BANDUNG. Sentra produksi roti di Babakan Rahayu, Gang Kopo, Bandung sudah dikenal sejak tahun 1980-an. Di lokasi ini terdapat sekitar 13 produsen roti. Kendati diramaikan banyak pemain, persaingan di antara produsen roti tetap berjalan sehat. Hal ini dikarenakan masing-masing produsen memproduksi roti dengan ciri khas masing-masing. Jadi tidak ada kesamaan produk di antara mereka. Alhasil, para produsen sudah memiliki pelanggan sendiri-sendiri. Mereka juga kompak dalam menjalankan usaha. Saat menjelang Hari Raya Idul Fitri, misalnya, mereka kompak untuk tidak berjualan. Begitu juga saat harga bahan baku sedang naik, mereka kompak menaikkan harga jual roti.
Menurut Sudiya, salah seorang produsen, harga bahan baku seperti tepung terigu atau telur kerap mengalami kenaikan. Saat harga bahan baku naik, ia melihat dahulu apakah produsen lain menaikkan harga atau tidak. Tapi menurutnya, rata-rata harga yang mereka tawarkan masih tergolong murah. Itu juga yang membuat sentra ini tidak pernah sepi pengunjung. Selain itu, konsumen juga memiliki banyak pilihan karena masing-masing produsen memiliki produk berbeda-beda. "Jadi pembeli dapat memilih roti atau kue yang ingin dibelinya," kata pria berumur 50 tahun ini. Menurut Sudiya, sampai sejauh tidak ada kendala berarti dalam memasarkan produknya. Kendala utama adalah kenaikan harga bahan tepung terigu. "Kadang kualitas tepung terigunya juga tidak bagus sehingga roti tidak mengembang sempurna dan tak layak dijual," jelasnya. Produsen lainnya, Daup mengakui bahwa persaingan di antara produsen masih sehat. "Tidak ada kendala dengan persaingan," ujarnya. Namun sama halnya dengan Sudiya, kendala yang dihadapinya adalah kenaikan harga bahan baku yang melonjak tinggi. Ia bilang, harga tepung terigu kerap naik drastis. Saat terjadi lonjakan harga terigu, ia bersama produsen lainnya kerap memutuskan untuk tidak produksi. "Dari pada rugi," katanya. Daup bilang, dirinya pernah beberapa kali menghentikan produksi akibat lonjakan harga bahan baku yang naik terlalu tinggi. Salah satunya saat krisis moneter tahun 1998. "Saat itu saya terpaksa berhenti agak lama," ucapnya.
Bila kenaikan harga terigu tidak terlalu tinggi ia tetap berproduksi. Namun, volume produksinya saja yang dikurangi. Selain terigu, harga telur juga kerap mengalami kenaikan sehingga mempengaruhi produksi roti di sentra ini. Ia berharap, pemerintah bisa membantu menjaga stabilitas harga terigu dan telur di pasaran. Ia mengaku, menjelang bulan Ramadan ini, harga dua komoditas itu, terutama telur mulai mengalami kenaikan. Sampai saat ini, Daup dan produsen roti lainnya masih fokus memasarkan produknya di wilayah Bandung dan sekitarnya. Ada pun omzet yang diterimanya berkisar antara Rp 2,8 juta-Rp 3,5 juta per hari. Ia belum dapat melebarkan usahanya di luar Bandung karena terkendala modal. "Keinginan sih ada," ujarnya. (Selesai) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Hendra Gunawan