enggak jadi download dan instal aplikasi. Jadi untuk kami targetnya, pengguna lihat Google Play,
download,
install, dan dia harus buka aplikasinya. Baru ini dihitung 1
installers. Kalau dia tidak buka, tidak dihitung. Tapi biasanya tidak serta merta juga, ada tenggang waktunya. Tergantung yang pasang iklan, ada yang dalam waktu 24 jam tenggang waktunya harus terbuka, jadi mereka bisa atur sendiri parameternya. CPI (cost per instal) itu dihitungnya sebagai
performance marketing, karena mereka juga akan membayar sesuai anggarannya kalau ada hasil dari pendapatan mereka yang balik. Jadi semuanya
base on performance, dari
installment-nya kualitas
installment-nya seperti apa. Kalau dibandingkan dengan Cost per Click (CPC) dan CPM (Cost per kunjungan 1.000) lebih banyak untuk kepentingan
brand awareness. Cara mereka melihatnya kan kalau di situ hanya seberapa banyak
brand-nya dilihat dan mungkin akhirnya konversinya berakhir di
instal.
Sedangkan kalau kita karena sudah dari awal
instal, jadi selanjutnya kinerjanya diukur berdasarkan KPI-nya klien. Misalnya salah satu m-commerce di Indonesia, mereka maunya ada orang yang
booking. Jadi itu akan kami telusuri pengguna register di m commerce tersebut, pilih produk untuk belanja, dan belanja. Kebanyakan dari setiap perusahaan, mereka akan
spend budget ke kita kalau ada
income dong. Jadi dihitungnya semuanya
base on performance, dihitungnya dari
installment dan kualitas
installment seperti apa. Yang kita lakukan, sama saja seperti pemasang iklan di
offline. Mereka mungkin mau melihat iklannya di hotel atau di airport, terus melihat apa perbedaannya nih. Kalau yang di hotel mungkin lebih masuk karena orang-orang mau membeli barang konversinya lebih bagus daripada airport. Jadi sebenarnya caranya sama, ketika kita menjalankan
campaign kita akan
share publisher ID –nya. Kita punya iklan itu hampir semuanya itu di apps. Jadi kalau iklannya baru muncul jika seseorang mempergunakan aplikasi. Aplikasi apa pun. Setelah itu nanti ada semacam
third party tracker yang menjadi seperti polisi antara
advertiser dan kita.
Editor: Djumyati P.