Kendati tak pernah kesulitan mendapatkan pasokan bahan baku, para pedagang ikan asap di Desa Ative Kecil, Ambon, masih menyimpan kendala. Mereka tak memiliki keuangan yang memadai untuk merenovasi bangunan kiosnya agar terlihat lebih bagus. Dus, mereka butuh bantuan pemerintah daerah. Ketika menyambangi sentra ikan asap di Desa Ative Kecil, Ambon, Agustus lalu, KONTAN terkesan dengan penataan lokasi. Kios-kios penjualan ikan asap di sana terlihat berjejer rapi di pinggir jalan utama yang melintasi desa. Namun, mata sedikit terusik ketika melihat bentuk bangunan tempat pedagang memproduksi ikan asap yang kumuh. Tak terlihat sediki tpun warna cat dan pernak-pernik hiasan yang membalut dinding kios. Bentuk bangunan kios di sentra ini memang semi-permanen, sehingga, sentra ikan asap Ative Kecil terlihat kurang menarik. Masalahnya, para pedagang ikan asap di sentra ini tidak punya keuangan yang memadai buat merenovasi bangunan kios. Karenanya, para pedagang meminta pemerintah daerah setempat mau memperhatikan keberadaan sentra ini. Setidaknya, pemerintah memberikan bantuan dana untuk merenovasi bangunan kios menjadi permanen. "Supaya kios terlihat lebih menarik dan pengunjung betah," ujar Ridolof Payop, seorang pedagang ikan asap di sentra ini.Harapan Payop tidak berlebihan. Kendati menyajikan menu makanan khas lokal, gaung sentra ikan asap Desa Ative Kecil sudah cukup kesohor di kalangan wisatawan domestik dan asing. Memang, menurut Ridolof Pais, kolega Payop di sentra ini, pemerintah pusat pernah memberikan bantuan kepada para pedagang di sentra ini pada masa Menteri kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi. Bantuannya berupa mesin pengasapan modern. Hanya saja, kata Ridolof, ikan asap yang diproses dengan mesin, rasanya berbeda dari ikan yang diasap dengan kayu bakar. Lagipula, proses pengasapan ikan yang dilakukan para pedagang tidak terlalu rumit. Pais mencontohkan, setelah badan ikan dibelah dua dan dibuang isi perutnya, pedagang membersihkan dagingnya dengan air jeruk nipis, sehingga tidak bau amis. Lalu, ikan ditusuk dengan bambu. "Tidak ada bumbu tambahan. Jadi rasa ikannya alami," kata Ridolof.Kemudian, ikan yang siap diasap itu disusun rapih pada besi pemanggang. Ridolof bercerita, pengasapan ikan yang pertama memakan waktu lebih lama, yakni sekitar dua jam. "Karena asap kayu bakarnya belum terlalu mengepul," ujarnya. Setelah matang, ikan akan dinaikkan ke tingkatan besi yang lebih tinggi. Begitu seterusnya. "Kalau sudah dua atau tiga kali dipindah ke besi yang paling atas, ikan sudah matang dan siap disantap," imbuh Ridolof.Menurut dia, selama ini para pedagang ikan asap di sentra ini tidak pernah kesulitan pasokan bahan baku berupa ikan cakalang dan tuna, kendati pasokannya kerap pasang surut mengikuti siklus melaut para nelayan. Biasanya para pedagang ikan asap mengambil pasokan ikan langsung dari para nelayan tradisional atau pangkalan ikan di sekitar teluk Ambon.Menurut Ridolof, ketika musim melaut di luar bulan Juni hingga Juli, harga ikan akan rendah. Di pangkalan, ikan tuna maupun cakalang rata-rata dibanderol Rp 10.000 per kilogram (kg). Pada akhir pekan, dia biasa berbelanja bahan baku ikan hingga 100 kg. "Dari 100 kg itu, sekitar 50 ekor ikan dengan ukuran antara 1,5 kg sampai 2,5 kg," paparnya. Asal tahu saja, pembeli ikan asap di sentra ini, bukan hanya masyarakat Ambon. "Tak jarang, pengunjung asal Makassar, Manado, bahkan Jakarta membeli ikan asap untuk oleh-oleh," kata Aka Payop, pengasap ikan di sentra ini. Daya tahan ikan asap cukup lama. Jadi, bisa dimanfaatkan sebagai buah tangan. "Ikan asap lebih mantap ketika disantap bersama colo-colo, sambal khas Ambon," kata Aka. (Selesai)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sentra ikan asap yang menanti bantuan pemda (2)
Kendati tak pernah kesulitan mendapatkan pasokan bahan baku, para pedagang ikan asap di Desa Ative Kecil, Ambon, masih menyimpan kendala. Mereka tak memiliki keuangan yang memadai untuk merenovasi bangunan kiosnya agar terlihat lebih bagus. Dus, mereka butuh bantuan pemerintah daerah. Ketika menyambangi sentra ikan asap di Desa Ative Kecil, Ambon, Agustus lalu, KONTAN terkesan dengan penataan lokasi. Kios-kios penjualan ikan asap di sana terlihat berjejer rapi di pinggir jalan utama yang melintasi desa. Namun, mata sedikit terusik ketika melihat bentuk bangunan tempat pedagang memproduksi ikan asap yang kumuh. Tak terlihat sediki tpun warna cat dan pernak-pernik hiasan yang membalut dinding kios. Bentuk bangunan kios di sentra ini memang semi-permanen, sehingga, sentra ikan asap Ative Kecil terlihat kurang menarik. Masalahnya, para pedagang ikan asap di sentra ini tidak punya keuangan yang memadai buat merenovasi bangunan kios. Karenanya, para pedagang meminta pemerintah daerah setempat mau memperhatikan keberadaan sentra ini. Setidaknya, pemerintah memberikan bantuan dana untuk merenovasi bangunan kios menjadi permanen. "Supaya kios terlihat lebih menarik dan pengunjung betah," ujar Ridolof Payop, seorang pedagang ikan asap di sentra ini.Harapan Payop tidak berlebihan. Kendati menyajikan menu makanan khas lokal, gaung sentra ikan asap Desa Ative Kecil sudah cukup kesohor di kalangan wisatawan domestik dan asing. Memang, menurut Ridolof Pais, kolega Payop di sentra ini, pemerintah pusat pernah memberikan bantuan kepada para pedagang di sentra ini pada masa Menteri kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi. Bantuannya berupa mesin pengasapan modern. Hanya saja, kata Ridolof, ikan asap yang diproses dengan mesin, rasanya berbeda dari ikan yang diasap dengan kayu bakar. Lagipula, proses pengasapan ikan yang dilakukan para pedagang tidak terlalu rumit. Pais mencontohkan, setelah badan ikan dibelah dua dan dibuang isi perutnya, pedagang membersihkan dagingnya dengan air jeruk nipis, sehingga tidak bau amis. Lalu, ikan ditusuk dengan bambu. "Tidak ada bumbu tambahan. Jadi rasa ikannya alami," kata Ridolof.Kemudian, ikan yang siap diasap itu disusun rapih pada besi pemanggang. Ridolof bercerita, pengasapan ikan yang pertama memakan waktu lebih lama, yakni sekitar dua jam. "Karena asap kayu bakarnya belum terlalu mengepul," ujarnya. Setelah matang, ikan akan dinaikkan ke tingkatan besi yang lebih tinggi. Begitu seterusnya. "Kalau sudah dua atau tiga kali dipindah ke besi yang paling atas, ikan sudah matang dan siap disantap," imbuh Ridolof.Menurut dia, selama ini para pedagang ikan asap di sentra ini tidak pernah kesulitan pasokan bahan baku berupa ikan cakalang dan tuna, kendati pasokannya kerap pasang surut mengikuti siklus melaut para nelayan. Biasanya para pedagang ikan asap mengambil pasokan ikan langsung dari para nelayan tradisional atau pangkalan ikan di sekitar teluk Ambon.Menurut Ridolof, ketika musim melaut di luar bulan Juni hingga Juli, harga ikan akan rendah. Di pangkalan, ikan tuna maupun cakalang rata-rata dibanderol Rp 10.000 per kilogram (kg). Pada akhir pekan, dia biasa berbelanja bahan baku ikan hingga 100 kg. "Dari 100 kg itu, sekitar 50 ekor ikan dengan ukuran antara 1,5 kg sampai 2,5 kg," paparnya. Asal tahu saja, pembeli ikan asap di sentra ini, bukan hanya masyarakat Ambon. "Tak jarang, pengunjung asal Makassar, Manado, bahkan Jakarta membeli ikan asap untuk oleh-oleh," kata Aka Payop, pengasap ikan di sentra ini. Daya tahan ikan asap cukup lama. Jadi, bisa dimanfaatkan sebagai buah tangan. "Ikan asap lebih mantap ketika disantap bersama colo-colo, sambal khas Ambon," kata Aka. (Selesai)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News