Jumlah penduduk yang besar menyebabkan kebutuhan pangan di Indonesia sangat tinggi. Tak heran, segala usaha yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pokok ini selalu menjadi peluang. Metode untuk menghasilkan pangan secara optimal pun bisa menjadi ide bisnis. Seperti yang dilakukan oleh Muhammad Ihsan Akhirulsyah yang mengembangkan eFishery, suatu perangkat berbasis teknologi yang berguna mengontrol pakan ikan dalam sebuah kolam. Ihsan dan dua orang rekannya mencium peluang menciptakan eFishery ketika melihat perlunya fungsi kontrol untuk mengatur pakan. “Kebutuhan pakan bisa mencapai 70% biaya budidaya. Kami mencoba membuat teknologi yang tepat agar tidak terjadi kelebihan pakan atau over feeding,” jelas pria berusia 25 tahun ini.
Selain bisa memberi pakan secara otomatis, perangkat ini mampu menganalisis data jumlah pakan yang dibutuhkan. Data itu bisa digunakan untuk membuat keputusan tentang kebutuhan pakan. Ihsan menuturkan, eFishery bisa digunakan dalam budidaya ikan di air tawar, seperti ikan mas, lele, nila, dan udang. Satu perangkat bisa menangani ikan dengan kapasitas 3.000 ekor. Pemilik kolam tinggal meletakkan eFishery di pinggir kolam dan disesuaikan menurut jenis ikan dan jumlah ikan dalam kolam. Alat itu disambungkan dengan dashboard (layar) dan bisa dihubungkan pula dengan smartphone atau tablet. Pemberian pakan di kolam bisa dipantau dan dikendalikan dari jauh dan kapan saja, tanpa harus datang ke kolam. Dengan eFishery, Ihsan mengklaim pembudidaya bisa menghemat pakan berkisar 20%-30% dari volume pakan. “Jadi, pemberian pakan bisa lebih efisien, produktivitas meningkat sehingga memberi nilai tambah berupa peningkatan profit ke pembudidaya ikan atau udang,” kata Ihsan. Dia menawarkan eFishery dengan harga Rp 6 juta hingga Rp 9 juta per unit. Kini, dalam sebulan, Ihsan dan timnya bisa memproduksi hingga 100 unit eFishery. “Kami memasarkannya untuk pembudidaya ikan dan udang,” kata Ihsan. Perusahaan-perusahaan pakan ternama juga sering memesan kepadanya. Hingga kini, eFishery sudah tersebar ke pembudidaya ikan di Jawa Barat, Banyuwangi, Bali dan Medan. Monitor tambak Tak jauh berbeda, sentuhan teknologi untuk memaksimalkan budidaya dalam bidang perikanan juga dilakukan oleh Blumbangreksa, yang digawangi oleh Syauqy Nurul Aziz dan lima orang temannya. Bermula dari permintaan perusahaan agrikultur, PT Indmira, yang ingin memantau tambaknya, alumni Teknik Elektro Universitas Gajah Mada ini membuat perangkat untuk mengawasi (monitoring) kondisi air di tambak udang. Maklum, sebagai salah satu hewan budidaya, udang sangat sensitif dengan lingkungannya. Ada kesalahan sedikit saja dalam pemeliharaan, bisa mengakibatkan udang mati atau kena penyakit. “Selama ini, petambak udang hanya bisa memperkirakan kondisi air di tambak. Padahal, kondisi air sangat berpengaruh,” jelas Aziz. Alhasil, jika kondisi air diketahui, petambak bisa menyesuaikan kondisi yang ideal untuk menurunkan potensial loss yang mungkin bisa terjadi. Sebenarnya, selama ini, ketika membeli bibit udang, petambak juga harus membeli pakan dari perusahaan tersebut. Lalu, perusahan akan mengirimkan karyawannya untuk mengukur kondisi air di tambak. “Tapi, pengukur itu datangnya tidak jelas, misalnya seminggu sekali,” kata Azis. Jadi, sebenarnya sudah ada alat monitoring untuk tambak udang. Bentuknya seperti meteran biasa, yang hanya bisa mengukur di tempat pada saat itu. Alat sensornya juga terpisah. Parameter pada alat monitoring pun terbatas, misal hanya mengukur PH atau sanitasi. Sementara itu, Blumbangreksa bisa menyediakan data kadar oksigen dalam air, salinitas, Ph, suhu, dan kelembapan. Alat ini diletakkan di dalam tambak. Petambak bisa melihat langsung di layar untuk parameter yang berkaitan dengan keadaan air di tambak. Jika petambak tidak ada di tambak, dia masih bisa mengecek kondisi tambaknya melalui SMS, atau website Blumbangreksa. Aziz mengaku, baru sejak November mengembangkan Blumbangreksa. Dia menghabiskan waktu dua bulan untuk membuat perangkat ini. “Awal tahun, alat pertama kami letakkan di tambak udang di Bantul. Blumbangreksa pertama itu dihargai Rp 15 juta,” kata dia. Rencananya, Aziz akan membuat dua versi Blumbangreksa. Pertama, full package seperti yang sekarang. Alat monitoring lengkap dengan sensor sehingga bisa mengukur semua parameter untuk tahu kondisi air pada tambak udang. Kedua, versi modular. “Harganya tentu lebih murah karena versi ini bisa mengukur salah satu parameter kondisi air,” jelas Aziz. Misalnya saja, mengukur PH di tambak. Rencananya, perangkat Blumbangreksa jenis ini akan dijual Rp 6 juta untuk tiap modul. Dalam perhitungannya, enam bulan dari sekarang timnya bisa memproduksi Blumbangreksa. “Tahun ini targetnya 20 unit full package Blumbangreksa kami jual untuk penetrasi pasar,” jelas dia. Riset pengembangan Lantaran kebutuhan pangan yang terus meningkat, baik untuk konsumsi dalam negeri atau keperluan ekspor, bisnis perangkat teknologi yang bisa mengoptimalkan hasil perikanan ini punya prospek cerah. Aziz pun menilai potensi bisnis Blumbangreksa sangat besar di masa mendatang. Tengok saja, total luas tambak di seluruh nusantara mencapai 2,6 juta hektare (ha). Namun, sampai sekarang yang baru dimanfaatkan hanya 650.000 ha. Nah, 450.000 ha di antaranya digunakan untuk tambak udang. Aziz menghitung, dari lahan-lahan tersebut, sekitar 9% merupakan tambak tradisional, 80% tambak semi-intensif, 10% intensif, dan 1% tambak super intensif. “Target pasar kami ialah tambak semi-intensif dan intensif. Dengan kata lain, sasaran kami adalah tambak seluas 405.000 ha,” jelas dia. Tiap satu ha tambak dibagi menjadi empat kolam. Jadi, satu kolam terdiri dari 2.500 meter persegi (m²). Satu unit Blumbangreksa digunakan untuk setiap kolam. Jadi, potensi penggunaan Blumbangreksa untuk tambak semi-intensif dan intensif ialah 1,6 juta unit. “Kalau pesimistis, jeleknya hanya 1% tambak yang bakal jadi pasar Blumbangreksa. Tapi dari 1% saja, kebutuhan Blumbangreksa mencapai 16.000 unit,” harap dia. Ihsan pun melihat potensi pasar eFishery sangat besar. “Selama masih ada manusia, teknologi ini selalu dibutuhkan. Manusia membutuhkan makanan dan teknologi ini membantu mengoptimalkan hasil pangan,” jelas dia. Dan, selama ada inovasi, peluang akan terbuka. Ihsan juga berharap ada banyak pengusaha yang tertarik untuk masuk ke dalam bidang ini supaya di masa depan tidak terjadi kerawanan pangan. Apalagi, pemerintahan sekarang fokus ke maritim. “Alat ini sesuai dengan program pemerintah,” ujar dia. Jika tertarik ikut meramaikan bisnis seputar teknologi di perikanan, Ihsan pun berpesan supaya pemain baru mempunyai modal yang cukup besar. Dia pun berbisnis, modal untuk merangkai bisnis eFishery ini lebih dari Rp 2 miliar. “Kebutuhan modalnya cukup tinggi terutam untuk riset dan pengembangan, karena kami berusaha menerjemahkan apa yang dibutuhkan konsumen dalam bentuk teknologi,” kata Ihsan. Dia mengalokasikan biaya untuk riset dan pengembangan ini sekitar 30%-40% dari kebutuhan modal. Sisanya, untuk infrastruktur, tenaga kerja dan material. “Saran untuk pengusaha baru harus menyiapkan nafas yang panjang untuk riset dan pengembangan ini. Sebab, mereka harus mencari seperti apa kebutuhan yang diinginkan user, terus sampai menciptakan barang, hingga siap masuk ke pasar,” papar Ihsan.
Selain itu, pemain baru harus siap menghadapi tantangan dalam bisnis berbasis teknologi. Salah satunya adalah ketiadaan sejumlah material di Indonesia. “Jadi, kami harus impor,” kata Ihsan yang mengimpor beberapa komponen pembuatan eFishery dari China. Tantangan kedua, pemain harus bisa menangkap kebutuhan konsumen. “Kami harus bisa menerjemahkan apa yang dibutuhkan user dalam bentuk teknologi, harus punya kejelian, itu yang mendukung di bisnis start up teknologi ini,” tambah dia. Jika sudah menemukan perangkat yang akan dibuat, kreatifitas juga menjadi modal lainnya. Sebab, Anda harus pula memikirkan harga perangkat ini supaya bisa diterima pasar dengan baik. Tengok saja pengalaman Aziz yang harus mengganti beberapa komponen sensor dengan jenis yang lebih murah untuk menekan harga jual dalam penetrasi pasar. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi