Selidiki transfer pricing, KPK minta data kontrak dan realisasi harga jual batubara



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga ada manipulasi harga transfer (transfer pricing) untuk meminimalkan pembayaran pajak dalam transaksi jual beli batubara. Kini, KPK tengah mengumpulkan data dan melakukan kajian untuk menilik potensi kerugian negara yang ditimbulkan dari praktik tersebut.

Deputi Pencegaan KPK Pahala Nainggolan membenarkan hal ini. Hanya saja, Pahala masih enggan memaparkan detail perkara dan progres temuan awal dari KPK.

"Belum selesai kajiannya. Secara internal kita lagi mau mempelajari dan mendalami adanya dugaan transfer pricing dalam praktik jual beli batubara," kata Pahala saat dikonfirmasi Kontan.co.id, Minggu (28/7).


Menurut Pahala, pihaknya akan mengaudit data transaksi jual-beli batubara dari seluruh perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) maupun Izin Usaha Pertambangan (IUP). "Semua pemegang IUP dan PKP2B," imbuhnya.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun merespon. Dalam salinan surat yang diterima Kontan.co.id, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batubara M. Hendrasto pada 26 Juli 2019 telah mengirimkan permintaan data kepada 51 perusahaan batubara pemegang PKP2B.

Dalam surat tersebut, Hendrasto meminta supaya setiap perusahaan menyampaikan rekapitulasi data kontrak penjualan batubara dan realisasi harga sesuai invoice sejak tahun 2017, 2018 hingga Juni 2019.

"Mengingat pentingnya data tersebut, diharapkan rekapitulasi data kontrak penjualan batubara dan realisasi harga sesuai invoice dapat kami terima paling lambat 29 Juli 2019," tegas Hendrasto dalam suratnya.

Sayang, saat dihubungi Kontan.co.id, Hendrasto masih enggan untuk memberikan konfirmasi lebih lanjut mengenai hal tersebut.

Kendati demikian, Direktur Penerimaan Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Johnson Pakpahan membenarkan mengenai permintaan data tersebut.

"Betul KPK meminta data-data, tapi saya tidak tahu kalau tujuannya untuk apa," ungkap Johnson saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (28/7).

Sedangkan terkait dengan dugaan adanya praktik transfer pricing, Johnson berkelit. Johnson mengklaim, pihaknya sudah menerapkan skema yang bisa menutup celah kerugian negara.

Dari sisi pemberlakuan royalti, misalnya, hitungannya ditentukan dari nilai terbesar antara Harga Patokan Batubara (HPB) dan harga jual batubara yang diterima perusahaan.

"Kita sudah antisipasi, jadi kalau pun dia jual lebih rendah, kita mengenakan royalti dari (nilai) yang paling tinggi," terang Johnson.

Sementara untuk mengetahui kesesuaian volume ekspor dan spesifikasi batubara yang disepakati dalam kontrak jual beli, seperti nilai kalori batubara, toleransi batasan kandungan sulfur (S), kandungan debu (Ash), serta kandungan air (TM/Total Moisture), Johnson menyampaikan bahwa hal tersebut seharusnya sudah dipastikan dalam hasil laporan surveyor.

"Itu hasil surveyor. Kita juga sesekali menggunakan Tekmira (Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara) menguji kepatuhan surveyor untuk melaporkan hasil sebenarnya," terang Johnson.

Selain itu, sambung Johnson, adanya sistem pelaporan dan pengawasan berbasis online seperti Mineral Online Monitoring System (MOMS), serta e-PNBP yang sudah berlaku efektif untuk seluruh perusahaan sejak 1 Maret 2019 diharapkan dapat semakin meningkatkan kepatuhan perusahaan dan juga menutup celah potensi kerugian negara.

"e-PNBP kepatuhan untuk bayar akan makin tertib, dan MOMS akan mengawasi produksinya. Sebenarnya kita sudah makin baik pengawasannya," tandas Johnson.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi