Sentra tempe Klender: Kedelai bikin pusing (1)



Sama seperti yang lainnya, perajin tempe dan tahu di Jalan I Gusti Ngurah Rai, Kampung Sumur, Klender, Jakarta Timur juga melakukan mogok produksi. Di daerah ini terdapat 30 pembuat tempe yang berhenti produksi, menyusul lonjakan harga kedelai yang mencapai Rp 8.000 per kilogram (kg).Para produsen tahu dan tempe saat ini sedang kelimpungan menghadapi lonjakan harga kedelai. Kondisi itu turut dirasakan sekitar 30 pembuat tahu dan tempe di Jalan I Gusti Ngurah Rai, Gang Tahu, Kampung Sumur, Klender, Jakarta Timur. Lantaran tak kuat menanggung lonjakan harga kedelai, sudah dua hari ini mereka memutuskan mogok produksi. Selama mogok produksi, tidak ada kegiatan apa pun di kawasan tersebut. "Mogok produksi ini merupakan bentuk solidaritas kami bersama dengan para perajin tempe dan tahu untuk menghentikan sementara kegiatan produksi," kata Hadi Guntoro, salah seorang produsen tempe merek Cap Jempol di Klender. Mogok produksi ini memang dilakukan serentak dan digerakkan oleh Pusat Koperasi Perajin Tempe Tahu Indonesia (Puskopti). Hal itu dilakukan menyusul lonjakan harga kedelai yang menembus Rp 8.000 per kilogram (kg).Hadi mengaku tidak tahu sampai kapan akan berhenti berproduksi. Ia hanya bisa pasrah karena kegiatan ekonominya terhenti total. "Seharusnya saat ini sudah mulai kembali merebus kacang untuk persiapan berjualan di hari Sabtu," kata Hadi yang menggeluti usaha ini sejak enam tahun lalu.Hadi mengaku, tidak ada intimidasi atau paksaan dari pihak tertentu, sehingga ia mogok produksi. Menurutnya, keputusan itu terpaksa diambil karena kenaikan harga kedelai sudah tak terkendali. Sementara harga tempe tak mungkin naik.Padahal, dalam sehari Hadi bisa memproduksi sebanyak 80 kg tempe dengan omzet mencapai Rp 800.000 per hari. Ia sudah memiliki langganan yang cukup luas hingga ke daerah Cawang. Ia bisa menggaet pelanggan dari luar Klender karena selama ini rajin menawarkan tempenya dengan berkeliling dari satu kawasan ke kawasan lainnya di Jakarta. Selain para pedagang di pasar tradisional, banyak juga pemilik warung tegal (warteg) yang menjadi pelanggannya.Selama tidak berproduksi, tentu ia tidak bisa memasok kebutuhan para pelanggannya tersebut. "Berhenti berproduksi ini memang tidak menguntungkan kedua pihak, baik produsen maupun konsumen," ujarnya.Produsen lainnya yang juga mogok produksi adalah Waryati. Di Gang Tahu, Klender, Waryati termasuk pemain lama. Perempuan 47 tahun ini sudah 30 tahun lebih menjadi pembuat tempe di kawasan ini. Setiap hari, ia memproduksi 40 kg tempe. Selain tempe biasa yang dibungkus plastik atau daun, ia juga memproduksi tempe segitiga khusus untuk tempe bacem.Produk tempe itu, ia jual ke Pasar Bulak dan Pasar Perumnas Klender, Jakarta Timur. Ia mengaku, dalam sehari bisa mengumpulkan omzet sebesar Rp 500.000. Sejak harga kedelai naik, laba bersih yang dikantonginya kini hanya sekitar 10%. "Laba merosot jauh saat harga kacang kedelai mencapai Rp 800.000 per kuintal," katanya.Lantaran margin yang didapat semakin tipis, tak heran bila sekarang banyak produsen tempe memutuskan mogok produksi. Terlebih, solidaritas sesama produsen tempe di kawasan ini sudah cukup kuat. Makanya, ketika ada yang berhenti berproduksi, tentu yang lain akan mengikutinya. Waryati sendiri mengaku sudah mendengar rencana mogok produksi itu sejak sebulan lalu.Sentra tempe di Klender ini sudah berdiri sejak tahun 1970-an. Sentra tempe ini merupakan salah satu dari sentra produksi tempe di Jakarta yang masih menggunakan teknologi tradisional.Belum lama ini, KONTAN sempat mengunjungi sentra tersebut. Di sentra ini terdapat satu mesin penggilingan kacang yang digunakan secara bersama-sama oleh produsen tempe. "Jadi satu mesin ini digunakan banyak perajin tempe," kata Waryati. (Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Tri Adi