Sentra produksi tape ketan di Desa Cibeureum, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, sudah kesohor. Selain dari Kota Kuningan sendiri, para produsen tape di desa ini kerap mendapat order dari luar kota, seperti Cirebon. Oyoh, salah seorang produsen tape di Desa Cibeureum mengaku kerap mendapat pesanan dari luar kota. Bahkan, saking banyaknya order, ia kerap kewalahan melayaninya. Soalnya, kapasitas produksi tape ketan Oyoh terbatas. Dalam sehari, ia hanya mampu memproduksi satu kuintal tape ketan. Sementara permintaan jauh di atas itu. Makanya, tak jarang ia menolak pesanan, terutama dari luar kota.
Kebanyakan konsumen luar kota ini merupakan pedagang makanan juga. "Melayani pesanan pelanggan yang ada di daerah Kuningan saja, saya sudah kewalahan," kata Oyoh. Selain pemilik toko kue, pedagang makanan di pasar-pasar tradisional di Kuningan juga banyak yang menjadi pelanggannya.Sebenarnya, Oyoh sangat ingin menaikkan kapasitas produksinya. Namun, karena keterbatasan modal, sulit baginya untuk menggenjot produksi. Oyoh mengaku, selama ini, dukungan pemerintah daerah juga sangat minim. "Padahal, bila dikembangkan, produk ini bisa menjadi salah satu pendorong perekonomian di Kabupaten Kuningan," ujarnya. Sampai saat ini, untuk permodalan, Oyoh memilih meminjam ke bank. Selain itu, ia juga menjalin kerjasama dengan para pedagang beras ketan di daerah Kuningan. Dalam kerjasama ini, ia boleh mengambil beras ketan dan membayarnya setelah produksi tapenya terjual. Elis, produsen tape ketan lainnya bilang, kesulitan permodalan dialami hampir oleh semua produsen tape di Cibeureum. Selain dari kocek sendiri, sebagian besar perajin juga mengandalkan modal dari pinjaman bank. "Termasuk saya juga, walaupun bunganya cukup tinggi," ujarnya. Elis mengakui, selama ini, usaha tape ketan di Cibeureum minim dukungan pemerintah. Seingatnya, pernah sekali pemerintah memberi bantuan permodalan. "Saat itu, masih di zaman Presiden Soeharto," ujarnya. Setelah Orde Baru tumbang, Elis dan para produsen tape ketan lainnya tidak pernah mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah lagi.
Agar tetap bertahan, mereka memilih meminjam ke bank atau berutang bahan baku beras ketan ke pedagang. "Setelah tape ketan terjual, baru kami melunasi," katanya. Namun, untuk bahan baku lainnya, seperti daun jambu atau ragi, produsen harus membayar di muka. Untuk daun jambu, misalnya, mereka membeli seharga Rp 3.000 per 100 lembar. Perajin lainnya, Lilik juga mencari pinjaman di bank buat modal usaha. Ia juga mengaku, tak pernah mendapat perhatian atau bantuan dari pemerintah daerah. "Jadi, kami semua mandiri," ujarnya. (Selesai) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Havid Vebri