Jumlah perajin keramik di Desa Anjun, Plered, Purwakarta terus menyusut. Pasalnya, banyak perajin skala kecil yang bangkrut karena kekurangan modal dan pengetahuan mengelola keuangan. Sebagian memang masih ada yang bertahan. Mereka menjual keramik buatannya ke perajin besar dengan harga murah.Pusat produksi keramik di Plered, Purwakarta, Jawa Barat sudah dikenal sejak awal abad ke-20. Sentra ini terpusat di Desa Anjun. Saat masih jaya-jayanya, jumlah perajin keramik di Plered mencapai 2.000 orang.Tapi, belakangan banyak perajin yang bangkrut alias gulung tikar. Kini, jumlahnya tinggal ratusan perajin saja. Banyak dari mereka yang bangkrut karena kurangnya modal dan pengetahuan mengelola keuangan.Ujang, salah seorang perajin kecil di Plered bilang, selama ini dia kesulitan mengembangkan usahanya lantaran kendala modal dan tenaga. "Dalam sehari saya hanya bisa menjual 50 keramik," katanya.Untuk bertahan, Ujang menjual keramik ke perajin besar dengan harga sangat murah. Yakni, antara Rp 500 - Rp 1.000 per keramik. Keramik dia hargai murah karena belum dicat dan diberi motif. Kendati belum dicat dan diberi motif, proses pembuatan keramik sendiri tidak mudah. Untuk tanah liatnya, mereka harus membeli dari daerah Citeko, Plered. Setelah itu, tanah dibentuk menjadi aneka produk keramik. Kemudian, keramik dibakar dan dikeringkan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari.Ujang terpaksa menjual keramik kepada para perajin besar dengan harga murah. "Soalnya, kami juga butuh uang cepat buat hidup sehari-hari," ujarnya lirih.Salah seorang perajin besar yang kerap menampung keramik dari para perajin kecil adalah Mochamad Taufiq. Ia menampung keramik dari para perajin kecil dengan harga murah karena produknya masih harus di-finishing.Proses finishing di antaranya meliputi pengecatan dan pemberian motif. Setelah selesai di-finishing, keramik Taufiq jual dengan harga lumayan tinggi. Yaitu, mulai Rp 10.000 hingga ratusan ribu per keramik.Menurut Taufiq, banyak perajin kecil sulit berkembang akibat terkendala modal. "Sudah itu, mereka juga tidak pandai mengelola keuangan, sehingga banyak yang bangkrut," katanya.Sayang, dukungan dari pemerintah tergolong minim. Contoh, penyuluhan atau pelatihan dari pemerintah sangat jarang diberikan.Perajin besar lainnya, Ade Sudrajat, mengakui minimnya dukungan dari pemerintah setempat dalam mengembangkan kerajinan keramik di Plered. Padahal, para perajin sangat membutuhkan adanya penyuluhan, pelatihan, maupun bantuan modal dari pemerintah.Haji Ayat, perajin lainnya, menambahkan, kendala modal sebenarnya bisa diatasi dengan mengajukan pinjaman ke bank. Tapi, bagi perajin kecil, bunga bank yang lumayan tinggi jelas memberatkan mereka. Tahun lalu sebetulnya sempat ada program bantuan modal dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan bunga yang cukup rendah. Namun, tidak semua perajin memenuhi persyaratan sehingga banyak yang tidak mendapat pinjaman ini. (Bersambung)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sentra keramik Purwakarta: Kendala modal (2)
Jumlah perajin keramik di Desa Anjun, Plered, Purwakarta terus menyusut. Pasalnya, banyak perajin skala kecil yang bangkrut karena kekurangan modal dan pengetahuan mengelola keuangan. Sebagian memang masih ada yang bertahan. Mereka menjual keramik buatannya ke perajin besar dengan harga murah.Pusat produksi keramik di Plered, Purwakarta, Jawa Barat sudah dikenal sejak awal abad ke-20. Sentra ini terpusat di Desa Anjun. Saat masih jaya-jayanya, jumlah perajin keramik di Plered mencapai 2.000 orang.Tapi, belakangan banyak perajin yang bangkrut alias gulung tikar. Kini, jumlahnya tinggal ratusan perajin saja. Banyak dari mereka yang bangkrut karena kurangnya modal dan pengetahuan mengelola keuangan.Ujang, salah seorang perajin kecil di Plered bilang, selama ini dia kesulitan mengembangkan usahanya lantaran kendala modal dan tenaga. "Dalam sehari saya hanya bisa menjual 50 keramik," katanya.Untuk bertahan, Ujang menjual keramik ke perajin besar dengan harga sangat murah. Yakni, antara Rp 500 - Rp 1.000 per keramik. Keramik dia hargai murah karena belum dicat dan diberi motif. Kendati belum dicat dan diberi motif, proses pembuatan keramik sendiri tidak mudah. Untuk tanah liatnya, mereka harus membeli dari daerah Citeko, Plered. Setelah itu, tanah dibentuk menjadi aneka produk keramik. Kemudian, keramik dibakar dan dikeringkan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari.Ujang terpaksa menjual keramik kepada para perajin besar dengan harga murah. "Soalnya, kami juga butuh uang cepat buat hidup sehari-hari," ujarnya lirih.Salah seorang perajin besar yang kerap menampung keramik dari para perajin kecil adalah Mochamad Taufiq. Ia menampung keramik dari para perajin kecil dengan harga murah karena produknya masih harus di-finishing.Proses finishing di antaranya meliputi pengecatan dan pemberian motif. Setelah selesai di-finishing, keramik Taufiq jual dengan harga lumayan tinggi. Yaitu, mulai Rp 10.000 hingga ratusan ribu per keramik.Menurut Taufiq, banyak perajin kecil sulit berkembang akibat terkendala modal. "Sudah itu, mereka juga tidak pandai mengelola keuangan, sehingga banyak yang bangkrut," katanya.Sayang, dukungan dari pemerintah tergolong minim. Contoh, penyuluhan atau pelatihan dari pemerintah sangat jarang diberikan.Perajin besar lainnya, Ade Sudrajat, mengakui minimnya dukungan dari pemerintah setempat dalam mengembangkan kerajinan keramik di Plered. Padahal, para perajin sangat membutuhkan adanya penyuluhan, pelatihan, maupun bantuan modal dari pemerintah.Haji Ayat, perajin lainnya, menambahkan, kendala modal sebenarnya bisa diatasi dengan mengajukan pinjaman ke bank. Tapi, bagi perajin kecil, bunga bank yang lumayan tinggi jelas memberatkan mereka. Tahun lalu sebetulnya sempat ada program bantuan modal dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan bunga yang cukup rendah. Namun, tidak semua perajin memenuhi persyaratan sehingga banyak yang tidak mendapat pinjaman ini. (Bersambung)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News