JAKARTA. Tak bisa dipungkiri, di industri teh celup, PT Sariwangi AEA merupakan pemain besar. Perusahaan ini sukses memperkenalkan merek teh celup Sari Wangi sejak 1973. Sebagai merek teh celup pertama di Indonesia, Sari Wangi melekat erat di hati masyarakat. Di balik nama besar Sari Wangi, tak terlepas dari kerja keras Johan Alexander Supit, pendiri Sari Wangi sejak 51 tahun silam. Hampir separuh masa hidup pria berusia 81 tahun ini dihabiskan di industri teh. Bahkan, di usianya yang sudah lanjut, ia kini masih menjabat Presiden Direktur PT Sariwangi AEA. "Bagi saya sosok Pak Supit adalah legenda. Hidupnya hanya memikirkan industri teh dapat berkembang," kata Andrew T. Supit, putra Johan Alexander Supit yang kini menjabat sebagai director trade and small holder relation SariWangi.
Menurut Andrew, ayahnya sudah kenyang pengalaman bergelut di industri teh, mulai dari perkebunan hingga pengolahan teh siap minum. Sebelum mendirikan perusahaan pengolahan teh sendiri pada tahun 1962, Supit muda sudah dan malang melintang di industri perkebunan teh. Selama karirnya, ia pernah bekerja di perusahaan asing yang bergerak di perkebunan di daerah Jawa Barat, yakni Francis Peek & Co. Di perusahaan itu, Supit muda menangani perkebunan teh. Karirnya terus berkembang, hingga ia pun berkesempatan mengikuti sejumlah pelatihan seputar teh di London, Inggris. Di sana, selama tiga tahun, ia memperdalam segala hal berkaitan dengan dunia teh, baik pemasaran maupun cara meramu teh. Dari situ, pengetahuan dan keahlian Supit di sektor teh pun kian terasah. Tahun 1962, Supit kembali ke Indonesia. Dua tahun kemudian, dia mulai usaha sendiri dengan nama Sari Wangi. Pada tahun 1970, perusahaannya berubah menjadi perseroan terbatas. Namun, sampai saat itu, ia belum memiliki kebun teh sendiri sehingga bisnisnya masih sebatas berdagang teh. Baru tahun 1972, ia mulai usaha pengolahan, yaitu membuat teh celup yang sekarang produksinya diekspor ke berbagai negara Nama Sari Wangi sendiri sebenarnya diambil dari kata Sari dan Wangi. Filosofinya, dalam sebuah minuman teh yang dibutuhkan adalah sari dari teh dan aroma wanginya. Sejak awal produksi, perusahaan ini sudah gencar melakukan inovasi. Salah satunya ketika Sari Wangi meluncurkan kemasan teh kantong pertama di Indonesia pada tahun 1972. Nama produk yang diperkenalkan untuk teh kantong tersebut adalah "celup". Kendati kemasan baru, poduk Sari Wangi ini ternyata mendapat respon positif dari pasar. Setelah menguasai pasar domestik, penjualan Sari Wangi kemudian merambah pasar luar negeri. Mulai ekspor tahun 1985, penjualan Sari Wangi merambah hampir seluruh negara, seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris, Timur Tengah, Rusia dan baru-baru ini Malaysia. Akibat booming di industri teh, memasuki dekade tahun 1970-an, perusahaan multinasional mulai mendekati para pemilik perkebunan teh. Tahun 1989 merek Sari Wangi (bukan perusahaan) diakuisisi oleh Unilever. Ekspansi bisnis SariWangi terus berlanjut. Tahun 1992 semisal, fasilitas manufaktur kedua Sari Wangi di Bogor, Jawa Barat untuk memenuhi pasar ekspor. Pabrik ini teringrasi mulai dari pengolahan hingga pengemasan, lengkap dengan fasilitas gudang blending tersedia di pabrik ini. Dengan dukungan pabrik berkapasitas besar, Sari Wangi pun tak berhenti melakukan inovasi. Sekitar tahun 2005, produsen teh celup ini merilis merek baru, yakni Sedap Wangi. Dengan demikian, PT Sari Wangi mempunyai dua kelompok produk: produk yang dimiliki oleh PT Unilever dan produk milik Sari Wangi sendiri. Tak lama berselang, sekitar tahun 2007 Sari Wangi kembali mengeluarkan merek baru Teh Saring. Selain di industri