Sentimen positif dari perang dagang, saham sektor baja belum menjanjikan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tak semua saham-saham emiten baja mencatatkan kenaikan di awal perdagangan, Rabu (19/12). Padahal, kabarnya, China ingin memndahkan basis industri baja ke Indonesia lantaran perang dagang.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan sebelumnya mengatakan, industri baja di China menjadi salah satu pihak yang terkena dampak dari perang dagang dengan Amerika Serikat (AS) tersebut. Sehingga, mereka mulai mempertimbangkan kemungkinan untuk melakukan relokasi industri ke Indonesia.

Berdasarkan pantauan Kontan, beberapa saham emiten baja yang sempat dibuka koreksi, langsung terbang ke zona hijau tak lama pasar modal dibuka hari ini.


Beberapa saham tersebut di antaranya saham PT Steel Pipe of Industry of Indonesia Tbk (ISSP) yang catatkan kenaikan 2,41% ke Rp 85 dan PT Gunawan Dianjaya Steel Tbk (GDSP) yang menguat 2,11% ke Rp 97, begitu juga dengan PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) yang menguat 0,49% ke Rp 408 pada pukul 10:02 WIB, setelah dibuka koreksi di harga Rp 404.

Sedangkan untuk saham PT Asahimas Flat Glass Tbk (AMFG) masih berkutat di zona merah sebanyak 2,47% di harga Rp 3.560. Sementara, untuk saham PT Saranacentral Bajatama Tbk (BAJA) masih flat di harga Rp 110 pada 10:10 WIB setelah sempat naik turun sejak pembukaan perdagangan, Rabu (19/12).

Head of Research Reliance Sekuritas Lanjar Nafi mengungkapkan, sentimen perang dagang tersebut masih dalam wacana dan belum ada realisasinya. Sehingga, masih ada kemungkinan bagi China untuk menunggu kesepakatan dagang dengan AS.

"Kalaupun terjadi, mereka merelokasi industri ke Indonesia, saya kira itu bisa jadi sentimen positif untuk Indonesia. Tapi bukan win-win solutions untuk China," kata Lanjar kepada Kontan, Rabu (19/12).

Apalagi, Lanjar menilai harga sumber daya manusia (SDM) di Indonesia cukup mahal, sehingga ada potensi relokasi lebih banyak dilakukan ke Thailand dan Vietnam.

Namun, jika sentimen perang dagang tersebut benar-benar terealisasi, maka akan ada dampak signifikan bagi industri apalagi emiten baja di Tanah Air. Hanya saja, masih terlalu dini untuk menyimpulkan saham-saham emiten baja akan terbang ke zona hijau, lantaran relokasi masih sebatas rencana.

"Kalau saya lebih konservatif menyikapinya, soalnya prospek saham-saham industri ini di Indonesia kurang baik. Dari segi performa saja kita lihat KRAS masih tercatat merugi," ungkapnya.

Ditambah lagi, menurutnya kinerja keuangan semua saham industri baja masih belum tergolong sehat. Apalagi, baja impor China lebih murah ketimbang baja dalam negeri.

"Paling ISSP yang masih terlihat bagus, namun dia lebih ke steel pipe bukan baja bahan dasar. Selebihnya, masih tercatat rugi di tahun ini," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia