Seleksi calon hakim agung mubazir Rp 3 miliar



JAKARTA. Tiga calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial dengan biaya Rp 3 miliar itu akhirnya kandas di DPR. Komisi Hukum DPR dalam voting tertutup menolak tersebut.

Tiga calon hakim tersebut—Sunarto, Suhardjono, dan Maria Anna Sumiyati—ditolak mayoritas anggota Komisi Hukum DPR. Karena menggunakan voting tertutup, tidak jelas apa alasan Komisi Hukum DPR menolak ketiganya. Melalui media massa terungkap calon hakim agung ditolak karena dianggap tidak kompeten. Alasan lain, ada calon yang pernah mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di DPR.

Setelah ditolak DPR, Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki mengakui Komisi Yudisial agak menawar kualitas calon, tetapi lebih menempatkan integritas calon sebagai pertimbangan utama. Alasannya, bila menyangkut kualitas itu bisa dipelajari.


Sebaliknya, anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi PDI-P, Eva Kusuma Sundari, menilai ketiga calon hakim agung itu memang tidak memuaskan. ”Tidak ada jawaban bagus soal hak asasi manusia. Juga tak ada jawaban soal pengadilan militer, misalnya,” kata Eva.

Apa pun, penolakan Komisi Hukum DPR membuat seleksi selama enam bulan dari Komisi Yudisial yang memakan biaya Rp 3 miliar itu mubazir. Komisi Yudisial harus mengajukan lagi calon hakim agung ke DPR. Namun, perbedaan selera calon hakim agung antara DPR dan Komisi Yudisial membuat seleksi itu berpotensi bermasalah.

Gugatan Eva bahwa jawaban calon hakim agung tak me- muaskan tetap bisa memunculkan pertanyaan baru. Memuaskan dalam arti kesamaan ideologi partai atau memuas- kan dalam arti apa. Setelah reformasi, MA membagi menjadi beberapa kamar, yakni kamar perdata, kamar pidana, kamar tata usaha negara, kamar peradilan militer, dan kamar peradilan agama. Dengan sistem kamar, hakim agung akan menyidangkan sesuai dengan keahliannya. Kembali ke gugatan Eva, ”Tidak ada jawaban memuaskan soal calon hakim agung soal peradilan militer,” memunculkan pertanyaan apakah ketiga hakim itu akan diproyeksikan sebagai hakim militer?

Argumentasi DPR memang bisa dipatahkan jika tanpa aturan main yang jelas, termasuk apakah calon hakim agung yang ikut uji kelayakan dan gagal diperbolehkan untuk ikut lagi dan kesempatan berikutnya? Hal itu harus jelas karena pengalaman menunjukkan calon Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo pernah diuji oleh Komisi Keuangan DPR dan dinyatakan gagal, tetapi dalam kesempatan lain oleh Komisi Keuangan yang sama, Agus dinyatakan lolos sebagai Gubernur BI.

Sejak Orde Baru, kita sudah mempunyai empat pola seleksi hakim agung. Pola pertama, Ketua MA mengusulkan kepada Presiden sejumlah nama calon hakim agung dan Presiden memutuskan. Pola kedua, Ketua MA mengusulkan kepada Komisi Yudisial sejumlah hakim agung untuk diseleksi untuk kemudian diusulkan ke DPR. Pola ketiga seleksi hakim agung sepenuhnya diserahkan ke Komisi Yudisial untuk memilih tiga nama calon untuk satu kekosongan dan selanjutnya dipilih oleh DPR. Dan pola keempat, Komisi Yudisial mengajukan calon hakim agung sesuai dengan kekosongan kursi dan DPR mendapatkan persetujuan.

Kita tentunya tak ingin proses seleksi calon hakim agung semata-mata hanya tontonan kekuasaan lembaga negara. Proses konsultasi antara lembaga negara DPR, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Agung diperlukan untuk menyamakan persepsi agar kepentingan publik yang lebih luas tidak terabaikan. (Budiman Tanuredjo/Kompas Siang)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan