Sele IPO mencuri Perhatian dengan Segudang catatan



Meski usia saham IBST dan NIRO di bursa belum seumur jagung, keduanya sudah membetot perhatian publik karena lonjakan harganya sangat tinggi. Otoritas bursa pun bereaksi dengan mensuspensi saham IBST. Ada apa gerangan?Apakah Anda termasuk investor yang turut mencuil saham perdana (IPO) PT Inti Bangun Sejahtera Tbk? Jika iya, pasti Anda kini tengah bergembira melihat kenaikan harga saham emiten bersandi perdagangan IBST tersebut.Tercatat harga saham Inti Bangun Sejahtera pada 7 September lalu berakhir di Rp 4.400. Ini berarti, harga saham sudah naik 340% dari harga IPO 31 Agustus lalu (Rp 1.000).Namun, kegembiraan Anda harus tertahan. Bursa Efek Indonesia (BEI) mensuspensi transaksi saham IBST karena lonjakan harganya yang tidak wajar pada 10 September. Suspensi sempat dibuka sehari kemudian(11/9), namun harga saham IBST justru kembali melonjak ke Rp 5.500. Akhirnya otoritas bursa pun mengurung kembali saham IBST dalam status suspensi hingga kini.Meski tak sampai disuspensi, saham PT Nirvana Development Tbk (NIRO) pun bergerak atraktif. Harga perdana saham Nirvana hanya Rp 105. Hingga Kamis (20/9) atau sepekan usai pencatatan di bursa, harga saham NIRO sudah nangkring di Rp 270 alias melejit 157,14%.Sebelum telanjur hanyut ikut euforia, ada baiknya Anda yang belum mengoleksi kedua saham itu menyimak pandangan dari para analis sebagai berikut.NIRONirvana Development berdiri sejak tahun 2003 dengan nama PT Adipura Artha Pratama. Pada 10 Februari 2012, nama Nirvana Development resmi disandang emiten yang bergerak di bidang properti tersebut.Meski berdiri sejak tahun 2003, Nirvana baru pertama kali membukukan pendapatan pada tahun 2009 senilai Rp 1,16 miliar dengan laba bersih Rp 65,83 triliun. Seperti tersebut dalam prospektus IPO, pada tahun 2010 Nirvana gencar mengakuisisi secara langsung 5 perusahaan yang statusnya hingga kini belum beroperasi.Berkat akuisisi tersebut, Nirvana memiliki secara tidak langsung 14 perusahaan lainnya. Namun, dari jumlah sebanyak itu, hanya PT Karya Bersama Takarob (KBT) yang terlihat kegiatan usahanya, yakni mengembangkan Mall Cirebon Super Blok.Salah satu poin penting lain yang Nirvana jajakan ke calon investor adalah aksi akuisisi anak usahanya, Nirvana Realty (NR), terhadap Panorama Lubuk Timur (PLT) dan Mahardika Karya Agung (MKA).Untuk mendanai akuisisi ini, Nirvana Realty mendapat pinjaman dari Delphi Property Investment Ltd senilai Rp 446,34 miliar, pada 30 Desember 2011.Oleh sebab itu, dari target perolehan dana IPO senilai Rp 630 miliar, sebanyak Rp 300 miliar akan mereka alokasikan untuk melunasi utang kepada Delphi. Sementara, sisanya akan digunakan untuk meningkatkan modal anak usaha. Analis Ciptadana Securities Triwira Tjandra menilai, masih butuh waktu bagi Nirvana untuk membuktikan kinerjanya. “Saya melihat banyak aset yang tiba-tiba masuk namun belum ada kontribusinya,” kata pria yang akrab disapa Wira ini.Satu hal lagi yang membuat Wira kurang nyaman, Nirvana tidak menunjukkan net asset value (NAV) alias nilai aset bersihnya serta diskon harga IPO terhadap NAV per harga sahamnya. Padahal, metode ini lebih tepat untuk menilai suatu emiten properti menarik atau tidak.Dari sisi usaha Nirvana, Wira juga melihat aset mal anak usahanya kurang menarik. “Lokasi kurang memberikan positioning sehingga marginnya sepertinya tipis,” tutur Wira.Namun analis MNC Securities Reza Nugraha menilai, harga saham perdana yang Nirvana tawarkan masih lebih rendah ketimbang harga saham sektor properti. Di harga Rp 270, Nirvana menawarkan rasio harga saham terhadap laba bersih atau price to earning ratio (PER) sebesar 21 kali. Padahal, saat ini rata-rata PER sektor properti sudah mencapai 25 kali. Jadi, untuk mencapai PER setara sektoralnya, harga saham Nirvana bisa mencapai Rp 295 hingga akhir 2012.Meski demikian, Reza tidak berani merekomendasikan Nirvana. Selain kinerjanya belum teruji, aset tanah dan bangunan Nirvana bukan berada di daerah primer. Apalagi, banyak proyek Nirvana tidak dimiliki secara langsung, sedang dalam tahap pengembangan, bahkan belum melakukan kegiatan usaha. “Saham properti lain masih banyak yang asetnya bagus,” ujarnya. Reza memperkirakan, butuh waktu 1 tahun–2 tahun lagi untuk bisa menilai saham ini.Dalam prospektus IPO, Nirvana menyebut per 29 Februari 2012 pendapatannya mencapai Rp 26,95 miliar. Padahal, di periode yang sama 2011, angkanya hanya Rp 393,80 juta. Laba bersih Nirvana pun melejit signifikan, dari Rp 19,05 juta menjadi Rp 13,57 miliar.Komposisi kepemilikan saham masyarakat setelah IPO 33,33%. Sementara PT Mega Inti Perdana Utama menggenggam 66,64% dan sisanya PT Mega Duta Perkasa 0,03%.IBSTProspek bisnis PT Inti Bangun Sejahtera Tbk (IBST) di bidang penyewaan tower memang cukup menarik. Menurut Reza, emiten penyewaan tower mendapat pendapatan yang pasti dari kontrak dengan operator telekomunikasi. Pasalnya, emiten telekomunikasi tidak mau ambil pusing berinvestasi membangun menara. Sementara itu, bisnis penyewaan tower termasuk usaha yang padat modal, sehingga persaingannya tidak besar.Kata Reza, rata-rata PER tahun 2012 emiten tower 15 sampai 17 kali. Sementara, saham Inti Bangun di harga Rp 5.500 per saham memiliki PER 10 kali. “Harganya bisa melonjak lagi ke Rp 6.500 hingga akhir 2012,” ramal Reza.Hal lain yang menarik adalah tingkat utang terhadap ekuitas atau debt to equity ratio (DER) Inti Bangun tak lebih dari 0,6 kali. Jika dibandingkan dengan industrinya yang sampai 2 kali, ini celah bagi Inti Bangun memperoleh keleluasaan pendanaan dari eksternal.Namun, investor perlu memperhatikan keberadaan obligasi konversi Rp 690,38 miliar yang diterbitkan bagi PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA) dari Grup Sinarmas. Dengan obligasi ini, Inti Bangun mengambil alih 1.165 menara milik DSSA. Tapi, jika mengonversi obligasi tersebut, Dian Swastatika akan menjadi pengendali Inti Bangun dengan kepemilikan 57,31%.Walhasil, saham publik bakal terdilusi menjadi 6,40% dari 15%. Saham pengendali Inti Bangun sekarang, PT Bakti Taruna Sejati, juga akan terdilusi dari 84,99% menjadi 36,28%.Investor perlu mengetahui harga konversi yang disepakati Inti Bangun dan Dian Swastatika. Jika harganya lebih rendah dari harga saat ini, tentu DSSA akan lebih memilih mengonversi obligasi Inti Bangun. “Dari sana DSSA selanjutnya bisa menjualnya kembali dengan harga pasar,” kata Wira.Wira pun tak berani merekomendasikan saham Inti Bangun. Ia memilih fokus ke emiten tower yang sudah ada saja. Bagaimana dengan Anda?

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 51 XVI 2012 Saham

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Imanuel Alexander