Sepatu impor Vietnam mengancam sepatu lokal, pelaku industri menyiapkan strategi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Maraknya impor sepatu dari Vietnam ke Indonesia diduga karena menguatnya permintaan pasar di dalam negeri. Selain itu, harganya pun cukup bersaing dengan produk lokal.

Menurut Firman Bakri, Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Sepatu Indonesia (Aprisindo) terjadi kenaikan impor dari negara tersebut hingga dobel digit sampai Juni 2019. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), sampai bulan Juni tahun ini impor sepatu alas kaki dari Vietnam ke Indonesia sudah menembus US$ 97,5 juta.

Nilai impor tersebut sudah setara dengan total impor alas kaki Vietnam pada 2016 yang masih US$ 95,7 juta. "Impor ini akan bersaing langsung dengan indutri UMKM dan IKM lokal yang masuk pada produk sepatu murah," sebut Firman kepada Kontan.co.id, Senin (7/10).


Baca Juga: Ada indikasi jastip barang impor nakal, Bea Cukai perketat pengawasan

Ramainya barang impor ini kata Firman tak lain disebabkan masih besarnya permintaan sepatu murah, serta importasi barang alas kaki ini ke Indonesia terbilang mudah. Apakah semua produk impor yang masuk itu berlabel tiruan alias KW? Menurut Firman tidak dapat dipukul rata semua.

Ada dua kelompok produk impor sepatu yang masuk, pertama kelompok impor untuk sepatu yang memang asli atau branded. Seperti yang diketahui, Vietnam memiliki banyak pabrikan sepatu yang bermerek global. Sementara kelompok sepatu impor kedua ialah barang KW yang biasanya ditemukan di pasar tradisional.

Aprisindo berharap ada perhatian dari pemerintah jika ada praktik-praktik pelanggaran hukum harus bisa ditertibkan. Kemudian penting juga digalakkan lagi upaya untuk mendorong penggunaan produk dalam negeri di instansi-instansi yang ada di dalam negeri.

Mengenai besar pasar nasional, Aprisindo tak memegang data yang rigid. Namun diperkirakan dengan jumlah populasi mencapai 200 juta jiwa dan rata-rata konsumsi sepatu di dalam negeri bisa dua pasang setahun, maka diproyeksikan 500 juta pasang sepatu yang diperjualbelikan di pasar domestik.

Baca Juga: Tergiur belanja di Marketplace Facebook, ikuti panduan ini

Persaingan di lokal

Sementara itu bagi merek lokal seperti PT GF Indonesia, produk impor tentu berdampak bagi pasar dalam negeri. Namun produsen sepatu merek Eagle itu tak kehilangan akal tetap mengembangkan produknya di tengah persaingan pasar lokal.

Menurut Cindy Jane, Direktur Pemasaran PT GF Indonesia, pihaknya memang fokus membidik pasar lokal dengan porsi penjualan hampir 70%, sedangkan sisanya 30% untuk ekspor. "Kami optimistis karena punya kualitas dan material yang bagus," kata Cindy kepada Kontan.co.id, Senin (7/10).

Metode soft selling dengan memanfaatkan jaringan komunitas dan media sosial menjadi kunci GF indonesia bersaing di pasaran. Hingga kini GT Indonesia juga tidak memiliki toko fisik sendiri.

Baca Juga: Kenaikan tarif impor gerus laba, perusahaan Asia memilih pulang kampung

Sekitar 60% produk dipasarkan menggunakan jaringan distribusi konvensional. Sekitar 20%-25% didistribusikan melalui toko ritel atau marketplace. Sedangkan sisanya dijual ke segmen korporasi.

Berbeda dengan GF Indonesia, PT Sepatu Bata Tbk (BATA) memilih strategi dengan tetap menambah gerai. Sepatu Bata bahkan mengalokasikan dana belanja modal sebesar Rp 60 miliar pada tahun ini untuk ekspansi gerai ritel dan pemeliharaan mesin.

Tak hanya membuka gerai baru, manajemen juga merenovasi gerai lama dengan konsep red angle serta menerapkan strategi new arrival every Friday. Pembukaan gerai baru lebih menyasar daerah yang sebelumnya belum terdapat gerai BATA.

Catatan Kontan.co.id, BATA menargetkan membuka 50 gerai baru dan melakukan renovasi terhadap 50 gerai lama miliknya. Ekspansi ritel saat ini menjadi andalan pasalnya 99% penjualan BATA menyasar domestik, hanya 1% saja yang untuk tujuan ekspor.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati