Dusun Manding, Desa Sabdodadi, Bantul, Yogyakarta sudah terkenal sebagai sentra kerajinan kulit sejak tahun 1970-an. Kerajinan kulit di dusun ini dipelopori oleh tiga pemuda setempat sejak 1958. Belakangan, banyak warga tertarik mengikuti jejak mereka. Sementara toko mulai bermunculan di dusun ini tahun 1980-an.Dusun Manding, Desa Sabdodadi, Bantul, Yogyakarta sudah terkenal sebagai sentra kerajinan kulit sejak tahun 1970-an. Kerajinan kulit di desa ini dipelopori oleh tiga pemuda setempat, yaitu Prapto Sudarmo, Ratno Suharjo, dan Wardi Utomo. Keahlian mengolah kulit mereka dapat, ketika bekerja di sebuah perusahaan kulit di Kota Yogyakarta pada tahun 1947. Pada tahun 1958, mereka memutuskan untuk pulang kampung dan mendirikan usaha sendiri dengan memproduksi tas, jaket, dan lain-lain.Dwijo Hadi Suyono, pemilik Toko Selly Kusuma mengisahkan, sejak ketiga orang itu merintis usaha kerajinan kulit di Manding, banyak warga yang tertarik mengikuti jejak mereka. Lambat laun banyak warga setempat yang berprofesi sebagai perajin kulit. Pada tahun 1970-an, dusun ini pun mulai menjelma sebagai sentra kerajinan kulit. Keahlian mengolah kulit mereka dapat secara turun-temurun. Namun di tahun 1970-an itu, belum ada toko atau showroom untuk memasarkan hasil produksi para perajin kulit. "Toko mulai bermunculan di dusun ini sekitar tahun 1980-an," kata pria yang akrab disapa Yono ini.Toko-toko bermunculan seiring semakin dikenalnya Manding di kalangan para pelancong, baik dari Yogya maupun luar daerah. Sejak saat itu, Manding menjadi ramai. Saat akhir pekan, banyak pengunjung datang ke kampung ini. Lantaran ramai pengunjung, jumlah toko pun semakin banyak. Saat ini, tercatat sekitar 30 kios yang menjual aneka produk dari kulit, seperti tas, jaket, sepatu, sandal, dan dompet. "Hingga saat ini, hubungan antara pedagang dan perajin tetap terjalin dengan baik," kata Yono.Awalnya, jumlah kios belum sebanyak sekarang. Di tahun 2000-an, jumlah kios baru ada sekitar 10-an. "Kalau tidak salah, kios saya termasuk yang kesepuluh," kenang Yono yang membuka kios di tahun 2000.Yono bilang, jumlah kios tumbuh pesat di tahun 2007-2008 atau setahun setelah bencana gempa yang melanda wilayah Yogyakarta dan sekitarnya pada tahun 2006 silam. Setelah gempa tersebut, banyak lahan di pinggir-pinggir jalan yang disewakan. Saat itu, hampir setiap bulan muncul toko baru. "Kebanyakan yang membuka gerai adalah anak, saudara, atau kerabat para perajin kulit," ucap Yono yang menjabat Ketua Pengurus Dusun Perajin Manding ini.Dwi Astuti, pengelola Toko Maylia, bilang bahwa menjamurnya kios itu memang membuat Manding semakin terkenal sebagai sentra kerajinan kulit. Namun di sisi lain, persaingan sesama pedagang juga semakin ketat. Soalnya, produk yang dijual juga serupa. "Yang membedakan mungkin corak atau motif dan modelnya. Kalau jenis produknya si sama," ujarnya.Walaupun persaingan semakin ketat, tidak ada pedagang yang saling menjegal. Menurut Dwi, setiap pedagang sudah memiliki pelanggan sendiri. Untuk menjaring pelanggan baru, biasanya setiap toko sudah tahu apa yang harus dilakukan tanpa mencurangi toko lainnya. "Yang dilakukan masih dalam taraf wajar, seperti mendekorasi outlet hingga memenuhi toko dengan beragam produk ," ujarnya. (Bersambung)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sentra kerajinan kulit Manding ada sejak 1958 (2)
