Sengketa klaim asuransi kesehatan



Minggu terakhir bulan lalu terjadi kasus penolakan klaim asuransi kesehatan dari informasi langsung tertanggung dan si pengacara oleh sebuah perusahaan asuransi. Imbasnya, polisi menahan direksi dan manajer  perusahaan asuransi tersebut.

Ini menjadi preseden buruk bagi perusahaan asuransi yang bisa terkena kasus serupa lantaran si pelapor tidak memakai hukum perdata. Pada gilirannya, bisa mempengaruhi kepercayaan publik terhadap peranan asuransi sebagai pihak yang bisa memastikan ketidakpastian yang dihadapi siapa pun (to ascertain the uncertainties).

Padahal, berbicara asuransi kesehatan, berdasarkan UU tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN  Nomor 40/2004) seluruh penduduk diwajibkan mengikuti program Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan atau BPJS Kesehatan. Penyelenggaraan JKN yang bersifat wajib tidak dengan sendirinya mematikan asuransi kesehatan yang tersedia di pasar asuransi. Paling tidak dengan koordinasi manfaat yang lebih baik dan adil antara penyelenggara asuransi kesehatan komersial dengan BPJS yang semakin dirasakan kegunaannya justru diperkirakan meningkatkan permintaan  jasa asuransi kesehatan yang dijual oleh perusahaan asuransi.


Cakupan asuransi

Asuransi kesehatan yang saat ini dijual perusahaan asuransi ada dua jenis. Pertama,  asuransi kesehatan yang selama ini telah banyak dijual berdasarkan kontrak indemnitas atau contract of indemnity. Indemnitas dalam hal ini berasal dari kata kerja  indemnify atau membayar ganti kerugian. Contoh asuransi non kesehatan yang masuk dalam kategori ini adalah asuransi kebakaran atau asuransi kendaraan bermotor.

Kedua, asuransi kesehatan dengan perjanjian polis non indemnitas atau contract of benefit. Besarnya ganti rugi secara pasti dalam nilai nominal  pada polis jenis pertama tidak diketahui karena belum terjadi. Namun berlaku prinsip ganti rugi yang berimbang dalam arti posisi keuangan pihak yang mengajukan klaim tidak boleh diuntungkan antara sebelum terjadi kerugian dan setelah pembayaran klaim.

Besarnya klaim yang dibayarkan pihak asuransi pada jenis kedua  tidak menerapkan prinsip indemnitas. Contoh asuransi jiwa serta yang tengah menjadi permasalahan saat ini yakni polis asuransi dengan nama generik Hospital Cash Plan (HCP). Nama lain dari jenis asuransi ini macam-macam seperti FlexyCare, Hospitalization Income Insurance, Daily Hospital Benefit dan lain-lain. Manfaat yang akan diperoleh tertanggung sebagai pihak yang mengajukan klaim dalam asuransi jenis ini telah diketahui saat awal dengan pembatasan maksimum misalnya Rp 2 juta per hari rawat inap, tergantung paket pertanggungan yang dibeli.

Lazimnya diberlakukan juga ketentuan minimum hari rawat yang dijamin polis antara satu sampai tiga hari. Artinya dibawah jumlah hari tersebut tidak dapat diklaim kepada pihak asuransi. Maksimum jumlah hari rawat inap yang akan diganti asuransi adalah 180 hari dalam setahun.

Bagi masyarakat, produk ini punya daya tarik karena proses aplikasi simpel termasuk persyaratan pengajuan klaim berupa kuitansi dari rumahsakit atau salinan yang sudah dilegalisir.

Mengingat polis jenis kedua ini tidak menerapkan prinsip indemnitas, seorang tertanggung dapat membeli beberapa polis HCP pada saat yang sama dari beberapa perusahaan asuransi yang berbeda. Istilah dalam brosur dan situs perusahaan asuransi, bisa klaim dobel. Biasanya produk ini dijual untuk mengantisipasi seandainya cakupan asuransi kesehatan utama termasuk dari BPJS Kesehatan tidak mencukupi.

Nah, bagi perusahaan asuransi harus berhati hati dalam menerima permintaan pertanggungan dan wajib menerapkan prinsip mengenal tertanggung dengan benar. Potensi terjadinya kecurangan dalam asuransi jenis ini cukup besar karena bisa saja tertanggung memanfaatkan untuk memperoleh pendapatan ekstra.

Sengketa klaim yang terjadi seperti disebutkan diatas sebetulnya bisa diupayakan solusinya melalui Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI). Badan ini berdasarkan ketentuan punya tugas menangani sengketa klaim asuransi personal dengan jumlah maksimum klaim Rp 500 juta. Entah mengapa baik tertanggung maupun si pengacara tidak memanfaatkan fasilitas ini. Sejatinya kasus ini bisa diantipasi dengan baik oleh semua pihak.              

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi