JAKARTA. Sentimen cenderung negatif belum sepenuhnya menghilang dari emiten beras. Sentimen terbaru kini justru datang dari Perum Badan Urusan Logistik (Bulog). Bulog menaikkan harga pembelian gabah dan beras petani 10%-11% dari Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Surat yang diteken 4 Agustus 2017 yang diterima KONTAN membolehkan Bulog daerah membeli Gabah Kering Giling (GKG) sebesar Rp 5.115 per kilogram (kg). Harga ini selisih Rp 515 per kg atau 11,2% di atas HPP yang senilai Rp 4.600 per kg. Pun harga beli beras juga dinaikkan menjadi Rp 8.030 per kg atau 10% di atas HPP beras yang sebesar Rp 7.300 per kg. Untuk jangka pendek, sentimen itu berpotensi menekan bisnis emiten beras seperti PT TPS Food Tbk (AISA) serta PT Buyung Poetra Sembada Tbk (HOKI).
Vice President Research and Analysis Valbury Asia Sekuritas Nico Omer Jonckheere mengatakan, menaikkan harga menjadi opsi yang paling logis sebagai respon atas sentimen tersebut. Tapi, emiten-emiten beras ini juga tidak serta merta bisa menaikkan harga. Banyak hal yang mungkin jadi pertimbangan. AISA misalnya. Bisa saja AISA tidak menaikan harga lantaran ruang untuk penyesuaian harga tengah sempit menyusul kasus yang sedang mendera salah satu anak usahanya. "Bisa juga HOKI tidak menaikkan harga jual terlalu tinggi demi memperoleh
market share yang lebih besar," jelas Nico kepada KONTAN, Senin (7/8). Yang pasti, dengan terbatasnya ruang untuk penyesuaian harga, margin bisnis menjadi yang paling pertama terpengaruh sentimen dari Bulog. Sejauh mana tekanan marginnya, ini tergantung penyesuaian harga yang dilakukan nanti, sesuai dengan
pricing strategy masing-masing emiten. Potensi tergerusnya margin juga bukan hanya datang dari sentimen Bulog, tapi juga dari Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) terbaru soal penetapan HET beras. Berdasarkan Permendag No. 47/M-DAG/PER/7/2017, harga eceran tertinggi penjualan beras ke konsumen dipatok di harga Rp 9.000 per kilogram. Itu artinya, penjual tidak boleh menjual beras lebih tinggi dari harga yang ditetapkan oleh pemerintah. "Kami melihat ketidakpastian dari regulasi pemerintah akan mempengaruhi AISA enam bulan hingga satu tahun ke depan," ujar UOB Kay Hian Stevanus Juanda dalam riset 28 Juli. Atas dasar sentimen itu, ia memprediksi margin kotor AISA akan tercatat pada level 20% hingga akhir tahun nanti. Prediksi ini sudah direvisi dari prediksi sebelumnya 22%. "Margin kotor AISA bisa turun lagi ke level 16% di periode 2018," tulis Stevanus dalam riset 28 Juli. Tapi, satu catatan, Nico tak menampik baik AISA atau pun HOKI sama-sama bermain di bisnis beras kemasan yang lebih premium dibanding beras curah. Artinya, keduanya punya segmen konsumen golongan menengah ke atas. Segmen ini cenderung kebal dengan kenaikan harga. Beras juga merupakan kebutuhan primer, jadi pasti akan terus ada permintaannya. Karakteristik itu membuat jangka panjang AISA dan HOKI sejatinya masih menarik.
"Tapi, memang sentimen itu (Bulog) memberikan sedikit sentimen negatif, ditambah lagi dengan
earning sektor
consumer goods yang agak mengecewakan secara umum," jelas Nico. Semua sentimen itu membuat potensi kenaikan harga saham AISA dan HOKI terbatas. Karena hal ini Nico lebih merekomendasikan
hold untuk kedua saham itu. Stevanus juga memiliki rekomendasi
hold untuk AISA dengan target harga Rp 1.300 per saham. Target harga itu mencerminkan
price earning ratio sebesar 12,7 kali. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati