Banjir, banjir, banjir… itu kata yang biasa dan akrab di telinga warga Jakarta. Betapa tidak, ketika masuk musim hujan semua tahu bahwa banjir akan mengikutinya. Tapi, banjir yang melanda Jakarta kali ini memang tidak biasa. Bukan banjirnya lebih besar, melainkan karena si banjir juga menerjang istana kepresidenan pada Senin lalu. Tentu saja ada yang kebakaran jenggot. Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama menuding banjir di beberapa wilayah karena pompa air tidak berfungsi karena PLN mematikan aliran listrik. Ahok berkilah semestinya PLN bisa memfasilitasi sehingga listrik untuk pompa tetap ada kendati banjir. Dirut PLN membantah bahwa banjir terjadi karena listrik dimatikan, tetapi karena banjir listrik dimatikan. Jauh dari persoalan itu, Menteri PU malah berujar bahwa banjir Jakarta kemarin karena drainase Jakarta buruk. Berusaha menengahi polemik ini, Presiden Jokowi mengatakan bahwa banjir tidak perlu terjadi bila masing-masing pihak bisa berkoordinasi satu sama lain. Tapi, biarlah jenggot Ahok terbakar, toh banjir masih akan menghantui Jakarta hingga awal Maret. Kondisi hujan oleh Kepala BPBD DKI Jakarta Denny Wahyu di Balai Kota (10/2) dibagi menjadi tiga dasa harian (dasarian). Dasarian pertama (1-10 Februari), hampir 60% wilayah Ibu Kota dilanda hujan ringan cenderung sedang. Dasarian kedua (11-20 Februari), lima wilayah Ibu Kota akan diguyur hujan dengan intensitas sedang. Hujan akan terkonsentrasi di wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Utara, dan sebagian Jakarta Barat. Dasarian ketiga (21 Februari hingga awal Maret), hampir 80% wilayah DKI Jakarta akan dilanda hujan cenderung lebat.
Artinya, banjir lebih besar bisa terjadi pada 21 Februari hingga awal Maret. Meskipun hujan Senin dan Selasa lalu dianggap belum mencapai puncaknya, kerugian yang dibuatnya tidak bisa dianggap enteng. Kerugian mencapai Rp 1,5 triliun. Itu karena, menurut Wakil Ketua Umum Kadin DKI Jakarta Sarman Simanjorang, ada sekitar 75.000 kios dan toko yang tersebar di pusat perbelanjaan di lima wilayah kota, tidak beroperasi. Lain lagi dengan Ketua Kadin Suryo Bambang Sulistyo yang menyodorkan contoh banjir di kawasan Sunter yang merugikan pabrik otomotif. "Jika sehari pabrik memproduksi 1.000 mobil, dengan harga per unit Rp 200 juta, kerugian Rp 200 miliar per hari," terang Suryo. Bicara soal kerugian otomotif, jadi ingat mobil nasional. Dulu kita pernah bermimpi punya mobil nasional. Lantas kita disodori mobil nasional citarasa Korea, tapi kandas. Eh, sekarang ada isu mobil nasional citarasa melayu. Hebatnya lagi, isu ini langsung disetujui Ketua DPR Setya Novanto. Dia mengapresiasi rencana pemerintah bekerjasama dengan perusahaan otomotif asal Malaysia, Proton, untuk mengembangkan mobil nasional. Memang, telah ada penandatanganan memorandum of understanding (MOU) antara perusahaan otomotif asal Malaysia Proton Holdings Bhd (Malaysia), dengan perusahaan asal Indonesia PT Adiperkasa Citra Lestari, perusahaan milik Hendropriyono. Penandatanganan disaksikan oleh Presiden Jokowi dan Perdana Menteri Malaysia Dato' Sri Mohd Najib Tun Abdul Razak Setya Novanto boleh setuju, tapi Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo menolak keras. Bagi Wali Kota Solo, "Kalaupun mau gandeng atau transfer teknologi, kenapa tidak sekalian dengan produsen asal Jepang, Jerman, atau Korea Selatan yang sudah terbukti lebih maju di industri otomotif dunia," tegas FX Hadi Rudyatmo, Senin (9/2). Lagipula Indonesia punya peluang untuk memproduksi mobnas, khususnya Esemka yang sudah sempat berjalan. Namun, Menko Perekonomian Sofyan Djalil menepis wacana mobil nasional itu. Tidak ada kebijakan mobil nasional di pemerintah. Menteri Perencanaan Pembangunan nasional/Kepala Bapenas Andrinof Chaniago memperkuat bahwa memang pengembangan mobil nasional tidak tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019. Kerjasama antara Proton dan Adiprekasa, menurut Sofyan, hanya inisiatif swasta. Lagi pula mobil nasional yang diinginkan Jokowi adalah mobil Esemka yang telah dibuat sebelumnya oleh PT Solo Manufaktur Kreasi. Nah, FX Hadi Rudyatmo boleh tersenyum sekarang. Ah, tapi kita tidak bisa tersenyum bila melihat kisruh KPK-Polri. Secara berseloroh kita sering mendengar ungkapan bahwa “pembalasan itu lebih kejam”. Melihat drama KPK-Polri agaknya itu yang terjadi. Dengan dilaporkannya Johan Budi ke Bareskrim, komplet sudah bahwa semua pimpinan di KPK diperkarakan. Johan Budi SP dilaporkan terkait dugaan pertemuan dengan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, yang saat itu kasusnya sedang ditangani KPK. Jika dibandingkan, KPK hanya menetapkan Budi Gunawan, tapi dibalas dengan bumi hangus KPK. Tapi, mudah-mudahan ini hanya faktor “kebetulan”. Yang pasti sidang praperadilan Budi Gunawan dilanjutkan lagi setelah tertunda selama seminggu. Dalam rentetan sidang sejak hari Senin (9/2), tim kuasa Hukum Budi Gunawan banyak menyoal bagaimana proses penyidikan sehingga Budi Gunawan bisa menjadi tersangka. Yang hadir sebagai saksi sebagian besar adalah mantan penyidik dan penyidik KPK. Sidang praperadilan boleh saja berlangsung aman, tapi personel KPK dan keluarganya dihantui oleh teror bahkan kini sudah mengarah ke ancaman pembunuhan. Anggota Tim Independen, Jimly Asshiddiqie, prihatin dengan teror tersebut. Apalagi, teror itu membuat dua penyidik aktif KPK batal bersaksi dalam sidang praperadilan karena mendapatkan ancaman. Eh, ternyata Polisi juga katanya mendapat ancaman yang sama. Jokowi menginstruksikan agar kepolisian bisa menangkap pelaku teror itu. Yang menarik dalam kisruh KPK-Polri adalah manuver dari Hasto Kristiyanto. Plt Sekjen PDI ini tampaknya begitu semangat untuk “menghabisi” Abraham Samad. Pekan ini Hasto mendatangi KPK untuk menyerahkan data guna pembentukan komite etik. Tapi, menurut Johan Budi, pembentukan Komite Etik tergantung pendalaman materinya. Belum cukup sampai situ, Hasto juga menjadi saksi yang membela Budi Gunawan. Dia menduga perselisihan Abraham Samad dan Budi Gunawan yang mendorong KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka. Bagi KPK apa yang disampaikan Hasto hanyalah asumsi semata tidak bisa menguatkan posisi pemohon. Semangat Hasto tampaknya sejalan juga dengan banyaknya laporan ke Bareskrim terkait Abraham Samad. Entah ini berkait atau tidak, yang pasti ada empat laporan masyarakat ke Bareskrim . Pertama, laporan atas dugaan Abraham kerap melakukan aktivitas politik, di luar ranah tupoksi KPK. Kedua, pemalsuan dokumen negara. Ketiga, penyebarluasan rekening Komjen Budi Gunawan. Keempat, pemilikan senjata api tanpa izin. Tampaknya, hal itu sejalan pula dengan semangat PDIP yang meminta Budi Gunawan tetap dilantik sebagai Kapolri. Ketua Bidang Hukum DPP PDI Perjuangan Trimedya Panjaitan menyatakan bahwa PDI-P tetap ingin Presiden Joko Widodo melantik Komjen Budi Gunawan. Politikus Partai Demokrat Ruhut Sitompul juga yakin presiden akan melantik Budi Gunawan. Partai Nasdem yang tadinya juga ngotot, kini melunak dan menyerahkan kepada presiden soal dilantik tidaknya Budi Gunawan.
Agaknya, keinginan untuk dilantik juga ada pada Budi Gunawan. Calon Kapolri ini berniat menggugat Jokowi ke Pengadilan Tata Usaha Negara bila praperadilannya dimenangkan. Eh, apa kabar Jokowi? Jokowi agaknya harus bersiap-siap menghadapi Budi Gunawan. Pasalnya, Calon Kapolri ini berniat menggugat Jokowi ke Pengadilan Tata Usaha Negara bila praperadilannya dimenangkan dan tidak segera dilantik. Tapi, Jokowi ada janji, katanya minggu ini mau memutuskan soal polemik Budi Gunawan. Ternyata, sampai berita ini ditulis belum ada keputusan yang disampaikannya. Mudah-mudahan kisruh KPK-Polri cepat berlalu sebagaimana keyakinan Wapres Jusuf Kalla bahwa masalah KPK-Polri akan cepat selesai. Sudah, sudah, kita dinginkan kepala. Sekarang yang paling penting, kita sediakan payung. Itu lo biar aktivitas kita di hari Valentine ini tidak terganggu oleh hujan. Selamat berhari Valentine. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi