Tapai singkong dalam bentuk utuh alias peuyeum sudah lama kondang sebagai buah tangan khas Bandung. Meski dari Bandung, tahukah Anda, yang awal mempopulerkan peuyeum ini justru warga Desa Bendul, Purwakarta, Jawa Barat.Mereka mengenalkan peuyeum ketika mengadu nasib di Kampung Citatah, Cipatat, Bandung Barat. Tempat ini yang kemudian terkenal sebagai sentra peuyeum di Bandung. Dari sini, peuyeum lantas menyebar ke mana-mana.Sekarang, ada sekitar 50 kios yang menjual peuyeum di kelokan jalan raya Cipatat sebelum masuk Padalarang- Bandung, kalau dari arah Puncak, Bogor. Di sentra itu, penganan nan manis serta legit itu dijual Rp 6.000 - Rp 7.000 per kilogram (kg). Muhammad Basor, pemilik kios Jakiah di kampung Citatah, berkisah bahwa peuyeum di daerah Citatah sudah ada sejak tahun 1980. Awalnya pembuatan peuyeum ini dikenalkan penduduk Bendul, Purwakarta. Kala itu, masyarakat Bendul menyewa kios-kios di pinggir jalan raya Cipatat untuk berjualan peuyeum. Tak lama kemudian, masyarakat Kampung Citatah meniru cara pembuatan peuyeum dan kemudian memproduksi lalu menjualnya sendiri. "Dulu peuyeum di sini sering disebut peuyeum bendul, namun karena sudah menyebar ke mana-mana maka namanya berubah menjadi peuyeum gantung," kata Basor.Karena laris manis, banyak warga Citatah yang beralih profesi dari petani singkong menjadi pembuat sekaligus penjual peuyeum. Basor, salah satunya. Ia berjualan tapai singkong itu sejak medio 1980-an, kala itu ia masih ikut membantu orang tuanya. Selepas lulus sekolah menengah atas (SMA), orang tuanya membukakan satu kios untuk berjualan peuyeum. Basor tidak memproduksi peuyeum sendiri. Dia membeli peuyeum dengan harga Rp 300.000 per kuintal di rumah industri pembuatan peuyeum yang berlokasi di kampung Citatah. Kemudian ia menjualnya dengan harga Rp 600.000 per 1 kuintal. Basor juga menjual dengan sistem eceran seharga Rp 6.000 - Rp 7.000 per kg. Ia mengaku bisa mendapatkan omzet rata-rata sebesar Rp 10 juta per bulan dengan laba bersih 30%.Para pembeli tapai miliknya, kebanyakan para pelancong dari luar Bandung, misal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. "Peuyeum biasanya dibeli sebagai buah tangan wisatawan yang ke Bandung," tuturnya. Pedagang lain, Jajang Jaelani (36 tahun) pemilik Kios Sunda Rasa mengatakan, daya tahan peuyeum hanya 4-5 hari, setelah itu busuk. Sama seperti Basor, Jajang juga membeli peuyeum dari tempat pembuatan tapai. " Saya bisa jual lebih mahal hingga 100%. Kalau harga ecerannya dari pabrik Rp 3.000 per kg, saya jual Rp 6.000 per kg. Ini untuk menyiasati kerugian bila peuyeum busuk," katanya.Siti Mesaroh, penjual lain mengatakan, karena peuyeum cepat busuk, dia menaruh peuyeum imitasi yang terbuat dari kayu sebagai displai, supaya dari jalan peuyeum yang dia jual kelihatan banyak. Cara ini dilakukannya karena jika semua peuyeum dipajang terlalu lama di luar pasti akan cepat busuk. "Saya bisa menjual 4 kuintal peuyeum per pekan dengan omzet sekitar Rp 7,2 juta per bulan dengan laba bersih 20%," imbuhnya. (bersambung)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sentra peuyeum Bandung: Datang dari Purwakarta (1)
Tapai singkong dalam bentuk utuh alias peuyeum sudah lama kondang sebagai buah tangan khas Bandung. Meski dari Bandung, tahukah Anda, yang awal mempopulerkan peuyeum ini justru warga Desa Bendul, Purwakarta, Jawa Barat.Mereka mengenalkan peuyeum ketika mengadu nasib di Kampung Citatah, Cipatat, Bandung Barat. Tempat ini yang kemudian terkenal sebagai sentra peuyeum di Bandung. Dari sini, peuyeum lantas menyebar ke mana-mana.Sekarang, ada sekitar 50 kios yang menjual peuyeum di kelokan jalan raya Cipatat sebelum masuk Padalarang- Bandung, kalau dari arah Puncak, Bogor. Di sentra itu, penganan nan manis serta legit itu dijual Rp 6.000 - Rp 7.000 per kilogram (kg). Muhammad Basor, pemilik kios Jakiah di kampung Citatah, berkisah bahwa peuyeum di daerah Citatah sudah ada sejak tahun 1980. Awalnya pembuatan peuyeum ini dikenalkan penduduk Bendul, Purwakarta. Kala itu, masyarakat Bendul menyewa kios-kios di pinggir jalan raya Cipatat untuk berjualan peuyeum. Tak lama kemudian, masyarakat Kampung Citatah meniru cara pembuatan peuyeum dan kemudian memproduksi lalu menjualnya sendiri. "Dulu peuyeum di sini sering disebut peuyeum bendul, namun karena sudah menyebar ke mana-mana maka namanya berubah menjadi peuyeum gantung," kata Basor.Karena laris manis, banyak warga Citatah yang beralih profesi dari petani singkong menjadi pembuat sekaligus penjual peuyeum. Basor, salah satunya. Ia berjualan tapai singkong itu sejak medio 1980-an, kala itu ia masih ikut membantu orang tuanya. Selepas lulus sekolah menengah atas (SMA), orang tuanya membukakan satu kios untuk berjualan peuyeum. Basor tidak memproduksi peuyeum sendiri. Dia membeli peuyeum dengan harga Rp 300.000 per kuintal di rumah industri pembuatan peuyeum yang berlokasi di kampung Citatah. Kemudian ia menjualnya dengan harga Rp 600.000 per 1 kuintal. Basor juga menjual dengan sistem eceran seharga Rp 6.000 - Rp 7.000 per kg. Ia mengaku bisa mendapatkan omzet rata-rata sebesar Rp 10 juta per bulan dengan laba bersih 30%.Para pembeli tapai miliknya, kebanyakan para pelancong dari luar Bandung, misal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. "Peuyeum biasanya dibeli sebagai buah tangan wisatawan yang ke Bandung," tuturnya. Pedagang lain, Jajang Jaelani (36 tahun) pemilik Kios Sunda Rasa mengatakan, daya tahan peuyeum hanya 4-5 hari, setelah itu busuk. Sama seperti Basor, Jajang juga membeli peuyeum dari tempat pembuatan tapai. " Saya bisa jual lebih mahal hingga 100%. Kalau harga ecerannya dari pabrik Rp 3.000 per kg, saya jual Rp 6.000 per kg. Ini untuk menyiasati kerugian bila peuyeum busuk," katanya.Siti Mesaroh, penjual lain mengatakan, karena peuyeum cepat busuk, dia menaruh peuyeum imitasi yang terbuat dari kayu sebagai displai, supaya dari jalan peuyeum yang dia jual kelihatan banyak. Cara ini dilakukannya karena jika semua peuyeum dipajang terlalu lama di luar pasti akan cepat busuk. "Saya bisa menjual 4 kuintal peuyeum per pekan dengan omzet sekitar Rp 7,2 juta per bulan dengan laba bersih 20%," imbuhnya. (bersambung)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News