Sentimen pajak AS padamkan harga minyak



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keperkasaan dollar Amerika Serikat (AS) di awal pekan ini membuat harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) anjlok. Senin (4/12), per pukul 17.00 WIB, harga minyak WTI kontrak pengiriman Januari 2018 di New York Mercantile Exchange terjun 1,03% menjadi US$ 57,76 per barel.

Penguatan dollar AS terjadi setelah Senat AS menyetujui usulan program pemotongan pajak yang diajukan oleh Presiden Donald Trump. Walau masih perlu revisi, senat dari Partai Republik berkeyakinan program ini bisa ditandatangani oleh Trump sebelum Natal tahun ini.

Berkat sentimen tersebut, indeks dollar kembali bangkit. Per pukul 15.35 WIB kemarin, indeks dollar AS naik 0,25% ketimbang posisi di akhir pekan lalu, yakni 92,88.


Padahal, anggota OPEC akhirnya memutuskan memperpanjang program pemangkasan produksi minyak sebesar 1,8 juta barel per hari hingga akhir 2018, dari rencana sebelumnya hanya sampai Maret 2018. Tapi, sentimen ini ternyata tak mampu mengangkat harga minyak.

Analis Asia Tradepoint Futures Deddy Yusuf Siregar menyebut, tekanan pada harga minyak bertambah lantaran aktivitas pengeboran minyak di AS meningkat. Pekan lalu, Baker Hughes merilis, AS menambah dua rig minyak, sehingga jumlah totalnya menjadi 749 rig. Ini merupakan jumlah terbanyak sejak September 2017 lalu.

Hal ini jadi indikator awal produksi minyak AS bakal kembali melesat. Memang para pengebor minyak AS mulai mendorong produksi setelah harga minyak pulih.

Adapun kini, produksi minyak AS dilaporkan mencapai 9,68 juta barel per hari. Ini menyamai rekor produksi minyak AS yang tercatat pada tahun 1970 silam.

Potensi menguat

Direktur Garuda Berjangka Ibrahim menambahkan, potensi harga minyak kembali rebound masih terbuka, terutama jika kurs dollar AS turun. Potensi penurunan terbuka dari sidang Michael Flynn, mantan Penasihat Keamanan Nasional Trump.

Maklum, dalam sidang, Flynn mengakui melakukan pembicaraan dengan perwakilan dari Rusia terkait pemilu AS di 2016. Hal tersebut dapat membuat dollar AS tertekan dan membuat harga komoditas yang diperdagangkan dalam the greenback positif.

Tapi hari ini (5/12) Ibrahim masih memprediksi harga minyak melemah dan bergerak antara US$ 57,50–US$ 58,45 per barel. Sedang Deddy memprediksi, sepekan ke depan harga minyak bergerak antara US$ 56,30–US$ 59 per barel.

Secara teknikal, harga minyak berada di atas moving average (MA) 50, MA 100 dan MA 200, dengan moving average convergence divergence (MACD) bergerak positif. Adapun indikator stochastic di area 51 dan relative strength index di level 61, keduanya menunjukkan sinyal kuat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati