Munculnya persaingan tak sehat, membuat harga rempeyek Pelemadu remuk. Para produsen pun kemudian membuat kesepakatan soal harga jual. Untuk mengimbangi kenaikan harga bahan baku, mereka juga menjual produknya di pasar modern. Hanya, sistem pembayaran konsinyasi memberatkan modal mereka.Banting harga di kalangan produsen rempeyek Pelemadu memang tak terelakkan. Persaingan tak sehat membuat harga rempeyek ikut remuk di pasaran. Namun, menurut Corporate Secretary Permodalan Nasional Madani (PNM) Arief Mulyadi, yang mempermainkan harga rempeyek di tingkat produsen adalah agen. "Yang satu menawarkan harga Rp 350 per rempeyek, kemudian tetangganya menawarkan harga Rp 300. Begitu terus yang terjadi hingga akhirnya mereka tak sadar telah mematok harga jual di bawah harga pokok produksi (HPP)," ujar Arief.Karena itu, saat pertama kali masuk ke Pelemadu, Maret 2010, PNM melakukan pembenahan soal harga dasar rempeyek. "Harus dibuat kesepakatan soal harga dasar rempeyek," ujar Arief.Permasalahan lainnya adalah soal bahan baku. Meskipun bahan baku yang rempeyek kacang tanah selalu ada, namun terkadang mereka kesulitan mendapatkan kacang sesuai standar. Selain itu harga kacang terus melonjak. Kalau setahun lalu masih Rp 10.000 - Rp 11.000 per kilogram (kg), kini harganya sudah mencapai Rp 14.000 per kg.Untuk mengatasi masalah kenaikan harga bahan baku ini, PNM berusaha membuat jaringan pemasaran rempeyek Pelemadu ke ritel modern. Salah satunya ke Mirota. Mereka pun menggunakan merek yang sama, yakni Peyek Pelemadu untuk produk yang dijual di ritel modern. Adapun rempeyek yang dijual ke pasar-pasar tradisional tetap menggunakan merek dari perajin masing-masing. Salah satu keuntungan penjualan di pasar modern adalah banderol harga yang jauh lebih tinggi dibanding penjualan di pasar tradisional. Jika di ritel modern harga jualnya berkisar Rp 9.000 sampai Rp 10.000 per bungkus, di pasar tradisional mereka hanya bisa mematok antara Rp 2.000 sampai Rp 2.700.Dengan demikian, para produsen rempeyek bisa mengimbangi kenaikan harga bahan baku. Keuntungan pun meningkat. Kalau di pasar tradisional atau pasar lokal, tingkat keuntungan hanya sekitar Rp 300 per bungkus, sedangkan di pasar modern, keuntungan minimal Rp 1.500 per bungkus.Menurut Kepala Dukuh Pelemadu Sumardji, yang memiliki rempeyek merek Bu Eny, untuk bisa masuk ke pasar modern, rempeyek harus memenuhi beberapa persyaratan. Misalnya, kemasan yang harus bagus, pengiriman harus tepat waktu, serta kualitas dan kuantitas produk yang harus konsisten. Mereka juga harus mencantumkan komposisi bahan baku, nilai gizi dan tanggal kadaluwarsa. "Kami juga bantu mendesain kemasan supaya tampil menarik," ujar Arief.Soal kualitas, Sumardji bilang, mereka harus menggunakan kacang kualitas terbaik dan tidak boleh digoreng dengan minyak jelantah. Sebelum pengemasan, rempeyek juga harus ditiris dengan alat pengering minyak yang diberikan oleh PNM.Hanya saja, penjualan di ritel modern ini menuai permasalahan lantaran pembayaran konsinyasi. "Penagihan dilakukan sebulan setelah pengiriman. Padahal dalam sebulan ada sekitar tiga kali pengiriman," ujar Sumardji.Tentu saja, itu mengganggu permodalan mereka. Berbeda dengan penjualan di pasar tradisional yang umumnya pembayaran bisa langsung diperoleh. Meski tak langsung mendapatkan uang tunai, Tubilah, pemilik rempeyek Tubilah pun ingin produknya juga dipasarkan di ritel modern. Namun, lantaran usianya yang sudah senja, ia menyerahkan urusan penjualan ke pasar ritel kepada adiknya, Sumardji. "Sekarang, saya hanya ingin berkonsentrasi menyiapkan anak-anak agar siap untuk mengambil alih usaha ini," ujarnya. (Selesai)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sentra rempeyek Bantul: Pasarnya meluas sampai pasar modern (4)
Munculnya persaingan tak sehat, membuat harga rempeyek Pelemadu remuk. Para produsen pun kemudian membuat kesepakatan soal harga jual. Untuk mengimbangi kenaikan harga bahan baku, mereka juga menjual produknya di pasar modern. Hanya, sistem pembayaran konsinyasi memberatkan modal mereka.Banting harga di kalangan produsen rempeyek Pelemadu memang tak terelakkan. Persaingan tak sehat membuat harga rempeyek ikut remuk di pasaran. Namun, menurut Corporate Secretary Permodalan Nasional Madani (PNM) Arief Mulyadi, yang mempermainkan harga rempeyek di tingkat produsen adalah agen. "Yang satu menawarkan harga Rp 350 per rempeyek, kemudian tetangganya menawarkan harga Rp 300. Begitu terus yang terjadi hingga akhirnya mereka tak sadar telah mematok harga jual di bawah harga pokok produksi (HPP)," ujar Arief.Karena itu, saat pertama kali masuk ke Pelemadu, Maret 2010, PNM melakukan pembenahan soal harga dasar rempeyek. "Harus dibuat kesepakatan soal harga dasar rempeyek," ujar Arief.Permasalahan lainnya adalah soal bahan baku. Meskipun bahan baku yang rempeyek kacang tanah selalu ada, namun terkadang mereka kesulitan mendapatkan kacang sesuai standar. Selain itu harga kacang terus melonjak. Kalau setahun lalu masih Rp 10.000 - Rp 11.000 per kilogram (kg), kini harganya sudah mencapai Rp 14.000 per kg.Untuk mengatasi masalah kenaikan harga bahan baku ini, PNM berusaha membuat jaringan pemasaran rempeyek Pelemadu ke ritel modern. Salah satunya ke Mirota. Mereka pun menggunakan merek yang sama, yakni Peyek Pelemadu untuk produk yang dijual di ritel modern. Adapun rempeyek yang dijual ke pasar-pasar tradisional tetap menggunakan merek dari perajin masing-masing. Salah satu keuntungan penjualan di pasar modern adalah banderol harga yang jauh lebih tinggi dibanding penjualan di pasar tradisional. Jika di ritel modern harga jualnya berkisar Rp 9.000 sampai Rp 10.000 per bungkus, di pasar tradisional mereka hanya bisa mematok antara Rp 2.000 sampai Rp 2.700.Dengan demikian, para produsen rempeyek bisa mengimbangi kenaikan harga bahan baku. Keuntungan pun meningkat. Kalau di pasar tradisional atau pasar lokal, tingkat keuntungan hanya sekitar Rp 300 per bungkus, sedangkan di pasar modern, keuntungan minimal Rp 1.500 per bungkus.Menurut Kepala Dukuh Pelemadu Sumardji, yang memiliki rempeyek merek Bu Eny, untuk bisa masuk ke pasar modern, rempeyek harus memenuhi beberapa persyaratan. Misalnya, kemasan yang harus bagus, pengiriman harus tepat waktu, serta kualitas dan kuantitas produk yang harus konsisten. Mereka juga harus mencantumkan komposisi bahan baku, nilai gizi dan tanggal kadaluwarsa. "Kami juga bantu mendesain kemasan supaya tampil menarik," ujar Arief.Soal kualitas, Sumardji bilang, mereka harus menggunakan kacang kualitas terbaik dan tidak boleh digoreng dengan minyak jelantah. Sebelum pengemasan, rempeyek juga harus ditiris dengan alat pengering minyak yang diberikan oleh PNM.Hanya saja, penjualan di ritel modern ini menuai permasalahan lantaran pembayaran konsinyasi. "Penagihan dilakukan sebulan setelah pengiriman. Padahal dalam sebulan ada sekitar tiga kali pengiriman," ujar Sumardji.Tentu saja, itu mengganggu permodalan mereka. Berbeda dengan penjualan di pasar tradisional yang umumnya pembayaran bisa langsung diperoleh. Meski tak langsung mendapatkan uang tunai, Tubilah, pemilik rempeyek Tubilah pun ingin produknya juga dipasarkan di ritel modern. Namun, lantaran usianya yang sudah senja, ia menyerahkan urusan penjualan ke pasar ritel kepada adiknya, Sumardji. "Sekarang, saya hanya ingin berkonsentrasi menyiapkan anak-anak agar siap untuk mengambil alih usaha ini," ujarnya. (Selesai)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News