Pengusaha sarang walet Desa Haurgeulis, Indramayu berharap hutan jati tumbuh cepat. Dengan begitu, walet akan kembali berdatangan. Mereka ingin mengulang masa-masa emas menjadi pengusaha sarang walet. Tapi, pihak kecamatan berencana menarik pajak sarang walet kalau usaha ini hidup lagi.Abdul Kadir dan Amet bisa memanen berkilo-kilo sarang walet. Dalam tiga bulan, Kadir dapat memperoleh 30 kilogram (kg) sarang walet dari dua gedung miliknya. Amet memetik 10 kg.Tapi, itu dulu. "Sekarang saya cuma dapat 1,5 kilo selama dua bulan," keluh Kadir. Hanya saja, nasibnya lebih mujur ketimbang pengusaha sarang walet di Desa Haurgeulis lainnya. Ada yang hanya memanen sarang walet enam bulan sekali, bahkan setahun sekali.Kini, tak banyak lagi walet yang mampir ke bangunan-bangunan yang menjulang tinggi di Haurgeulis. Sebab, hutan jati milik Perhutani di pinggir desa sudah dibabat habis pada 2008. "Kabarnya, sebagian besar walet terbang ke Sumedang, Subang, dan Kalijati," kata Kadir.Buntutnya, setahun sudah tak seekor pun walet yang bersarang di gedung milik Amet. Alhasil, ia pun belok kemudi dan menjadi penjual burung dara. Di depan pekarangan rumah, kandang burung dara berdiri. Di dalamnya ada 50 pasang burung dara. Amet menjual sepasang burung dara Rp 60.000 hingga Rp 300.000. Pendapatannya tentu jauh lebih kecil dibandingkan berjualan sarang walet.Amet hanya bisa berharap pohon-pohon jati di hutan milik Perhutani dan hutan desa tumbuh cepat. Ia memperkirakan, dua tahun lagi, walet-walet akan kembali berdatangan ke hutan jati itu, kemudian bersarang di gedung-gedung tinggi di Haurgeulis.Tapi masalahnya, Amet terganjal modal untuk merenovasi dua gedung miliknya. "Saya butuh modal Rp 10 juta," ujarnya. Ia ingin memperbaiki dua gedung yang menjadi tempat walet bersarang yang ia bangun pada 14 tahun lalu.Saat itu, Amet merogoh kocek Rp 100 juta untuk membangun dua gedung berukuran 6 x 12 meter. Dengan merenovasi bangunan ini, dia mau mengukir lagi masa kejayaan sebagai pengusaha sarang walet. Kadir malah sudah pasang kuda-kuda dengan memperbaiki dua gedung kepunyaannya. Ia memasang kayu jati baru di langit-langit bangunan. "Masih ada burung yang datang ke sini, tapi sedikit sekali. Sekalian saya perbaiki buat tahun-tahun mendatang," tutur Kadir. Menurut Camat Haurgeulis Prawoto, pengusaha sarang walet perlu menunggu 5 hingga 10 tahun lagi agar hutan jati tumbuh tinggi, dan walet kembali berdatangan lagi. Namun, "Usaha sarang walet bukan usaha padat karya, melainkan padat modal. Hanya orang-orang bermodal besar saja yang bisa menjadi pengusaha," katanya. Karena itu, pihak kecamatan tidak menjadikan usaha ini sebagai tonggak perekonomian Haurgeulis.Pihak Kecamatan Haurgeulis hanya berkoordinasi dengan kecamatan lain, yakni Kecamatan Gantar dan Trisi untuk memperluas kawasan hutan jati. Apalagi, sekarang hutan jati sudah tidak lagi masuk wilayah Haurgeulis, melainkan ada di Kecamatan Gantar yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Haurgeulis pada 2006.Nah, kalau usaha sarang walet hidup lagi di Desa Haurgeulis, pihak kecamatan berencana melaksanakan Peraturan Daerah Nomor 08 Tahun 2001 tentang Pajak Sarang Burung Walet. "Semoga pajak ini juga bisa memberi pemasukan bagi kecamatan kami," ujar Prawoto berharap. (Selesai)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sentra sarang walet: Berharap hutan jati cepat tumbuh dan walet kembali lagi (3)
Pengusaha sarang walet Desa Haurgeulis, Indramayu berharap hutan jati tumbuh cepat. Dengan begitu, walet akan kembali berdatangan. Mereka ingin mengulang masa-masa emas menjadi pengusaha sarang walet. Tapi, pihak kecamatan berencana menarik pajak sarang walet kalau usaha ini hidup lagi.Abdul Kadir dan Amet bisa memanen berkilo-kilo sarang walet. Dalam tiga bulan, Kadir dapat memperoleh 30 kilogram (kg) sarang walet dari dua gedung miliknya. Amet memetik 10 kg.Tapi, itu dulu. "Sekarang saya cuma dapat 1,5 kilo selama dua bulan," keluh Kadir. Hanya saja, nasibnya lebih mujur ketimbang pengusaha sarang walet di Desa Haurgeulis lainnya. Ada yang hanya memanen sarang walet enam bulan sekali, bahkan setahun sekali.Kini, tak banyak lagi walet yang mampir ke bangunan-bangunan yang menjulang tinggi di Haurgeulis. Sebab, hutan jati milik Perhutani di pinggir desa sudah dibabat habis pada 2008. "Kabarnya, sebagian besar walet terbang ke Sumedang, Subang, dan Kalijati," kata Kadir.Buntutnya, setahun sudah tak seekor pun walet yang bersarang di gedung milik Amet. Alhasil, ia pun belok kemudi dan menjadi penjual burung dara. Di depan pekarangan rumah, kandang burung dara berdiri. Di dalamnya ada 50 pasang burung dara. Amet menjual sepasang burung dara Rp 60.000 hingga Rp 300.000. Pendapatannya tentu jauh lebih kecil dibandingkan berjualan sarang walet.Amet hanya bisa berharap pohon-pohon jati di hutan milik Perhutani dan hutan desa tumbuh cepat. Ia memperkirakan, dua tahun lagi, walet-walet akan kembali berdatangan ke hutan jati itu, kemudian bersarang di gedung-gedung tinggi di Haurgeulis.Tapi masalahnya, Amet terganjal modal untuk merenovasi dua gedung miliknya. "Saya butuh modal Rp 10 juta," ujarnya. Ia ingin memperbaiki dua gedung yang menjadi tempat walet bersarang yang ia bangun pada 14 tahun lalu.Saat itu, Amet merogoh kocek Rp 100 juta untuk membangun dua gedung berukuran 6 x 12 meter. Dengan merenovasi bangunan ini, dia mau mengukir lagi masa kejayaan sebagai pengusaha sarang walet. Kadir malah sudah pasang kuda-kuda dengan memperbaiki dua gedung kepunyaannya. Ia memasang kayu jati baru di langit-langit bangunan. "Masih ada burung yang datang ke sini, tapi sedikit sekali. Sekalian saya perbaiki buat tahun-tahun mendatang," tutur Kadir. Menurut Camat Haurgeulis Prawoto, pengusaha sarang walet perlu menunggu 5 hingga 10 tahun lagi agar hutan jati tumbuh tinggi, dan walet kembali berdatangan lagi. Namun, "Usaha sarang walet bukan usaha padat karya, melainkan padat modal. Hanya orang-orang bermodal besar saja yang bisa menjadi pengusaha," katanya. Karena itu, pihak kecamatan tidak menjadikan usaha ini sebagai tonggak perekonomian Haurgeulis.Pihak Kecamatan Haurgeulis hanya berkoordinasi dengan kecamatan lain, yakni Kecamatan Gantar dan Trisi untuk memperluas kawasan hutan jati. Apalagi, sekarang hutan jati sudah tidak lagi masuk wilayah Haurgeulis, melainkan ada di Kecamatan Gantar yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Haurgeulis pada 2006.Nah, kalau usaha sarang walet hidup lagi di Desa Haurgeulis, pihak kecamatan berencana melaksanakan Peraturan Daerah Nomor 08 Tahun 2001 tentang Pajak Sarang Burung Walet. "Semoga pajak ini juga bisa memberi pemasukan bagi kecamatan kami," ujar Prawoto berharap. (Selesai)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News