Semua Orang Mau Euro



LONDON. Saat ini, euro menjadi Miss Congeniality untuk mata uang dunia. Islandia sudah menjerit untuk menggunakan mata uang ini. Sementara itu Denmark dan Swedia juga sudah berpikir dua kali setelah sempat mencerca euro. Polandia dan Hongaria sudah berencana untuk menggunakan euro untuk mata uang mereka. Bahkan Inggris yang pondsterlingnya segalak anjing bulldog, sudah ada pembicaraan untuk bergabung dengan mata uang euro. Asal tahu saja, mata uang yang berdiri sendiri itu harus berjuang mati-matian di tengah lumernya finansial global dan resesi dalam beberapa minggu ini setelah berjibaku mengemohi euro yang telah digunakan di 15 negara. "Orang-orang di negara-negara tersebut telah kehilangan kepercayaan diri terhadap mata uangnya," kata Ralf Wiegert, senior economist IHS Global Insight di Frankfurt, Germany. Dolar AS sepertinya tak akan menggantikan mata uangnya sendiri, imbuh Wiegert, sehingga mereka kini tengah mencari mata uang yang lebih stabil dan yang tahan banting dan tak bisa dihajar oleh para spekulan. Nah, apakah mata uang yang memenuhi kriteria tersebut? Adalah euro. Padahal, banyak dari negara-negara tersebut yang bisa menggelindingkan perekonomiannya tanpa euro, bahkan sempat menolah untuk bergabung dengan eurozone. Hanya saja, krisis finansial telah mengubah semuanya. Lihat saja, tak ada yang lebih dramatis ketimbang Islandia. Negeri ini bukanlah wilayah dari European Union, sebuah syarat yang harus dipenuhi jika ingin menggunakan mata uang euro. Bagi Iceland, bergabung dengan EU berarti bank sentral Islandia akan disetir oleh European Central Bank. Selebihnya, bergabung dengan EU berarti harus memperhatikan hak-hak 27 anggota blok politik. Namun September lalu nasib Iceland sudah berada di ujung tanduk. Krisis likuiditas global telah menguras perbankan Islandia. Nilai krona telah terjungkal 40%. Tak ada satu pun dari bank sentral maupun pemerintah yang punya dana untuk menstabilkan krona dan mencegah kebangkrutan negeri mungil itu. Karenanya, Islandia harus menadah bantuan dari tetangganya di Eropa berupa dana segar. Setelah simpanan nasabah di bank terjerembap, 68% kini orang-orang Islandia ingin menggunakan euro. Angka ini didapatkan dari survei yang muncul dari koran terbesar di negara itu, Frettabladid. "Dalam waktu seperti sekarang ini, kerugian untuk menggunakan mata uang negeri sendiri mulai bermunculan," kata Mark Duckenfield dari London School of Economics. Tak hanya itu saja, sejak September lalu, bank sentral Denmark telah meningkatkan suku bunga patokan untuk menopang krone Denmark, bersamaan dengan ECB yang memangkas suku bunga patokannya. Denmark, yang sudah berulang-ulang menolak euro sejak tahun 2000, akan kembali voting di bulan Maret 2009 untuk mempertimbangkan keinginan bergabung dengan euro zone. Semeentara itu Polandia dan Hongaria juga telah berjuang untuk mematuhi persyaratan keanggotaan ECB yang sangat ketat. Misalnya, utang pemerintah yang rendah, inflasi yang rendah dan tingkat pengangguran yang juga rendah. Saat ini pemerintah Polandia berencana untuk bergabung dengan euro zone pad atahun 2012. Andras Simor, gubernur bank sentral Hongaria menegaskan, negaranya bisa mencapai bujet dan inflasi seperti yang disyaratkan oleh ECB pada tahun 2009 atau 2010. Sama saja dengan orang-orang Inggris yang selama menganggap nilai poundsterlingnya suci. Mereka melihat Bank of England sebagai penguasa tertinggi dan percaya bahwa keputusan harus dibuat di London, bukan di Frankfurt yang merupakan markas besar ECB. Tapi resesi kian menjungkalkan perekonomian Inggris dan BoE telah memotong suku bunga patokannya. Pada hari Jumat lalu, 1 pound setara dengan 1,07 euro, sementara Januari tahun depan diprediksikan 1 pound setara dengan 1,35 euro. Perdana Menteri Inggris Gordon Brown langsung menembak gagasan ini, yaitu beralih pada euro. Namun Business Secretary, Peter Mandelson, mengatakan bahwa euro adalah tujuan jangka panjang, bukannya saat ini.


Editor: