Sentra sablon Bandung: Harga kapas terbang, pesanan melayang (3)



Harga kapas yang terbang berimbang pada bisnis sablon kaus di Jalan Surapati, Bandung. Demi mengimbangi kenaikan bahan baku, para pebisnis sablon memilih menaikan harga jual. Tak ayal, omzet mereka mengempis lantaran pelanggan tetap ingin kaus berharga murah.Bisnis sablon kaus dan percetakan terbilang ketat. Selain pemain lama yang terus ekspansi, pemain baru juga ikut bermunculan di sentra sablon di Jalan Surapati, Bandung. Tak pelak, persaingan mencetak omzet pun kian sengit. Selain terus meningkatkan kualitas, para pemain di bisnis ini juga bersaing dalam harga. Namun, belakangan, ini sulit dilakukan lantaran harga bahan baku kaus, yakni kapas, terus terbang. Gempa yang mengakibatkan tsunami di Jepang pada 11 Maret lalu mendongkrak harga kapas dunia. Rury Maulana, salah satu pengusaha yang melakoni usaha sablon sejak tahun 2004 mengatakan bahwa pascagempa dan tsunami di Jepang, harga kapas dunia naik dua kali lipat. Jika sebelumnya, harga kapas di kisaran Rp 65.000 per kilogram (kg), saat ini sudah menjadi Rp 103.000 per kg.Tak bisa disangkal, naiknya harga kapas membuat harga bahan kaus pabrik ikut naik. Dampaknya, para pebisnis sablon kaus tidak bisa lagi menjual kaus sablon dengan harga lama yakni Rp 30.000 per potong. "Sekarang harga minimal Rp 45.000 per potong," ujar Rury.Kenaikan harga jual kaus sablon ini nyatanya juga berefek domino yakni konsumen enggan memesan kaus sablon. Omzet Rury pun kempis hingga 20%. Saat ini, ia hanya mengandalkan pesanan dari langganan daripada konsumen baru yang datang ke toko. Kondisi sama juga dialami Faiz Rahman, pemilik Toko Clara Sablon di Jalan Surapati. Lebih parah ketimbang Rury, omzet toko Faiz gempos hingga 40%. "Konsumen maunya harga lama. Kami tak bisa dijual karena bisa merugi," ujarnya. Menurut Faiz, masa jaya usaha sablon kaus terjadi tahun 1990 hingga 2000-an. Pesanan kaus sablon membludak dari berbagai tempat. Mereka memesan dalam jumlah besar. Tahun ini, pesanan terus gembos. Hingga memasuki pertengahan tahun, Faiz baru mendapat satu pesanan dalam jumlah besar. Ia masih beruntung dapat pesanan kaus olahraga, kaus untuk kerja praktik hingga pesanan jaket almamater kampus. "Kebanyakan dari pelanggan lama," ujarnya. Menurut Faiz, banyak pebisnis yang memilih hengkang dari Jalan Surapati dan memilih berbisnis di rumah. Dengan pesanan yang menurun, mereka berhemat dengan tidak meneruskan sewa lahan di sana.

Selain itu, banyak juga pebisnis yang merugi akibat aksi calo. Atas nama partai tertentu, mereka memesan kaus partai dalam jumlah banyak. Setelah pesanan kelar, kaus sablon tak diambil. "Pesanan tidak bisa diklaim ke partai, karena pesanan datang dari individu," imbuh Rury.Tak hanya itu saja. Kondisi Jalan Surapati yang tak memberikan jalur untuk para pedestrian membuat konsumen enggan datang. Kalaupun sebagian jalan ada trotoar sudah menjadi tempat pedagang kaki lima. "Sudah begitu, papan reklame ada di mana-mana. Ini jelas mengganggu pejalan kaki" ujarnya. Minimnya lahan parkir juga membuat kemacetan Jalan Surapati. Banyak pelanggan yang datang memarkir kendaraannya di sembarang tempat. Mereka berharap, pemerintah daerah setempat mulai membenahi kawasan ini. Dengan aset berupa nama besar yang dikenal hingga luar Jawa, aset ini sayang bila dibiarkan tak terurus. (Selesai)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Tri Adi