Selisih Yield SUN dan US Treasury Menarik, Investor Asing Masih Cari Pilihan Lain



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Obligasi negara atawa surat utang negara (SUN) masih menjadi instrumen pilihan di tengah konflik Rusia-Ukraina. bagi investor dalam negeri, SUN termasuk instrumen safe haven karena diterbitkan oleh pemerintah. 

Senior Economist Samuel Sekuritas Fikri C. Permana mengatakan obligasi Indonesia masih ada potensi menguat. "Untuk risiko sekarang, berasal dari global yang lebih tinggi dan bisa menjadi perhatian khusus sedangkan untuk fundamental domestik semuanya masih relatif stabil," ujar Fikri.

Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana mengatakan potensi yield SUN masih akan naik karena suku bunga diperkirakan meningkat. "Untuk investor yang sudah memiliki cenderung akan ada koreksi tetapi untuk yang belum punya ini menarik karena yield akan naik terus sekarang," ujar Wawan.


Baca Juga: Penerbitan SBN Valas pada Kuartal II 2022 Dihadapkan Risiko Domestik dan Global

Fikri mengatakan, spread yield atau selisih antara imbal hasil surat utang Indonesia dan US Treasury, sebenernya relatif lebih baik dan diuntungkan. Tapi, spread yield India lebih besar ketimbang Indonesia. 

"Mungkin sekarang spread yield Indonesia sekitar 520 basis point. Sedangkan untuk India mungkin sekitar 530 basis point, " ucap Fikri.

Menurut Wawan Indonesia masih menjadi negara yang menarik dibandingkan negara-negara berkembang lainnya, walaupun ada yang memiliki yield yang sama 6,8% yaitu India. 

"Tapi kalo dari sisi potensi pemulihan dari corona dan diuntungkan atau tidak dari harga komoditas naik, Indonesia masih menjadi negara yang menarik," ucap Wawan.

Baca Juga: BI: Tidak Ada Burden Sharing Lagi di Tahun 2023

Fikri menyebut ada beberapa sentimen dan faktor yang mempengaruhi pergerakan pasar obligasi. Pertama, dari persepsi risiko yang mengindikasikan suatu negara relatif lebih baik atau tidak. Tapi, persepsi risiko ini tergantung pada bagaimana investor global melihat risiko.

Kedua, risiko global yang sedang terjadi, yakni kelanjutan perang Rusia-Ukraina dan risiko kenaikan suku bunga The Fed yang mungkin akan lebih agresif. Kenaikan suku bunga The Fed akan menjadi acuan bagi yield US Treasury yang kemudian juga akan berpengaruh pada yield SUN. 

Ketiga fundamental dalam negeri. Kalau dari rupiah masih stabil dan kepemilikan asing di dalam negeri masih berada di level yang rendah jika terjadi risiko global, risiko capital outflow dampaknya tidak akan terlalu besar. 

Baca Juga: Pemerintah Indonesia Terbitkan Global Bond Senilai US$ 1,75 Miliar

Sementara untuk investor asing, Wawan menyampaikan mungkin harus menunggu untuk stabil. Sekarang investor tengah mengincar yield di Amerika di tengah potensi kenaikan suku bunga. Apalagi kalau suku bunganya bisa mencapai 2% atau 3%.

"Kalau secara historis sekarang bukan spread yang menarik untuk investor asing masuk ke Indonesia mereka malah tertarik untuk masuk ke saham," kata Wawan.

Fikri mengatakan, investor akan lebih berhati-hati dalam berinvestasi. Investor tentu akan memilih negara-negara dengan fundamental yang relatif stabil. Selain dari fundamental yang stabil, investor asing juga melihat rating yang menggambarkan daya beli ataupun kemampuan dari negara tersebut membayar utang. Menurut Fikri, investor paling menyukai negara-negara berkembang seperti Indonesia, India, Thailand, dan Filipina.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati