JAKARTA. Terkuaknya kasus korupsi maupun penyelewengan dana hampir satu tahun pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, membuat publik terenyak. Paling tidak ada sembilan pejabat DKI Jakarta yang kini ditetapkan menjadi tersangka oleh pihak kejaksaan. Mulai dari Lurah sampai mantan Kepala Dinas. Hampir keseluruhan tindak penyelewengan dana dilakukan saat pemerintahan sebelumnya, yaitu masa kepemimpinan mantan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo. Apakah terkuaknya berbagai kasus tersebut sebagai salah satu upaya Jokowi untuk "membersihkan" birokrat era Foke? Menanggapi hal itu, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama membantahnya.
Menurut dia, semua hal yang telah masuk ke jalur hukum, hal itu sudah bukan lagi urusan Pemprov DKI. "Enggak, kami enggak ada pikiran begitu. Kami serahkan ke pihak yang bertanggung jawab," kata Basuki di Balaikota Jakarta, Kamis (24/10). Untuk mengantisipasi adanya pejabat lain yang berpotensi melakukan tindak pidana korupsi, Basuki bilang, Pemprov DKI telah melakukan berbagai upaya. Antara lain, keterbukaan anggaran, kerja sama dengan lembaga pengawas keuangan (PPATK, BPK, KPK, dan BPKP), dan akan menggunakan sistem anggaran online,
e-budgeting. Melalui upaya-upaya itu, Basuki berharap bisa meminimalisir keinginan pejabat DKI maupun konsultan untuk menyelewengkan anggaran. Di pertengahan pemerintahan Jokowi-Basuki, Kejaksaan Agung (Kejagung) sudah menetapkan mantan Kepala Dinas Kebersihan Pemprov DKI Eko Bharuna (EB) sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan mobil toilet VVIP besar dan kecil di Dinas Kebersihan Pemprov DKI tahun 2009. Selain Eko, Kejagung menetapkan tersangka kepada dua pihak swasta, yakni Direktur PT Astrasea Pasarindo (YP) dan Direktur PT Gipindo Piranti Insani (Y). Dengan demikian, Kejagung telah menetapkan lima tersangka dalam kasus yang diduga merugikan negara Rp 5,3 miliar itu. Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan mantan Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Dinas kebersihan Provinsi DKI Lubis Latief (LL) selaku Kuasa Pengguna Anggaran, dan Ketua Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Aryadi (A) sebagai tersangka. Kemudian, pada 13 September 2013, Kejaksaan Negeri Jakarta Utara menetapkan MM sebagai tersangka penyalahgunaan anggaran proyek kelistrikan di Kepulauan Seribu tahun 2012 senilai Rp 1,3 miliar. MM ditetapkan sebagai tersangka 12 hari setelah pensiun dari jabatannya per 1 September 2013 lalu. Sebelumnya, MM menjabat Kepala Unit Pengelola Kelistrikan Kabupaten Kepuluan Seribu. Pada hari yang sama, Kejaksaan Negeri Jakarta Utara telah menetapkan SBR sebagai tersangka kasus yang sama. SBR adalah Kepala Seksi Perawatan UPT Kelistrikan Kabupaten Kepulauan Seribu. Pada 11 Oktober 2013, Kejaksaan Negeri Jakarta Timur menetapkan Lurah Ceger, berinisial FFL sebagai tersangka penyalahgunaan anggaran kasus pembuatan laporan pertanggungjawaban fiktif tahun 2012 senilai Rp 454 juta. Di hari yang sama, Kejaksaan Negeri Jakarta Timur menetapkan Bendahara Lurah Ceger ZA sebagai tersangka kasus yang sama. Setelah ditetapkan sebagai tersangka, FFL dan ZA langsung ditahan. Pekan ini, ada tiga pejabat struktural Pemprov DKI Jakarta yang terjerat kasus penyalahgunaan anggaran. Mereka adalah; Kepala Suku Dinas Tata Ruang Jakarta Selatan, RS yang menjadi tersangka kasus korupsi perizinan. Kemudian, Kasudin Kominfomas Jakarta Pusat, RB dan Kasudin Kominfomas Jakarta Selatan, YI menjadi tersangka penyalahgunaan anggaran proyek pengadaan kamera pengawas dan sarana pendukungnya di Monumen Nasional oleh Kejari Jakarta Pusat. Untuk kasus RS, RS diduga telah mengutip biaya pengurusan izin-izin yang besarannya tidak sesuai dengan tarif resmi yang telah ditetapkan. RS diduga menerima uang pengurusan dengan besaran bervariasi antara Rp 225-700 juta setiap perizinan. RS diduga telah melakukan tindak pidana korupsi mencapai Rp 1,89 miliar. Saat melakukan tindak korupsi itu, RS belum menjabat sebagai Kasudin Tata Ruang Jaksel, melainkan saat menjabat sebagai Kasie Tata Ruang Kecamatan Tebet dan Staf Tata Usaha Suku Dinas Tata Ruang. Sementara itu, RB dan YI diduga menyalahgunakan anggaran CCTV Monas senilai Rp 1,7 miliar pada tahun 2010. Saat itu, YI menjabat sebagai sebagai Kasudin Kominfomas Jakarta Pusat, yang kini ditempati tersangka RB.
Sedangkan, RB menjabat sebagai Ketua Panitia Pengadaan Barang dan Jasa. Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) DKI I Made Karmayoga mengatakan semua kasus yang dilaporkan terjadi tahun sebelumnya. "Memang benar baru setelah ada lelang jabatan banyak laporan yang masuk ke pihak berwajib, tidak masalah," kata Made. Walau terjerat kasus korupsi, mereka yang menyandang status tersangka tetap menerima gaji. Namun, gaji yang diterima tidak utuh lagi, 75% dari gaji pokok. Mereka juga tidak menerima tunjangan kepegawaian daerah yang selama ini menambah penghasilannya. "Statusnya masih PNS, mereka tetap menerima gaji pojok sampai keputusan hukum tetap," kata Made. (Kurnia Sari Aziza/
Kompas.com) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Asnil Amri