Sentra Rotan Jepara: Ramai pembeli asing (3)



Sentra kerajinan rotan di Desa Teluk Wetan, Jepara, ternyata sudah terkenal hingga ke luar negeri. Banyak turis asing yang melancong ke Indonesia, menyemat diri mengunjungi sentra ini.

Subhi, salah satu perajin rotan, mengatakan kiosnya sering dikunjungi warga asing, terutama dari Jepang. Tujuan utama mereka datang ke Jepara kebanyakan mencari mebel ukir.

Namun, ketika mendengar tentang kerajinan rotan di desa  Teluk Wetan, biasanya mereka tidak melewatkan kesempatan untuk mampir sekaligus belanja.


Bahkan pada tahun 1990-an, Subhi pernah menjalin kerja sama dengan pengusaha asal Jepang. Saat itu, ada pengusaha Jepang yang menanam modal di showroom milik Subhi dan menjadi pembeli tetap produknya.

Namun, kerjasama tersebut putus sekitar lima tahun belakangan. "Ya, seiring dengan adanya pasar global, persaingan kan semakin ketat, enggak bisa bertahan, sehingga kerjasama putus," ujarnya.

Sejak itu, bisnis rotan Subhi mengalami kemunduran. Kalau dulu, ia mempunyai 450 karyawan, kini jumlah karyawannya tinggal tersisa 50 orang saja.

Selain dari Jepang, dulu ia juga sering kedatangan pembeli dari Amerika Latin dan Eropa. Kebetulan, mereka menaruh minat yang tinggi terhadap suvenir berbahan alami, termasuk suvenir berbahan rotan.

Jadi, kalaupun ada suvenir yang sudah peot, mereka masih mau beli karena bahannya asli. "Suvenir-suvenir dengan rotan asli itu yang justru menarik bagi mereka," kata dia.

Selain dari luar negeri, Subhi juga melayani pesanan untuk pasar dalam negeri. Namun, kata Subhi, penjualan di pasar domestik sangat sedikit dan hanya ke kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, dan Medan.

Adi Sutanto, perajin lainnya juga sering mendapatkan pesanan mebel untuk dikirim ke berbagai negara di kawasan Asia dan Eropa. Ia menjaring konsumen dari luar negeri lewat pemasaran internet. "Kebetulan saya suka melakukan promosi di internet," ujarnya.

Namun, Adi tidak mengekspor mebel itu secara langsung. Biasanya, pembeli yang mendatangi showroom-nya, kemudian mengirimkan pesanannya melalui perusahaan ekspedisi di Jakarta.

Menurutnya, sentra kerajinan rotan di Teluk Wetan sempat mencapai puncak kejayaan ketika krisis moneter melanda Indonesia pada tahun 1997. Saat itu, kurs dollar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah melonjak tinggi.

Alhasil harga rotan pun turut melonjak yang tentunya mengerek omzet para pelaku usaha di sentra itu. "Mirip seperti yang terjadi di sentra-sentra lainnya, terutama sentra ukir," katanya.

Pemain lainnya, Suryo mengatakan, persaingan usaha di sentra kerajinan rotan cukup ketat. Pasalnya, harga produk di satu showroom dengan showroom lainnya hampir sama. Makanya, Suryo mengutamakan kualitas, terutama dari segi kerapian dan kerapatan anyaman.

Jadi, meskipun ada mebel rotan yang harganya jauh di bawah produknya, ia tidak takut kalah bersaing. "Biasanya pembeli tidak mengutamakan harga, tapi kualitas anyaman," ujar dia.       (Selesai)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Havid Vebri