KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bekas anggota kreditur sindikasi PT Geria Wijaya Prestige (GWP) tidak bisa lagi melakukan penagihan parsial setelah seluruh piutang sindikasi terjual melalui Program Penjualan Aset-aset Kredit (PPAK) yang digelar Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada 2004. Saat ini Fireworks menjadi satu-satunya pemegang hak tagih atas piutang tersebut. Penegasan itu terungkap dari pendapat hukum Profesor Nindyo Pramono, Guru Besar Hukum Bisnis Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, tentang status Fireworks Ventures Limited sebagai kreditur tunggal PT GWP. Dia mengatakan menurut PP No. 17 Tahun 1999, wewenang penjualan itu sepenuhnya berada pada BPPN. Jika BPPN sudah menjual piutang kreditur tersebut kepada pihak ketiga, maka penjualan itu sah menurut hukum.
“Dengan demikian tentu tidak ada lagi tagihan-tagihan yang bersifat parsial. Dengan telah terjualnya seluruh aset kredit tersebut oleh BPPN, berarti seluruh hak dan kewajiban terkait dengan kredit dan aset kreditnya telah beralih sepenuhnya kepada kreditur baru yang membeli piutang kredit dan aset tersebut,” kata Nindyo dalam keterangan pers, Selasa (23/7). Menurut Nindyo, dengan terjualnya piutang (aset kredit) sindikasi PT GWP melalui PPAK di BPPN menggunakan wewenang PP 17 Tahun 1999 dan munculnya pembeli/pemegang piutang baru atau kreditur baru, dapat diartikan bahwa perjanjian kredit yang sebelumnya menjadi payung hukum hubungan perikatan antara sindikasi dengan debitur tersebut sudah berakhir. “Yang ada saat ini tentu kreditur baru yang secara sah membeli piutang kredit dan aset kredit itu dari BPPN melalui PPAK tersebut,” ungkapnya. Terkait dengan adanya Akta Kesepakatan Bersama tertanggal 8 November 2000 dan Akta Nomor 65 mengenai Pengalihan Hak Atas Tagihan (cessie) tertanggal 17 Januari 2005 antara PT Millenium Atlantic Securities (MAS) selaku penjual dan Fireworks Ventures Limited sebagai satu-satunya pemegang hak tagih atas seluruh piutang PT GWP terhadap 7 bank sindikasi (Bank PDFCI, Bank Rama, Bank Dharmala, Bank Arta Niaga Kencana, Bank Mulicor, Bank Indovest, dan Bank Finconesia), Nindyo menegaskan bahwa BPPN mempunyai wewenang untuk melakukan penagihan piutang bank yang sudah pasti dengan penerbitan surat paksa. Menurut dia, jika kemudian BPPN menjual piutang atau hak tagih yang asalnya semula dari PT GWP tersebut kepada pihak ketiga—dalam hal ini PT MAS, dan kemudian PT MAS menjual lagi kepada Fireworks, maka berdasarkan hukum, pengalihan hak tagih tersebut adalah sah menurut hukum. “Dan Fireworks adalah satu-satunya pemegang hak tagih atas seluruh utang PT GWP terhadap tujuh bank sindikasi tersebut,” katanya. Sengketa klaim atas piutang PT GWP kembali mencuat setelah majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Kamis (18/7/2019) menolak gugatan wanprestasi yang diajukan pengusaha Tomy Winata kepada PT GWP dengan menuntut ganti rugi lebih dari US$ 31 juta. Dalam pembacaan putusan yang sempat diwarnai kegaduhan akibat pengacara penggugat melakukan penyerangan terhadap hakim tersebut, majelis hakim dalam pertimbangan putusan perkara perdata Nomor 223/pdt.G/2018/PN.Jkt.Pst. itu menilai bahwa Tomy Winata selaku pengugat tidak berhak mengajukan gugatan kepada para tergugat (PT GWP dkk) karena permasalahan utang-piutang telah diselesaikan secara tuntas oleh bank sindikasi dengan BPPN.
Tomy Winata diketahui membeli dan menerima pengalihan apa yang diklaim sebagai porsi piutang PT GWP milik Bank China Construction Bank Indonesia (dulu Bank Multicor) melalui akta bawah tangan pengalihan piutang (cessie) tanggal 12 Februari 2018. Selain Bank Multicor (Bank CCB), dua eks bank sindikasi lainnya yang mengklaim masih memiliki porsi piutang PT GWP adalah Bank Agris (dulu Bank Finconesia), dan Bank Commonwealth (dulu Bank Arta Niaga Kencana). Di kemudian hari, Bank Agris mengalihkan klaimnya tersebut kepada Alfort Capital Limited, sementara Bank Commonwealth mengalihkan ke Gaston Investment Limited. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .