Dengan harga jual cuma Rp 28.000-Rp 29.000 per kilogram (kg), perajin hanya bisa memetik laba Rp 4.000 per kg. Namun, keuntungan yang tak seberapa itu bakal terkikis habis bila perajin tak pandai-pandai menyediakan stok bahan baku di saat paceklik biji melinjo.Menjadi perajin emping melinjo merupakan pekerjaan sambilan yang bisa menjadi tumpuan penghasilan bagi warga di Dukuh Metukan, Desa Kuncen, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Dan kebanyakan perajin emping melinjo itu adalah ibu rumah tangga. Di sana, para ibu rumah tangga mengolah biji melinjo menjadi emping seusai membantu sang suami menggarap sawah. Meski pekerjaan sambilan, ibu-ibu ini tampak serius menggarap emping melinjo. Lihat saja, agar pekerjaan lebih fokus, mereka sengaja mendirikan bilik kecil dari bambu sebagai "pabrik" pengolahan melinjo. Seperti yang dilakukan Tri Wijilestari. Perajin emping melinjo asal Kuncen ini membuat bilik persis di sebelah rumahnya. Tujuan Tri membuat bilik agar lebih konsentrasi dalam memproduksi emping. "Kalau ada tempat sendiri, kami juga bisa lebih fokus bekerja," terang Tri. Dengan modal Rp 1 juta, Tri membangun bilik sederhana itu. Di bilik itulah Tri memproduksi emping dibantu beberapa pekerja yang masih tetangganya sendiri. Nah, agar kerja mereka lebih efektif, Tri pun membuat pembagian tugas, yakni ada pekerja yang khusus mengupas kulit melinjo, menyangrai melinjo, hingga menggeprak hasil sangraian melinjo itu menjadi emping. Untuk memproduksi emping melinjo terbilang sederhana. Biji melinjo harus disangrai terlebih dahulu dengan menggunakan pasir agar kulit arinya terkelupas. Setelah itu, biji melinjo dibentuk menjadi emping dengan cara digeprak hingga pipih. "Mengepreknya butuh alat bantu," kata Inuk Saminem yang juga perajin emping melinjo di Kuncen. Alat bantu mengeprek biji melinjo itu terbuat dari besi berbentuk alu yang beratnya 3 kilogram (kg)- 3,5 kg.Setelah biji melinjo digeprak, selanjutnya di jemur di bawah sinar matahari hingga benar-benar kering. Setelah itu baru dikemas dalam plastik dan dipasarkan.Ketekunan perajin membuat emping melinjo itu sempat dilirik pemerintah. Sebagian perajin pernah mencicipi bantuan pemerintah berupa kompor, wajan serta anyaman bambu berbentuk kotak berukuran 1 meter 2. "Bantuan modal yang belum ada," ungkap Tri.Sama dengan bisnis lainnya, perajin emping melinjo juga mengalami masa susah. Terutama saat pasokan biji melinjo menipis sehingga membuat harga bahan baku membubung. Agar tetap bisa produksi, biasanya perajin harus selalu siap dengan stok bahan baku. Kalau tidak punya stok, perajin tentu harus keluar ongkos lebih besar untuk membeli biji melinjo. Padahal, harga emping melinjo cuma Rp 28.000-Rp 29.000 per kg. Setelah dikurangi ongkos produksi, perajin biasanya mengantongi laba bersih sebesar Rp 4.000 per kg.Namun saat harga biji melinjo melejit, keuntungan yang diperoleh perajin menipis. Bahkan, sebagian perajin pernah merugi karena biaya produksi tak sepadan dengan harga jual. "Kami sulit naikkan harga karena pembeli sudah langganan," ujar Tri. (Bersambung)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sentra emping Klaten: Jaga stok bahan baku agar laba tidak layu (2)
Dengan harga jual cuma Rp 28.000-Rp 29.000 per kilogram (kg), perajin hanya bisa memetik laba Rp 4.000 per kg. Namun, keuntungan yang tak seberapa itu bakal terkikis habis bila perajin tak pandai-pandai menyediakan stok bahan baku di saat paceklik biji melinjo.Menjadi perajin emping melinjo merupakan pekerjaan sambilan yang bisa menjadi tumpuan penghasilan bagi warga di Dukuh Metukan, Desa Kuncen, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Dan kebanyakan perajin emping melinjo itu adalah ibu rumah tangga. Di sana, para ibu rumah tangga mengolah biji melinjo menjadi emping seusai membantu sang suami menggarap sawah. Meski pekerjaan sambilan, ibu-ibu ini tampak serius menggarap emping melinjo. Lihat saja, agar pekerjaan lebih fokus, mereka sengaja mendirikan bilik kecil dari bambu sebagai "pabrik" pengolahan melinjo. Seperti yang dilakukan Tri Wijilestari. Perajin emping melinjo asal Kuncen ini membuat bilik persis di sebelah rumahnya. Tujuan Tri membuat bilik agar lebih konsentrasi dalam memproduksi emping. "Kalau ada tempat sendiri, kami juga bisa lebih fokus bekerja," terang Tri. Dengan modal Rp 1 juta, Tri membangun bilik sederhana itu. Di bilik itulah Tri memproduksi emping dibantu beberapa pekerja yang masih tetangganya sendiri. Nah, agar kerja mereka lebih efektif, Tri pun membuat pembagian tugas, yakni ada pekerja yang khusus mengupas kulit melinjo, menyangrai melinjo, hingga menggeprak hasil sangraian melinjo itu menjadi emping. Untuk memproduksi emping melinjo terbilang sederhana. Biji melinjo harus disangrai terlebih dahulu dengan menggunakan pasir agar kulit arinya terkelupas. Setelah itu, biji melinjo dibentuk menjadi emping dengan cara digeprak hingga pipih. "Mengepreknya butuh alat bantu," kata Inuk Saminem yang juga perajin emping melinjo di Kuncen. Alat bantu mengeprek biji melinjo itu terbuat dari besi berbentuk alu yang beratnya 3 kilogram (kg)- 3,5 kg.Setelah biji melinjo digeprak, selanjutnya di jemur di bawah sinar matahari hingga benar-benar kering. Setelah itu baru dikemas dalam plastik dan dipasarkan.Ketekunan perajin membuat emping melinjo itu sempat dilirik pemerintah. Sebagian perajin pernah mencicipi bantuan pemerintah berupa kompor, wajan serta anyaman bambu berbentuk kotak berukuran 1 meter 2. "Bantuan modal yang belum ada," ungkap Tri.Sama dengan bisnis lainnya, perajin emping melinjo juga mengalami masa susah. Terutama saat pasokan biji melinjo menipis sehingga membuat harga bahan baku membubung. Agar tetap bisa produksi, biasanya perajin harus selalu siap dengan stok bahan baku. Kalau tidak punya stok, perajin tentu harus keluar ongkos lebih besar untuk membeli biji melinjo. Padahal, harga emping melinjo cuma Rp 28.000-Rp 29.000 per kg. Setelah dikurangi ongkos produksi, perajin biasanya mengantongi laba bersih sebesar Rp 4.000 per kg.Namun saat harga biji melinjo melejit, keuntungan yang diperoleh perajin menipis. Bahkan, sebagian perajin pernah merugi karena biaya produksi tak sepadan dengan harga jual. "Kami sulit naikkan harga karena pembeli sudah langganan," ujar Tri. (Bersambung)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News