Para perajin emping itu tak cuma rajin menggeprak buah melinjo. Sebagian dari mereka juga aktif berorganisasi dengan membentuk paguyuban Mekar Sari. Sayang, dari 100 perajin emping, hanya 25 orang saja yang ikut bergabung dalam paguyuban Mekar Sari.Seiring makin banyaknya jumlah perajin emping melinjo di Dukuh Metukan, Desa Kuncen, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten, perajin pun berinisiatif membentuk organisasi pada 2001 lalu. Organisasi perajin ini mereka beri nama paguyuban Mekar Sari. Dengan paguyuban ini, para perajin emping ini terbantu dari sisi permodalan. "Kalau ada anggota yang membutuhkan dana, paguyuban siap membantu," kata Sumini, Ketua Paguyuban Mekar Sari. Namun, lebih penting dari soal modal adalah rasa persaudaraan di antara perajin terpelihara dengan adanya paguyuban ini. Sayangnya, dari sekitar 100 warga yang memproduksi emping melinjo, hanya 25 orang saja yang ikut bergabung. Inuk Saminem, salah satu anggota paguyuban Mekar Sari ini menilai, dengan adanya paguyuban koordinasi lebih mudah. Alhasil, jika ada bantuan, sasarannya pun lebih jelas. Paguyuban ini tidak mengikat anggota soal jumlah produksi atau penyeragaman harga. "Susah kalau dibatasi seperti itu," terang Inuk. Seminggu sekali, para perajin ini selalu mengadakan pertemuan. Mereka juga dikutip iuran wajib sebesar Rp 2.000 per minggu, untuk kas organisasi. Dari uang kas inilah, bantuan permodalan mengalir. Tentunya nilainya juga tak seberapa. Tetapi setidaknya mengurangi kesulitan perajin memperoleh modal. Masalahnya, bantuan modal dari paguyuban itu tak pernah cukup bisa perajin sedang menghadapi kurangnya pasokan bahan baku. Meski populasi tanaman melinjo di Klaten masih tinggi, namun tetap belum bisa mengimbangi permintaan industri emping. "Produksi emping lokal sangat terbatas, sehingga kami sering membeli melinjo dari Banten," ujar Tri Wiji Lestarai, perajin emping. Kondisi inilah yang memberatkan para produsen emping ini. Jika harga biji melinjo asli Klaten hanya Rp 9.000 per kilogram (kg), harga biji melinjo dari Banten bisa lebih mahal Rp 3.000.Pasokan bahan mentah dan sulitnya permodalan, sejatinya memang kendala utama para perajin itu. Padahal industri rumahan emping melinjo ini adalah pekerjaan yang banyak menyerap tenaga kerja. Lihat saja, mulai dari panen melinjo, pengupasan kulit buah, proses pembuatan emping, pemasakan (oven) dan pengemasan hingga pemasaran, semuanya memerlukan tenaga kerja dalam jumlah yang tidak sedikit. Itulah sebabnya, petani berharap, pemerintah mau campur tangan membentu kesulitan para perajin emping ini. Selain bantuan teknis berupa cara memproduksi emping yang lebih baik dan lebih higienis, para perajin itu jelas membutuhkan bantuan permodalan. Setidaknya ada petunjuk bagaimana cara memperoleh modal kerja itu. Tanpa modal yang memadai, perajin jelas bakal kesulitan mengembangkan usaha. "Seperti saya yang membutuhkan modal tambahan untuk mengantisipasi kenaikan harga biji melinjo," keluh Tri.Ya, begitulah nasib perajin di negeri ini. (Selesai)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sentra emping Klaten: Bentuk paguyuban untuk perkuat modal (3)
Para perajin emping itu tak cuma rajin menggeprak buah melinjo. Sebagian dari mereka juga aktif berorganisasi dengan membentuk paguyuban Mekar Sari. Sayang, dari 100 perajin emping, hanya 25 orang saja yang ikut bergabung dalam paguyuban Mekar Sari.Seiring makin banyaknya jumlah perajin emping melinjo di Dukuh Metukan, Desa Kuncen, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten, perajin pun berinisiatif membentuk organisasi pada 2001 lalu. Organisasi perajin ini mereka beri nama paguyuban Mekar Sari. Dengan paguyuban ini, para perajin emping ini terbantu dari sisi permodalan. "Kalau ada anggota yang membutuhkan dana, paguyuban siap membantu," kata Sumini, Ketua Paguyuban Mekar Sari. Namun, lebih penting dari soal modal adalah rasa persaudaraan di antara perajin terpelihara dengan adanya paguyuban ini. Sayangnya, dari sekitar 100 warga yang memproduksi emping melinjo, hanya 25 orang saja yang ikut bergabung. Inuk Saminem, salah satu anggota paguyuban Mekar Sari ini menilai, dengan adanya paguyuban koordinasi lebih mudah. Alhasil, jika ada bantuan, sasarannya pun lebih jelas. Paguyuban ini tidak mengikat anggota soal jumlah produksi atau penyeragaman harga. "Susah kalau dibatasi seperti itu," terang Inuk. Seminggu sekali, para perajin ini selalu mengadakan pertemuan. Mereka juga dikutip iuran wajib sebesar Rp 2.000 per minggu, untuk kas organisasi. Dari uang kas inilah, bantuan permodalan mengalir. Tentunya nilainya juga tak seberapa. Tetapi setidaknya mengurangi kesulitan perajin memperoleh modal. Masalahnya, bantuan modal dari paguyuban itu tak pernah cukup bisa perajin sedang menghadapi kurangnya pasokan bahan baku. Meski populasi tanaman melinjo di Klaten masih tinggi, namun tetap belum bisa mengimbangi permintaan industri emping. "Produksi emping lokal sangat terbatas, sehingga kami sering membeli melinjo dari Banten," ujar Tri Wiji Lestarai, perajin emping. Kondisi inilah yang memberatkan para produsen emping ini. Jika harga biji melinjo asli Klaten hanya Rp 9.000 per kilogram (kg), harga biji melinjo dari Banten bisa lebih mahal Rp 3.000.Pasokan bahan mentah dan sulitnya permodalan, sejatinya memang kendala utama para perajin itu. Padahal industri rumahan emping melinjo ini adalah pekerjaan yang banyak menyerap tenaga kerja. Lihat saja, mulai dari panen melinjo, pengupasan kulit buah, proses pembuatan emping, pemasakan (oven) dan pengemasan hingga pemasaran, semuanya memerlukan tenaga kerja dalam jumlah yang tidak sedikit. Itulah sebabnya, petani berharap, pemerintah mau campur tangan membentu kesulitan para perajin emping ini. Selain bantuan teknis berupa cara memproduksi emping yang lebih baik dan lebih higienis, para perajin itu jelas membutuhkan bantuan permodalan. Setidaknya ada petunjuk bagaimana cara memperoleh modal kerja itu. Tanpa modal yang memadai, perajin jelas bakal kesulitan mengembangkan usaha. "Seperti saya yang membutuhkan modal tambahan untuk mengantisipasi kenaikan harga biji melinjo," keluh Tri.Ya, begitulah nasib perajin di negeri ini. (Selesai)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News