Senjata baru menggaet pajak di era ekonomi digital



JAKARTA. Pemerintah akan lebih gencar menyisir pajak dari sektor ekonomi digital, khususnya bisnis digital over the top (OTT). Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan menyiapkan cara mendapatkan pajak yang lebih besar dari penyedia OTT asing seperti Youtube, Facebook dan Twitter.

Cara yang disiapkan untuk menjaring pajak dari OTT adalah menerapkan skema diverted profit tax yang sudah berlaku Inggris dan Australia. Skema itu memberikan beban pajak penghasilan (PPh) yang lebih besar ke penyedia OTT.

Kepala Subdit Manajemen Transformasi DJP Kemenkeu Heru Marhanto Utomo mengatakan, rencana ini akan masuk dalam pembahasan Revisi Undang-Undang (RUU) Pajak Penghasilan (PPh) yang kini berada di tangan DPR.


Ditjen Pajak sudah masuk ke tahap awal pengkajian skema tersebut. "Draf RUU PPh yang dikirim ke DPR belum membahas digital economy secara detil. Kemungkinan nanti diakomodir pada saat pembahasan di DPR," ujarnya Kamis (15/6).

Selain merumuskan instrumen baru, Ditjen Pajak juga akan memanfaatkan Multilateral Instrument on Tax Treaty (MLI) yang telah ditandatangani oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani di Prancis. Kasubdit Pertukaran Informasi Perpajakan Internasional DJP Leli Listianawati mengatakan, dengan disepakatinya MLI oleh Indonesia bersama 33 negara lain, ada beberapa pasal yang akan diadopsi ke dalam masing-masing perjanjian.

Salah satunya adalah penentuan BUT tidak lagi ditentukan dengan perjanjian yang ada. "Dengan MLI ini ada perubahan definisi dari penentuan BUT itu sendiri sehingga diharapkan dengan kita bisa menangkap adanya treaty abuse," kata Leli.

Guru Besar bidang Ilmu Kebijakan Pajak dari Universitas Indonesia Haula Rosdiana mendukung pemerintah membuat terobosan kebijakan baru untuk mengenakan pajak atas OTT digital.

Kebijakan pajak yang ada saat ini hanya berdasarkan teori pajak klasik yang tak lagi relevan di era ekonomi digital. "Kalau tidak ada aturan pajak yang khusus maka negara tidak bisa berbuat apa-apa. Ketidakadilan ini harus diakhiri dengan kebijakan pajak baru," tandas Haula.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan