Para peternak di sentra ulat sutera Kampung Sarongge kini kesulitan meningkatkan jumlah ternaknya. Pasokan pakan dari perkebunan murbei yang ada di Cianjur masih terbatas. Selain itu, lahan menjadi hambatan utama peternak saat ingin membuka perkebunan murbei di kabupaten yang terletak di Jawa Barat ini.Poduksi kokon yang dihasilkan sentra ulat sutera Kampung Sarongge masih minim tidak hanya lantaran telur ulat sutera yang peternak beli dari Soppeng, Sulawesi Selatan, mengandung penyakit. Selain itu, pasokan pakan dari perkebunan murbei di Cianjur masih terbatas.Hari Soedjatmiko, Ketua Koperasi Jalasutera Indonesia (Kojasindo) mengungkapkan, dari sekitar 200 hektare lahan yang khusus disediakan untuk perkebunan murbei di wilayah Cianjur, Kecamatan Pacet--termasuk Kampung Sarongge--cuma kebagian 40 hektare saja.Luas lahan itu, menurut Hari, masih belum ekonomis bagi para peternak ulat sutera di kecamatan tersebut. Sebab, dengan luas lahan yang hanya 40 hektare, peternak tidak bisa meningkatkan jumlah ternaknya yang sekarang cuma sekitar 250.000 ekor saja.Hari bilang, kalau peternak di Pacet, termasuk Kampung Sarongge, berniat menambah jumlah ulat suteranya, mereka nanti akan kesulitan pasokan daun murbei sebagai pakan utama ulat sutera.Untuk bisa memenuhi makanan buat sekitar 250.000 ekor ulat sutera, Hari mengatakan, paling tidak dibutuhkan 10 ton daun murbei tiap bulan. Memang, setiap satu hektare kebun murbei yang berisi sebanyak 2.000 pohon dapat menghasilkan tiga ton daun murbei.Hanya saja, daun murbei baru bisa dipanen setiap tiga bulan sekali. Sehingga, ketika ada tanaman murbei yang belum bisa diperik daunnya, bakal terjadi kekosongan pasokan pakan.Nah, agar bisa meningkatkan kapasitas produksi kokon ulat sutera, mau tidak mau, luas lahan perkebunan murbei harus ditambah. "Saat ini, kami sedang fokus untuk meluaskan perkebunan murbei," tutur Hari yang bertitel sarjana perkebunan. Hari menceritakan, belum lama ini, para peternak di Pacet mendapatkan komitmen tambahan lahan perkebunan dari Perum Perhutani seluas 30 hektare.Engkus Kuswana, peternak ulat sutera sekaligus petani murbei di sentra ulat sutera Kampung Buniaga, Pacet yang letaknya sekitar dua kilometer dari Kampung Sarongge, juga mengeluhkan seretnya pasokan pakan. Engkus menuturkan, ketika kebun murbei miliknya belum bisa dipanen, ia terpaksa harus membeli daun murbei dari petani di tempat lain agar pakan ternak ulat suteranya bisa terpenuhi.Selain jumlah lahan yang terbatas, Engkus menambahkan, tidak semua lahan yang kini ditanami murbei bisa produktif. Soalnya, masih banyak lahan yang tanahnya belum cukup subur. Supaya semua lahan tersebut bisa produktif, ia terpaksa meminta bantuan pupuk dari Perum Perhutani. Namun, tak hanya lahan untuk kebun murbei yang menjadi kendala minimnya produksi kokon ulat sutera di sentra ini. Engkus menjelaskan, sedikitnya jumlah kandang yang disediakan juga menjadi hambatan peternak mengembangkan peternakan ulat suteranya.Misalnya, Kelompok Sutera Kembang, tempat Engkus bernaung. Meski jumlah anggota sebanyak 30 orang, mereka hanya memiliki satu kandang saja. "Kami secara bergantian memakai kandangnya," katanya. Lantaran harus bergantian, dalam setahun, Engkus cuma bisa beternak ulat sutera sebanyak satu kali.(Bersambung) Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sentra ulat sutera: Produksi terhambat pasokan pakan (3)
Para peternak di sentra ulat sutera Kampung Sarongge kini kesulitan meningkatkan jumlah ternaknya. Pasokan pakan dari perkebunan murbei yang ada di Cianjur masih terbatas. Selain itu, lahan menjadi hambatan utama peternak saat ingin membuka perkebunan murbei di kabupaten yang terletak di Jawa Barat ini.Poduksi kokon yang dihasilkan sentra ulat sutera Kampung Sarongge masih minim tidak hanya lantaran telur ulat sutera yang peternak beli dari Soppeng, Sulawesi Selatan, mengandung penyakit. Selain itu, pasokan pakan dari perkebunan murbei di Cianjur masih terbatas.Hari Soedjatmiko, Ketua Koperasi Jalasutera Indonesia (Kojasindo) mengungkapkan, dari sekitar 200 hektare lahan yang khusus disediakan untuk perkebunan murbei di wilayah Cianjur, Kecamatan Pacet--termasuk Kampung Sarongge--cuma kebagian 40 hektare saja.Luas lahan itu, menurut Hari, masih belum ekonomis bagi para peternak ulat sutera di kecamatan tersebut. Sebab, dengan luas lahan yang hanya 40 hektare, peternak tidak bisa meningkatkan jumlah ternaknya yang sekarang cuma sekitar 250.000 ekor saja.Hari bilang, kalau peternak di Pacet, termasuk Kampung Sarongge, berniat menambah jumlah ulat suteranya, mereka nanti akan kesulitan pasokan daun murbei sebagai pakan utama ulat sutera.Untuk bisa memenuhi makanan buat sekitar 250.000 ekor ulat sutera, Hari mengatakan, paling tidak dibutuhkan 10 ton daun murbei tiap bulan. Memang, setiap satu hektare kebun murbei yang berisi sebanyak 2.000 pohon dapat menghasilkan tiga ton daun murbei.Hanya saja, daun murbei baru bisa dipanen setiap tiga bulan sekali. Sehingga, ketika ada tanaman murbei yang belum bisa diperik daunnya, bakal terjadi kekosongan pasokan pakan.Nah, agar bisa meningkatkan kapasitas produksi kokon ulat sutera, mau tidak mau, luas lahan perkebunan murbei harus ditambah. "Saat ini, kami sedang fokus untuk meluaskan perkebunan murbei," tutur Hari yang bertitel sarjana perkebunan. Hari menceritakan, belum lama ini, para peternak di Pacet mendapatkan komitmen tambahan lahan perkebunan dari Perum Perhutani seluas 30 hektare.Engkus Kuswana, peternak ulat sutera sekaligus petani murbei di sentra ulat sutera Kampung Buniaga, Pacet yang letaknya sekitar dua kilometer dari Kampung Sarongge, juga mengeluhkan seretnya pasokan pakan. Engkus menuturkan, ketika kebun murbei miliknya belum bisa dipanen, ia terpaksa harus membeli daun murbei dari petani di tempat lain agar pakan ternak ulat suteranya bisa terpenuhi.Selain jumlah lahan yang terbatas, Engkus menambahkan, tidak semua lahan yang kini ditanami murbei bisa produktif. Soalnya, masih banyak lahan yang tanahnya belum cukup subur. Supaya semua lahan tersebut bisa produktif, ia terpaksa meminta bantuan pupuk dari Perum Perhutani. Namun, tak hanya lahan untuk kebun murbei yang menjadi kendala minimnya produksi kokon ulat sutera di sentra ini. Engkus menjelaskan, sedikitnya jumlah kandang yang disediakan juga menjadi hambatan peternak mengembangkan peternakan ulat suteranya.Misalnya, Kelompok Sutera Kembang, tempat Engkus bernaung. Meski jumlah anggota sebanyak 30 orang, mereka hanya memiliki satu kandang saja. "Kami secara bergantian memakai kandangnya," katanya. Lantaran harus bergantian, dalam setahun, Engkus cuma bisa beternak ulat sutera sebanyak satu kali.(Bersambung) Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News