KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Tekanan terhadap rupiah yang terjadi sepanjang tahun 2025 dinilai berasal dari kombinasi sentimen global dan domestik yang membatasi aliran modal masuk ke pasar keuangan Indonesia. Keputusan Bank Indonesia (BI) menahan suku bunga acuan di level 4,75% pada Desember 2025 mencerminkan meningkatnya tekanan terhadap nilai tukar rupiah sepanjang tahun ini. Senior Economist KB Valbury Sekuritas, Fikri C. Permana menilai, tekanan terhadap rupiah sepanjang 2025 bukan semata dipicu faktor domestik, melainkan juga dipengaruhi dinamika global.
Baca Juga: Setelah Melemah Sepanjang Tahun, Peluang Rupiah Bangkit Tergantung pada Fundamental Dari eksternal, sejumlah sentimen membebani pasar, mulai dari kenaikan suku bunga Bank of Japan (BOJ), ketidakpastian akibat potensi government shutdown di Amerika Serikat (AS), hingga ekspektasi inflasi dan data tenaga kerja AS yang masih kuat. “Kondisi ini membuat ekspektasi pelonggaran kebijakan moneter global menjadi lebih terbatas, sehingga aliran modal ke negara berkembang sepanjang tahun ini ikut tertekan,” terang Fikri kepada Kontan, awal pekan lalu. Di sisi domestik, ketidakpastian terkait kondisi fiskal turut menahan masuknya dana asing. Selain itu, sejumlah negara lain juga mempertahankan suku bunga tinggi, membuat instrumen keuangan mereka relatif lebih menarik dibanding Indonesia. Perbedaan imbal hasil tersebut mendorong dana dalam bentuk dolar AS, termasuk devisa hasil ekspor (DHE), cenderung ditempatkan di luar Indonesia. Alhasil, tekanan terhadap rupiah kian terasa dan pergerakannya menjadi lebih volatil sepanjang 2025. Menurut Fikri, peluang apresiasi rupiah sebenarnya masih terbuka, tetapi sangat bergantung pada kemampuan Indonesia menarik kembali aliran modal asing, baik ke instrumen obligasi, saham, maupun aset keuangan lainnya. “Faktor kunci yang dibutuhkan adalah peningkatan kepercayaan terhadap kondisi ekonomi domestik,” bubuhnya. Sayangnya, pertumbuhan ekonomi yang belum sepenuhnya stabil serta sejumlah kebijakan yang dinilai kurang mendukung arus modal masuk membuat investor asing cenderung bersikap wait and see.
Baca Juga: Siang Ini, Rupiah Melemah ke Rp 16.783 per Dolar AS Selain itu, arah pergerakan modal global juga masih akan sangat dipengaruhi oleh kebijakan moneter negara maju, termasuk kenaikan suku bunga BOJ yang telah membawa suku bunga acuan Jepang ke level 0,75%, tertinggi dalam 30 tahun terakhir. Kenaikan suku bunga di Jepang berpotensi mendorong pengembalian (repatriasi) dana ke negara asal, mengingat Jepang merupakan salah satu pemegang terbesar Surat Berharga Negara (SBN) Indonesia. Kondisi serupa juga terjadi di AS, di mana yield obligasi pemerintah US Treasury tenor 10 tahun telah berada di level yang tinggi, sehingga semakin menarik bagi investor global untuk menempatkan dana di pasar negara maju. "Di tengah kondisi tersebut, meski surplus neraca perdagangan Indonesia yang telah berlangsung selama puluhan bulan berturut-turut, mungkin ini yang bikin surplusnya tidak berdampak positif," Ke depan, momentum penguatan rupiah hingga ke bawah Rp 16.500 per dolar AS diharapkan mulai terbuka pada 2026. Namun, hal tersebut mensyaratkan terbentuknya kembali kepercayaan terhadap fundamental ekonomi domestik, terutama dari sisi stabilitas dan disiplin fiskal. Defisit fiskal yang melebar hingga akhir tahun 2025 di atas ekspektasi dinilai menjadi salah satu faktor yang membuat investor, baik asing maupun domestik, masih bersikap wait and see terhadap pasar keuangan Indonesia.
Untuk 2026, Fikri memperkirakan masih bergerak fluktuatif, namun diharapkan tetap bertahan di kisaran Rp 16.500 - Rp 16.700 per dolar AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News