KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga emas internasional sempat mencatatkan rekor. Harga emas menembus level psikologis US$ 1.800 per ons troi. Pada pukul 22:26 WIB tadi malam (30/6), harga emas kontrak pengiriman Agustus 2020 sempat bertengger di level US$ 1.804 per ons troi, level tertinggi harga emas sejak 2011 silam.
Baca Juga: DBS: Harga emas bisa menembus US$ 1.900 per ons troi pada tahun depan! Pada Rabu (1/7) pukul 08:10 WIB, harga emas untuk pengiriman Agustus 2020 di Commodity Exchange di posisi US$ 1.797,30 per ons troi, kembali turun 0,17% dari sehari sebelumnya di US$ 1.800,50 per ons troi. Kilau harga emas seirama dengan proyeksi investasi pilihan DBS Chief Investment Office. Mereka memaparkan lima investasi teratas yang menarik pada kuartal ketiga, khususnya memasuki era new normal. Satu dari lima instrumen investasi pilihan DBS adalah emas. DBS berpendapat bahwa menambahkan emas ke dalam portofolio saat ini masih masuk akal bagi investor yang ingin mendiversifikasi risiko pada portofolio mereka, terutama pada saat banyak ketidakpastian.
Baca Juga: Investasi Emas Memang Pantas Jadi Pilihan, Aman dan Paling Cuan "Kami memperkirakan emas naik di atas US$ 1.900 per ons troi (oz) pada pertengahan tahun depan," prediksi Hou Wey Fook,
Chief Investment Officer, Consumer Banking & Wealth Management Bank DBS, dalam pernyataan resminya, Senin (29/6). Berdasarkan model DBS, ada tiga faktor penting yang mempengaruhi harga emas, yakni imbal hasil obligasi (korelasi negatif), Indeks Dollar AS atau DXY (korelasi negatif), dan risiko resesi (korelasi positif). Faktor-faktor tersebut memiliki pengaruh baik kecuali terhadap DXY, yang masih berkisar di sekitar angka 97. Saat ini, ketika likuiditas terlihat mulai kembali normal, efek samping dari stimulus Bank Sentral Amerika (The Fed) mungkin berupa likuiditas ekstra yang butuh diinvestasikan lagi, seperti pada 2008.
Baca Juga: DBS sebut pasar Indonesia & Singapura paling prospektif di ASEAN, begini alasannya Secara khusus, menurut Fook, pergerakan harga emas merespons gagasan risiko sistematik, yang berkembang. Stimulus yang belum pernah dilakukan sebelumnya dapat mendorong kenaikan angka inflasi, krisis utang, krisis mata uang, atau krisis bank, yang dapat mengancam sistem keuangan global. Fook mengemukakan hal tersebut dalam laporan terbaru DBS CIO Insights untuk kuartal III 2020. Laporan yang berjudul
Resilient in the storm ini memaparkan
lima investasi teratas yang menarik pada kuartal ketiga, khususnya memasuki era new normal. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sandy Baskoro