Sembilan bank papan atas tahan krisis



JAKARTA. Defisit Neraca perdagangan karena melemahnya ekspor, ketidakjelasan penyelesaian krisis global, pelemahan mata uang rupiah dan ancaman ketatnya likuiditas ternyata tidak terlalu berpengaruh pada perbankan domesti. Buktinya, bank papan atas Indonesia masih memiliki prospek stabil dalam menjalankan bisnis.

Hasil stress test oleh Fitch Rating yang dipublikasikan pada Rabu (30/1) malam, menyatakan kemampuan menyerap risiko dan dukungan induk membuat sembilan bank besar domestik tahan terhadap goncangan. Meskipun penyaluran kredit yang tinggi selama 3 tahun terakhir berpotensi meningkatnya risiko kualitas aset. Bank-bank itu adalah Bank Mandiri, BRI, BNI, BCA, Danamon, BII, OCBC NISP, Panin Bank, CIMB Niaga. Mereka  merupakan bank besar dan berdampak sistemik dalam sistem keuangan nasional.

Menurut Fitch, rata-rata kerugian dari penyaluran kredit mencapai 3,8% dari total kredit yang tersalurkan. Namun kerugian masih bisa tertutupi oleh pencadangan laba yang setara 5,2%. Selama 5 tahun terakhir kerugian dari penyaluran kredit berkisar antara 1%-2% dari jumlah pinjaman. Sedangkan pencadangan laba mencapai 6%-7% dari pinjaman.


Daya tahan perbankan juga karena stabilnya pendapatan inti bank yang berasal dari tingginya margin. Hal ini mendorong terjaganya modal inti (tier I) yang pada semester pertama 2012 mencapai 14%. Ficth memperingatkan dalam kondisi tertekan sebaiknya bank memperhatikan resiko penurunan kualitas aset dan meningkatkan efisiensi.

Modal dan NPL

Sigit Pramono, Ketua Umum Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas), mengatakan stabilnya sistem perbankan di Indonesia karena semakin membaiknya pengelolaan risiko. Bankir juga semakin bagus dalam menerapkan tata kelola atau good corporate governance (GCG) perbankan. "Hal ini karena manajemen perbankan kita sudah belajar dari krisis yang lalu," ujarnya, Kamis (31/1).

Sigit bilang tantangan perbankan saat ini adalah peningkatan modal. Soalnya, modal bank bakal semakin tergerus seiring penyalurkan kredit. Apalagi beberapa tahun belakangan ini bank sangat ekspansi dalam menyalurkan kredit. Berdasarkan perhitungan perbanas, perbankan domestik membutuhkan suntikan modal Rp 113 triliun pada tahun 2015.

Jahja Setiaadmaja, Direktur Utama Bank BCA, mengatakan salah satu tantangan perbankan adalah nilai tukar rupiah terhadap dollar. Kenaikan nilai tukar akan berdampak pada peningkatan biaya dan beban perusahaan.

"Masalah yang muncul adalah meningkatnya beban utang," terang Jahja. Hal itu mengakibatkan para debitur menunda pembayaran cicilan. Secara otomatis, peristiwa itu mempengaruhi rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) dan tekanan pada inflasi.

Tony A Prasetiantono, Pengamat Ekonomi, menambahkan ancaman juga muncul dari peningkatan utang luar negeri swasta. Pasalnya kondisi sekarang mirip dengan krisis tahun 1997-1998.

Kala itu, utang luar negeri swasta dan pemerintah sama-sama US$ 65 miliar dan Desember 2012 utang luar negeri swasta dan pemerintah masing-masing US$ 125 miliar. "Bila tidak dikontrol bisa menekan rupiah dan imbasnya akan ke sektor perbankan sebab sektor perbankan sangat mendominasi sektor keuangan," tukasnya.   

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Adi Wikanto