Dusun Manding, Desa Sabdodadi, Bantul, Yogyakarta sudah terkenal sebagai sentra kerajinan kulit sejak tahun 1970-an. Kerajinan kulit di dusun ini dipelopori oleh tiga pemuda setempat sejak 1958. Belakangan, banyak warga tertarik mengikuti jejak mereka. Sementara toko mulai bermunculan di dusun ini tahun 1980-an.Dusun Manding, Desa Sabdodadi, Bantul, Yogyakarta sudah terkenal sebagai sentra kerajinan kulit sejak tahun 1970-an. Kerajinan kulit di desa ini dipelopori oleh tiga pemuda setempat, yaitu Prapto Sudarmo, Ratno Suharjo, dan Wardi Utomo. Keahlian mengolah kulit mereka dapat, ketika bekerja di sebuah perusahaan kulit di Kota Yogyakarta pada tahun 1947. Pada tahun 1958, mereka memutuskan untuk pulang kampung dan mendirikan usaha sendiri dengan memproduksi tas, jaket, dan lain-lain.Dwijo Hadi Suyono, pemilik Toko Selly Kusuma mengisahkan, sejak ketiga orang itu merintis usaha kerajinan kulit di Manding, banyak warga yang tertarik mengikuti jejak mereka. Lambat laun banyak warga setempat yang berprofesi sebagai perajin kulit. Pada tahun 1970-an, dusun ini pun mulai menjelma sebagai sentra kerajinan kulit. Keahlian mengolah kulit mereka dapat secara turun-temurun. Namun di tahun 1970-an itu, belum ada toko atau showroom untuk memasarkan hasil produksi para perajin kulit. "Toko mulai bermunculan di dusun ini sekitar tahun 1980-an," kata pria yang akrab disapa Yono ini.Toko-toko bermunculan seiring semakin dikenalnya Manding di kalangan para pelancong, baik dari Yogya maupun luar daerah. Sejak saat itu, Manding menjadi ramai. Saat akhir pekan, banyak pengunjung datang ke kampung ini. Lantaran ramai pengunjung, jumlah toko pun semakin banyak. Saat ini, tercatat sekitar 30 kios yang menjual aneka produk dari kulit, seperti tas, jaket, sepatu, sandal, dan dompet. "Hingga saat ini, hubungan antara pedagang dan perajin tetap terjalin dengan baik," kata Yono.Awalnya, jumlah kios belum sebanyak sekarang. Di tahun 2000-an, jumlah kios baru ada sekitar 10-an. "Kalau tidak salah, kios saya termasuk yang kesepuluh," kenang Yono yang membuka kios di tahun 2000.Yono bilang, jumlah kios tumbuh pesat di tahun 2007-2008 atau setahun setelah bencana gempa yang melanda wilayah Yogyakarta dan sekitarnya pada tahun 2006 silam. Setelah gempa tersebut, banyak lahan di pinggir-pinggir jalan yang disewakan. Saat itu, hampir setiap bulan muncul toko baru. "Kebanyakan yang membuka gerai adalah anak, saudara, atau kerabat para perajin kulit," ucap Yono yang menjabat Ketua Pengurus Dusun Perajin Manding ini.Dwi Astuti, pengelola Toko Maylia, bilang bahwa menjamurnya kios itu memang membuat Manding semakin terkenal sebagai sentra kerajinan kulit. Namun di sisi lain, persaingan sesama pedagang juga semakin ketat. Soalnya, produk yang dijual juga serupa. "Yang membedakan mungkin corak atau motif dan modelnya. Kalau jenis produknya si sama," ujarnya.Walaupun persaingan semakin ketat, tidak ada pedagang yang saling menjegal. Menurut Dwi, setiap pedagang sudah memiliki pelanggan sendiri. Untuk menjaring pelanggan baru, biasanya setiap toko sudah tahu apa yang harus dilakukan tanpa mencurangi toko lainnya. "Yang dilakukan masih dalam taraf wajar, seperti mendekorasi outlet hingga memenuhi toko dengan beragam produk ," ujarnya. (Bersambung)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News