Selesai berdiplomasi sawit dengan Eropa, Darmin ceritakan protes Indonesia



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution memimpin Delegasi Indonesia dalam kunjungan resmi ke Brussels, Belgia pada 8-9 April lalu.

Dalam kerangka misi bersama (joint mission) negara-negara produsen sawit yang tergabung dalam wadah Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC), Darmin menyampaikan protes dan keberatan atas kebijakan diskriminatif Uni Eropa (UE) yang mengklasifikan produk kelapa sawit sebagai komoditas bahan bakar nabati yang tidak berkelanjutan dan berisiko tinggi / Indirect Land Use Change (ILUC).

Darmin menjelaskan, dalam lawatannya ke Brussel, delegasi Indonesia menemui berbagai pihak Uni Eropa. Di antaranya, Wakil Presiden Parlemen UE Heidi Hautala dan beberapa anggota parlemen, serta perwakilan Komisi Eropa.


Perwakilan Komisi Eropa yang ditemui yaitu Komisioner Aksi Iklim dan Energi Miguel Arias Canete dan Komisioner Lingkungan, Kelautan & Perikanan Karmenu Vella.

Delegasi juga menemui Dewan Eropa yang diwakili oleh Jaroslaw Pietras, Direktur Jenderal Transportasi, Energi, Lingkungan, Pendidikan Dewan Eropa.

"Kami juga bertemu dengan beberapa perusahaan besar di sana yang menggunakan CPO. Juga satu kelompok perusahaan besar multinasional yang berinvestasi di Indonesia, kita temui satu per satu," ungkap Darmin dalam konferensi pers, Jumat (12/4).

Perusahaan yang dimaksud Darmin tersebut adalah perusahaan bidang biodiesel seperti Total, Neste, ENI. Sementara perusahaan multinasional yang memiliki hubungan bisnis dengan Indonesia antara lain Ferrero, Michelin, dan Airbus.

Adapun, Darmin menjelaskan, ada beberapa poin keberatan yang disampaikan delegasi Indonesia pada pertemuan-pertemuan tersebut.

Pertama, fakta bahwa kelapa sawit memiliki produktivitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, yaitu hingga 8-10 kali.

"Penggunaan lahan untuk kelapa sawit juga jauh lebih kecil dibandingkan vegetable oils lainnya. Minyak kedelai itu bisa menghabiskan lahan sampai 122 juta hektare seluruhnya," kata Darmin.

Kedua, rencana UE mengurangi penggunaan minyak sawit hingga 0% pada biofuel hingga 2030 justru akan menyebabkan pembukaan lahan baru yang masif untuk produk minyak nabati lainnya. Sebab, tak bisa dipungkiri, kebutuhan minyak nabati di dunia terus bertumbuh.

"Bahkan, kalau UE mau convert ke minyak kedelai itu membutuhkan deforestasi besar-besaran di Amerika Serikat untuk memenuhi kebutuhan UE," kata Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kemenko Perekonomian Rizal Affandi Lukman.

Ketiga, Indonesia memprotes penggunaan basis awal tahun 2008 sebagai metodologi penghitungan dari ILUC yang dilakukan tanpa alasan yang kuat.

Penetapan tahun 2008-2015, menurut Darmin, sangat merugikan kelapa sawit dan menguntungkan minyak nabati lainnya.

Selain itu, Darmin mengungkapkan, ia juga telah menegaskan kembali besarnya peranan kelapa sawit dalam perekonomian Indonesia. Pasalnya, industri dan perkebunan sawit rakyat mempekerjakan sekitar 19,5 juta orang, termasuk 2,6 juta petani kecil (small-holders farmer).

"Kita juga tunjukkan bahwa adanya perkebunan kelapa sawit cukup menolong Indonesia menurunkan tingkat kemiskinan di daerah. Kita bilang, apa yang mereka rancang ini bukan masalah sepele buat kita, mungkin buat mereka yang bukan penghasil kelapa sawit," tutur Darmin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto