Masa keemasan penjualan barang antik di Pasar Windujenar, Solo, berlangsung tahun 1990-2000. Pada periode itu, pendapatan para pedagang cenderung tinggi. Bahkan, jika sedang beruntung, pedagang bisa meraup pendapatan hingga Rp 30 juta per hari. Barang antik mereka diborong oleh pedagang di luar negeri. Seperti usaha di sektor lainnya, bisnis penjualan barang-barang antik di Pasar Windujenar, Solo, juga memiliki masa-masa kejayaan. Contohnya yang pernah dialami Heru Santoso, pemilik kios Three Antique. Dia mengaku, masa keemasan penjualan barang antik di kiosnya terjadi antara tahun 1990-2000. Pada periode itu, Heru bisa menjual barang-barang antik hingga 100 unit per hari. Dengan penjualan sebanyak itu, dia minimal meraup omzet Rp 500.000 per hari.Bahkan, jika sedang beruntung, Heru bisa mengoleksi omzet Rp 30 juta per hari. Pendapatan sebesar itu biasa diraih Heru pada periode bulan Juli hingga Agustus. Saat itu, Heru kebanjiran order dari kalangan pedagang (buyer) domestik maupun mancanegara. "Biasanya, barang antik yang laris terjual patung kayu, logam kuningan, dan perunggu," katanya. Heru mengaku, sebagian besar pelanggan kiosnya di pasar domestik berasal dari sejumlah kota di Jawa, seperti Yogyakarta dan Jakarta. Adapun buyer asing berasal dari sejumlah negara Eropa, seperti Belanda, Belgia, Prancis, dan Italia. Ketika itu, menurut Heru, tingginya penjualan barang antik di kiosnya ditopang sejumlah faktor, antara lain lokasi kios yang berada di tengah pemukiman penduduk. Selain itu, bentuk kios mirip rumah petakan dengan luas sekitar 30 meter persegi. Dengan model kios seperti itu, barang-barang antik yang dijualnya tidak terkesan mahal di mata buyer. Sebab, suasana di kios terlihat seperti industri rumahan. "Saya juga bisa menampung banyak barang di kios. Sekarang, kios saya luasnya hanya 15 meter persegi," katanya. Menurut Heru, dengan kios seluas itu, dia juga bisa membersihkan terlebih dahulu barang-barang antik yang baru didapatnya dari para pemasok di sekitar Yogyakarta, Boyolali, dan Bandung. "Ketika baru datang, barang-barang itu terlihat kotor. Makanya, sebelum dijual, saya bersihkan dulu," imbuhnya. Pedagang lain yang juga pernah mengecap manisnya penjualan barang antik adalah Sulardi. Pemilik kios barang antik Berdikari ini, mengaku, pada era tahun 2000-an usahanya pernah meraup minimal Rp 10 juta per bulan. "Dulu waktu pasarnya jelek, penjualan masih ramai. Sekarang omzet saya Rp 6 juta per bulan," katanya. Menurut Sulardi, di masa jayanya, kiosnya juga kerap kebanjiran order dari para buyer asing, di antaranya dari Malaysia, Belanda, dan Australia. Barang antik yang laris dibeli para pedagang di kios Sulardi adalah gembok kuno, perkakas rumah tangga kuno dari kayu, dan lampu hias. "Mereka bisa membeli ratusan unit," ungkap pria berusia 36 tahun itu. Sulardi tidak mengetahui pasti penyebab penjualannya terus merosot. Yang pasti, dia merasakan kondisi pahit ini sejak Pasar Windujenar direnovasi Pemerintah Kota Solo. "Mungkin sekarang pelanggan punya pilihan tempat lain dalam membeli barang antik," imbuhnya. Dugaan Sulardi dibenarkan Heru. Sepengetahuan dia, saat ini banyak pelanggannya yang membeli barang antik di lokasi lain. "Saya pernah dengar, sekarang buyer saya membeli barang antik di negara lain, seperti Thailand dan China. Mungkin harga barang antik di sana lebih bersaing," tutur Heru. (Selesai)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sentra barang antik: Pembeli beralih ke negara lain (4)
Masa keemasan penjualan barang antik di Pasar Windujenar, Solo, berlangsung tahun 1990-2000. Pada periode itu, pendapatan para pedagang cenderung tinggi. Bahkan, jika sedang beruntung, pedagang bisa meraup pendapatan hingga Rp 30 juta per hari. Barang antik mereka diborong oleh pedagang di luar negeri. Seperti usaha di sektor lainnya, bisnis penjualan barang-barang antik di Pasar Windujenar, Solo, juga memiliki masa-masa kejayaan. Contohnya yang pernah dialami Heru Santoso, pemilik kios Three Antique. Dia mengaku, masa keemasan penjualan barang antik di kiosnya terjadi antara tahun 1990-2000. Pada periode itu, Heru bisa menjual barang-barang antik hingga 100 unit per hari. Dengan penjualan sebanyak itu, dia minimal meraup omzet Rp 500.000 per hari.Bahkan, jika sedang beruntung, Heru bisa mengoleksi omzet Rp 30 juta per hari. Pendapatan sebesar itu biasa diraih Heru pada periode bulan Juli hingga Agustus. Saat itu, Heru kebanjiran order dari kalangan pedagang (buyer) domestik maupun mancanegara. "Biasanya, barang antik yang laris terjual patung kayu, logam kuningan, dan perunggu," katanya. Heru mengaku, sebagian besar pelanggan kiosnya di pasar domestik berasal dari sejumlah kota di Jawa, seperti Yogyakarta dan Jakarta. Adapun buyer asing berasal dari sejumlah negara Eropa, seperti Belanda, Belgia, Prancis, dan Italia. Ketika itu, menurut Heru, tingginya penjualan barang antik di kiosnya ditopang sejumlah faktor, antara lain lokasi kios yang berada di tengah pemukiman penduduk. Selain itu, bentuk kios mirip rumah petakan dengan luas sekitar 30 meter persegi. Dengan model kios seperti itu, barang-barang antik yang dijualnya tidak terkesan mahal di mata buyer. Sebab, suasana di kios terlihat seperti industri rumahan. "Saya juga bisa menampung banyak barang di kios. Sekarang, kios saya luasnya hanya 15 meter persegi," katanya. Menurut Heru, dengan kios seluas itu, dia juga bisa membersihkan terlebih dahulu barang-barang antik yang baru didapatnya dari para pemasok di sekitar Yogyakarta, Boyolali, dan Bandung. "Ketika baru datang, barang-barang itu terlihat kotor. Makanya, sebelum dijual, saya bersihkan dulu," imbuhnya. Pedagang lain yang juga pernah mengecap manisnya penjualan barang antik adalah Sulardi. Pemilik kios barang antik Berdikari ini, mengaku, pada era tahun 2000-an usahanya pernah meraup minimal Rp 10 juta per bulan. "Dulu waktu pasarnya jelek, penjualan masih ramai. Sekarang omzet saya Rp 6 juta per bulan," katanya. Menurut Sulardi, di masa jayanya, kiosnya juga kerap kebanjiran order dari para buyer asing, di antaranya dari Malaysia, Belanda, dan Australia. Barang antik yang laris dibeli para pedagang di kios Sulardi adalah gembok kuno, perkakas rumah tangga kuno dari kayu, dan lampu hias. "Mereka bisa membeli ratusan unit," ungkap pria berusia 36 tahun itu. Sulardi tidak mengetahui pasti penyebab penjualannya terus merosot. Yang pasti, dia merasakan kondisi pahit ini sejak Pasar Windujenar direnovasi Pemerintah Kota Solo. "Mungkin sekarang pelanggan punya pilihan tempat lain dalam membeli barang antik," imbuhnya. Dugaan Sulardi dibenarkan Heru. Sepengetahuan dia, saat ini banyak pelanggannya yang membeli barang antik di lokasi lain. "Saya pernah dengar, sekarang buyer saya membeli barang antik di negara lain, seperti Thailand dan China. Mungkin harga barang antik di sana lebih bersaing," tutur Heru. (Selesai)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News