pengolahan, Supit juga fokus mengembangkan sektor hulu yang terkait dengan perkebunan. Untuk mendapatkan hasil tanam maksimal, ia menerapkan beberapa terobosan. Salah satunya dengan menggabungkan sistem irigasi yang maju di ladang teh, penggunaan sensor wireless, dan teknik agronomi (pengaplikasian ilmu pupuk dan tanaman pada pengelolaan ladang dan produksi tanaman). Teknik ini dapat meningkatkan hasil ladang teh sampai lebih dari 60%, dan saat bersamaan penggunaan pupuk dikurangi sampai 50%. Kapasitas produksi teh juga bisa meningkat dari 2.000 kilogram (kg) menjadi 3.000 kg per hektare (ha) per tahun. Supit sendiri berniat membagikan teknologi ini kepada produsen teh dan kopi di Indonesia. Menurutnya, inovasi itu akan merevolusi baik sektor pertanian Indonesia secara keseluruhan, dan khususnya bagi pertumbuhan industri teh. Inovasi teknologi itu sudah digunakan di Cina dan Thailand, tapi tidak pernah diaplikasikan di Indonesia, atau di perkebunan teh mana pun. Makanya, Supit tak keberatan, perkebunan tehnya mejadi percontohan para petani teh untuk meningkatkan produktifitas. Supit ingin, ke depan Indonesia bisa menjadi pusat perdagangan teh dunia. Kendati demikian, Supit paham, jalan untuk mencapai itu penuh dengan halangan. Makanya, dia tidak ingin terburu-buru mewujudkan semuanya dalam waktu cepat. Ikuti jejak orang tua Sebagai seorang anak, Andrew sangat memahami tekad orang tuanya yang ingin memajukan industri teh Indonesia. Apalagi, Andrew kini juga sudah bergabung di Sari Wangi sejak tahun 1995. Sama seperti ayahnya, ia pun bertekad memajukan industri teh Indonesia. Menurut Andrew, industri teh sangat panjang mata rantainya. Bisnis ini sangat ditentukan sejak dari produksi di hulu hingga distribusi ke konsumen. Seluruh proses itu harus dilewati demi terwujudnya motto perusahaan: "Dari Daun Teh Sampai Ke Cangkir". Lantaran prosesnya panjang, perusahaan teh merupakan bisnis padat karya. Hingga saat ini, jumlah karyawan yang bekerja dan menggantungkan hidupnya di Sari Wangi mencapai kurang lebih 7.000 orang. Bahkan, jumlah ini bisa bertambah bila sistem kemitraan dengan petani ditingkatkan. Sebagai pengusaha teh, Andrew melihat potensi bisnis ini masih menarik ke depannya. Makanya, ia merasa tertantang untuk mengembangkannya. "Ayah saya pernah mengatakan, jangan lupakan pucuk teh. Kita bisa hidup dari itu," kata Andrew. Tahun ini, PT Sari Wangi AEA menargetkan produksi teh olahan mencapai 40.000 ton hingga 50.000 ton, atau meningkat 66% dibandingkan tahun lalu yang mencapai 30.000 ton. Produksi digenjot lantaran bertambahnya negara tujuan ekspor teh. Selama ini, sekitar 80% dari produksi teh Sari Wangi dijual ke luar negeri. Sedangkan sisanya dipasarkan di dalam negeri.
Di pasar ekspor, produk teh Sari Wangi dipasarkan dalam bentuk bulk atau curah, dan biasanya dibeli oleh perusahaan prosesor. Jenis teh yang diproduksi dan dipasarkan Sari Wangi bermacam-macam mulai dari orthodox, CTC (Cutting, Tearing dan Curling) hingga teh hijau. Harga teh juga bervariasi tergantung dari kualitasnya. Mulai dari rata-rata US$ 2 per kilogram (kg)-US$ 2,20 per kg. Selain dari perkebunan teh yang dimiliki sendiri, Sari Wangi juga mendapat suplai bahan baku teh dari pihak ketiga atau melalui kemitraan dengan petani. Perkebunan teh yang dimiliki perusahaan sendiri sekitar 3.500 hektareyang berada di daerah Sukabumi dan Ciwidey, Jawa Barat. Seiring meningkatnya produksi, bisnis Sari Wangi juga terus bertumbuh. Nilai penjualan grup Sari Wangi meningkat dari US$ 31,07 juta pada akhir tahun 2009 menjadi US$ 85,23 juta pada tahun 2011. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Havid Vebri