Rabu (5/11), minggu lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memanggil Sigit Priadi Pramudito, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Sigit datang sekitar pukul 19.00 WIB, setelah rapat kabinet terbatas usai. Jokowi meminta Sigit menjelaskan penerimaan pajak dan target realisasi hingga akhir 2015 yang tersisa kurang dari dua bulan. Sigit bercerita, penjelasannya membuat Jokowi sangat khawatir dengan arus kas keuangan negara. Penerimaan pajak tahun ini tidak akan mencapai target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 sebesar Rp 1.294,26 triliun. Per 31 Oktober 2015, penerimaan pajak masih 58,6% atau Rp 758 triliun. Sampai akhir tahun, Sigit melanjutkan, realisasi hanya sekitar 85% karena tambahan setoran daerah dan wajib pajak. Dengan demikian, potensi penerimaan pajak cuma Rp 1.100,12 triliun.
Alhasil, masih terdapat potensi kekurangan (
short fall) sekitar Rp 194,14 triliun. Beberapa biang keladi short fall tersebut antara lain karena sejumlah aturan di sektor pajak batal, salah satunya kenaikan pajak pertambahan nilai jalan tol. Sehingga, potensi penerimaan pajak meleset dari hitungan. PMN paling besar Seberapa tinggi kekhawatiran dan apa saja yang membuat Presiden gelisah? Satu hal pasti, Jokowi pernah berkisah kepada KONTAN tentang prioritasnya membangun infrastruktur dan meningkatkan peran badan usaha milik negara (BUMN) dalam proyek itu. Bukan hanya anggaran untuk infrastruktur paling jumbo, Jokowi juga menegaskan, di masa ia menjabat sebagai presiden, baru sekarang nilai penyertaan modal negara (PMN) untuk BUMN terbesar sepanjang sejarah. Nilainya Rp 64,88 triliun! Tapi ingat, nilai PMN itu sumbernya dari dana tahun anggaran yang short fall Rp 194,14 triliun. Pertanyaannya, apakah negara cukup punya dana untuk mengguyuri BUMN lewat PMN sebesar itu di tahun ini? Tentu saja sulit tercapai. Sampai sekarang, sudah terbit tujuh peraturan pemerintah (PP) yang menjadi syarat pencairan PMN. Total nilai uang yang ditetapkan lewat PP yang sudah terbit sekitar Rp 17,5 triliun. Menurut Pontas Tambunan, Deputi Bidang Usaha Konstruksi dan Sarana dan Prasarana Perhubungan Kementerian BUMN, dana PMN baru cair Rp 12 triliun kepada tiga BUMN karya dan satu BUMN tambang (baca halaman 4). Kenyataan ini berbeda dengan penjelasan Menteri BUMN Rini Mariani Soemarno di pertemuan rapat dengar pendapat dengan parlemen di Komisi VI, Senin (5/10). Waktu itu Rini bilang, bulan Oktober dana PMN cair 20% dan bulan November menyusul 22%. Alhasil, seharusnya PMN sudah cair Rp 12,98 triliun bulan Oktober dan Rp 14,27 triliun bulan November. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro pun pernah menjanjikan, bulan Oktober semua perusahaan yang sudah ditunjuk mendapat PMN bisa segera mencairkan dana. Nah, sudah ada tujuh PP yang terbit. Mengapa baru empat BUMN yang mendapat PMN tahun ini? Kata Bambang, masalahnya ada di soal administrasi pencairan. Penyebab lamanya pencairan tahun ini, imbuh Rini, lantaran persetujuan dengan DPR baru selesai Maret 2015. Selain itu, proses pembuatan PP juga lama. Ia berharap semua dana PMN bisa cair semua begitu PP terbit. “Paling lambat akhir November ini,” ujar Rini.
Di samping soal pencairan, ihwal PMN 2016 yang fokus pada ketahanan energi dan pangan juga menyedot perhatian. Dalam rapat paripurna, DPR akhirnya menangguhkan PMN untuk 24 BUMN sebesar Rp 39,42 triliun. Maksudnya, PMN tetap ada, namun pencairannya bisa dilakukan setelah ada pembahasan di komisi terkait dan mendapat persetujuan pelaksanaan pencairan pada pembahasan Rancangan APBNP 2016, pada bulan April nanti (baca halaman 6-7). Nasib PMN tahun ini sepertinya terletak pada komitmen Jokowi. Bagaimana memprioritaskan dana PMN dari penerimaan yang short fall Rp 194,14 triliun. Adakah dana tersedia untuk PMN? Laporan Utama Mingguan Kontan No. 07-XX,2015 Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi