Sepekan Peluang Usaha: Kopi dan butik berjalan



Untuk memulai usaha kita tidak boleh mundur maju mundur maju seperti Syahrini.  Kita harus terus maju dan yakin bahwa usaha kita pasti berdiri. Kalau tidak bisa berdiri, ya, duduk saja. He, he, he…. Becanda aja.  Memangnya kita mau mendudukkan usaha.

Sudahlah, mari ngopi dulu. Sruputttt! Hemm, menyegarkan. Rongga dada kita terasa mengembang tersentuh aroma kopi. Membuat kita merasa lebih segar. Tapi, ingat ya, kesegaran kopi ini berasal dari Rumah Kopi. Itu lo usaha yang didirikan oleh  Sony Wijaya di Surabaya, Jawa Timur, pada 2010.  Rumah Kopi saat ini sudah memiliki 12 mitra dan satu gerai milik pusat, di antaranya berlokasi di Surabaya, Lamongan, Semarang, Yogyakarta, dan Tuban.

Berminat mencecap kesegaran laba rumah kopi, silakan saja. Sony sudah menawarkan kemitraan sejak 2010. Ada dua paket investasi: booth dan tanpa booth. Paket booth terbagi lagi ke dalam lima pilihan: paket manual dan mesin dengan harga Rp 28 juta, paket mesin senilai Rp 26 juta, paket manual dan klasik senilai Rp 18 juta, paket manual senilai Rp 15 juta, dan paket manual minimalis senilai Rp 10 juta.


Harga jual produk berkisar Rp 5.000-Rp 15.000 per gelas. Rata-rata target omzet sekitar Rp 350.000 sehari atau Rp 10,5 juta per bulan. Setelah dikurangi biaya operasional, mitra akan mendapat keuntungan bersih sekitar Rp 3 juta. "Untuk paket Rp 15 juta, mitra bisa balik modal paling lama lima sampai enam bulan," ujar Sony.

Ngomong-ngomong soal kopi, kayaknya kita  juga wajib menikmati Filosofi Kopi. Lo, ini kan judul film. Memang, yang bilang itu judul buku siapa. Wah, itu juga judul buku, tepatnya judul novel Dewi Lestari. Novel ini kemudian dijadikan film. Oh!

Yang kita omongin sekarang Filosofi Kopi yang merupakan kedai kopi. Nama ini memang terinspirasi dari film Filosifi Kopi. Kok bisa? Ya bisalah, karena yang mempunyai usaha ini, Angga Dwimas Sasongko, memang orang yang membuat film Filosofi Kopi. Lagi pula, pengetahuan Angga soal kopi enggak diragukan lagi. Dia pernah melakukan riset tentang kopi untuk pembuatan filmnya itu.  Angga bilang, pengalamannya selama melakukan riset untuk pembuatan film Filosofi Kopi ke berbagai kota membuatnya makin tertarik dengan kopi.  Karena itu, Angga langsung bikin   PT Filosofi Kopi untuk menaungi kedai kopinya itu.

Siapa sebenarnya Angga? Angga itu seorang film maker yang andal. Besutannya acap mendapat penghargaan. Garapannya  yang cukup terkenal antara lain: Cahaya Timur: Beta dari Maluku, Hari untuk Amanda, dan Filosofi Kopi tadi. Cahaya Dari Timur: Beta Maluku mendapat penghargaan dari Festival Film Indonesia (FFI) 2014 sebagai film bioskop terbaik. Film ini adalah film pertamanya yang dia produksi lewat rumah produksi Visinema di tahun 2014.

Kiprah Angga di dunia film diawali setelah lulus SMA.  Tepatnya di tahun 2004, saat umurnya masih 19 tahun. Ia mulai bergabung dengn beberapa rumah produksi. Ingin mengembangkan idenya sendiri dengan lebih leluasa, akhirnya Angga memutuskan untuk membuka rumah produksi sendiri di tahun 2008. Selain menghasilkan karya sinematografi, Angga juga mengembangkan bisnis di luar itu dengan mendirikan perusahaan mebel interior berlabel Trysliving di 2011.  Cihui juga si Angga.   

Kita sudah ngopi, enggak ada salahnya kita merasakan kentang goreng ulir. Adalah Yudiawati Setiawan yang meluncurkan kentang ulir dengan merek usaha Twisto Potato. Gerai ini menawarkan jajanan kentang goreng ulir yang diberi varian bumbu serta topping mayonaise. Salah satu inovasi menunya seperti sosis bakar tusuk yang dibalut dengan kentang ulir. Yudiawati membuka gerai pertamanya di Tangerang pada Desember 2013 lalu.

Ngiler ya pengen merasakan, sudah sikat saja kemitraannya. Lagi pula Yudiawati sudah menawarkan kemitraan sejak  Agustus 2014. Sudah rogoh kocek saja  Rp 110 juta. Mitra akan mendapatkan hak penggunaan merek selama lima tahun, satu set booth, perlengkapan memasak dan peralatan usaha, seragam dan pelatihan karyawan, serta bahan baku awal senilai Rp 5 juta.  

Harga jual kudapan ini Rp 23.000−Rp 35.000 per porsi. Dengan target  penjualan rata-rata 100 porsi per hari, mitra bisa meraup omzet sekitar Rp 80 juta per bulan. Laba bersih bisa sampai 35% sebab bahan baku tidak memerlukan banyak modal. Pusat akan mengutip biaya royalti 5% dari omzet per bulan. Bahan baku yang dipasok dari pusat adalah kentang, bumbu, dan kardus kemasan.

Sekarang kita sikat makanan penutup, yaitu es krim. Enggak boleh nambah ya. Es krim ini beranama Scoops Ice Cream, yang didirikan Ahmad Subastiar Ulan Maya asal Cikarang, Jawa Barat.,sejak akhir 2014.  Berminat bermitra?  Ahmad manawarkan dua paket investasi, yakni paket foodcourt Rp 6 juta dan paket mini kafe senilai Rp 8,5 juta. Pada paket foodcourt, mitra berhak menjual lima varian rasa es krim dengan empat macam cara penyajian, di antaranya di cone dan bowl waffle.

Ahmad mematok target pendapatan sekitar Rp 300.000−Rp 600.000 per hari atau sekitar Rp 12 juta−Rp 24 juta per bulan. Jika target tercapai, mitra bisa balik modal dalam dua bulan, dengan laba bersih sebesar Rp 5 juta per bulan.

  Pasar terapung dan sarung tenun Watusampu

Sudah kenyang, yuk kita ke Kalimantan. Di sana ada dua pasar terapung  yang cukup terkenal yang melewati dua jalur sungai.  Yang pertama adalah pasar terapung  yang berada di sepanjang  jalur Sungai Barito. Ada Pasar Muara Kuin,  pasar ini yang paling tua usianya sebab sudah ada sejak masih ada Kerajaan Banjar.  Pasar terapung ini berada di wilayah Kelurahan Alalak Selatan, Kecamatan Banjarmasin Utara Banjarmasin. Adapun pasar terapung lainnya bernama Pasar Terapung Lok Baintan yang berada di jalur Sungai Martapura dan masuk ke wilayah Kabupaten Banjar.

Kedua pasar ini memang cukup terkenal sejak dulu, namun kini  pedagang  dan pembeli di kedua pasar ini makin sepi saja. Selidik punya selidik, ternyata sepinya pedagang dan pembeli  di kedua pasar ini terjadi karena ada pasar idaman lain. Cailah, kayak orang saja.  Pasar ketiga itu adalah  Pasar Terapung Siring Piere Tendean.

Pasar Terapung Siring Piere Tendean ini merupakan pasar terapung yang dibuat pemerintah Kabupaten Banjar akhir 2013 lalu. Lokasinya berada di Sungai Martapura dan tepat berseberangan dengan Masjid Sabilal Muhtadin.  Yang menjadi daya pikat, Pasar Siring Piere Tendean ini memang dibuat untuk tempat wisata sehingga pedagang yang berjualan disini dibayar oleh pemerintah kabupaten.

Alhasil, para pedagang di Muara Kuin sangat khawatir popularitas pasar Muara Kuin dan Lok Baintan semakin menurun. Siti Nurjanah (40), salah satu pedagang buah-buahan, mengenang bahwa dulu bukan hanya turis lokal yang datang ke sini, turis asing sering juga berkunjung menyewa klotok (perahu kecil). Bahkan popularitas pasar terapung di Kalimantan pernah melebihi pasar terapung di Vietnam dan Thailand. Nurjanah menyayangkan gagasan pemerintah membangun pasar terapung buatan itu.

Kasihan ya, dua pasar terapung tertua di Kalimantan kalah sama pasar idaman lain, si Pasar Terapung Siring Piere Tendean. Sayangnya, kita akan mendengar kisah yang kurang lebih sama dengan pasar terapung itu. Siapkan air mata, eh, sapu tangan dan ember. Lebay!

Tahu enggak,  jumlah perajin sarung tenun di Kelurahan Watusampu, Donggala, Sulawesi Tengah terus menyusut dari tahun ke tahun. Ah, jadi mau sedih. Penyebabnya, menurut Jaena, salah satu produsen sarung tenun di Watusampu,  rata-rata anak muda lebih memilih bekerja di kota atau menjadi perantau. Praktis, hanya orang tua saja yang masih menekuni profesi sebagai penenun. Sayangnya, tidak ada usaha apa pun yang dilakukan untuk menambah jumlah penenun di sana. Mereka khawatir, tanpa generasi penerus, usaha sarung tenun ini bisa punah.

Persoalan perajin sarung tenun Watusampu bukan hanya itu. Mereka juga menghadapi kendala pemasaran. Ini terjadi lantaran para perajin lebih banyak mengandalkan pemasaran dari mulut ke mulut. Hampir tidak ada perajin yang memasarkan produknya lewat internet. Nah, itu sudah tahu solusinya. Masalahnya sumberdaya manusianya enggak ada.

Persoalan lainnya adalah keterbatasan modal. Kendala ini membuat banyak perajin susah berkembang. Persoalan modal ini penting karena harga bahan baku benang cukup mahal, sekitar Rp 3 juta per bantal. “Karena kendala modal kami tidak bisa membeli bahan baku dalam jumlah banyak,” kata Jaena.

Mendengar cerita begini, yang mendengarnya kadang merasa sedih. Kadang membuat air mata mengucur tanpa bisa ditahan. Coba kalau perajin butuh modal, modalnya datang sendiri. Perajin batuk, alat tenunnya menenun sendiri. Perajin lapar, perutnya kenyang sendiri. Ayo, meme siapa tuh.

Sudah, sudah, jangan mengeksploitasi kesedihan. Sekarang kita mau melihat orang iseng. Adalah Dewi Kucu si orang iseng itu. Berawal dari keisengan membuat karya paper cutting art sebagai kado ulang tahun keponakannnya, Dewi Kucu menjadikan karya ini sebagai ladang usaha. Usaha ini dia tekuni sejak tahun 2010.

Latar belakang pekerjaannya sebagai seorang arsitek membuatnya tidak kesulitan mempelajari aneka teknik paper cutting ini. Dewi juga dekat dengan dunia kreatif ketika dia bekerja sebagai fotografer, dan digital marketer selama empat tahun.

Untuk pemasaran dan promosi, Dewi menggunakan berbagai media online seperti situs, Facebook, Twitter, dan Instagram. Dalam sebulan, rata-rata ia mampu menghasilkan 20 karya paper cutting art. Terkadang dia juga menerima pesanan untuk suvenir yang jumlahnya ratusan.

Hasil karyanya dia banderol mulai dari Rp 887.000-Rp 15 juta per unit. Harga jual tergantung dari ukuran dan kerumitan pembuatan. Yang paling laris adalah paper cutting art berukuran 38 cm x 38 cm seharga Rp 1,7 juta per unit. Bila dihitung, Dewi bisa meraup omzet sekitar Rp 30 juta–Rp 40 juta per bulan. "Namun tak jarang bisa lebih dari itu," ujar dia.

Itu namanya iseng-iseng berhadiah. Dewi Kucu bisa saja.

Butik berjalan dan camilan dalan stoples

Bagi yang sudah lulus sekolah atau kuliah pasti tidak merasa asing dengan selempang wisuda. Kalau merasa asing, silakan kenalan dulu. Walah. Nah, selempang ini sekarang sudah menjadi tren untuk dikalungkan kepada seseorang yang mendapatkan penghargaan dalam suatu ajang, bukan cuma wisuda.  

Tentu saja ini membuka peluang. Adalah Lili Nur Indah Sari yang menyabet peluang usaha itu. Dia memang bukan pemain tunggal. Artinya, sudah ada beberapa orang yang menjadikan selempang gelar sebagai peluang usaha. Lili sendiri baru dua bulan ini menjajal bisnis ini. Ia tertarik terjun ke usaha ini karena melihat tingginya kebutuhan selempang gelar. "Sementara, pemainnya masih sedikit," katanya. Melalui bisnis ini, Lili bisa meraup omzet Rp 2,7 juta–Rp 3 juta per bulan. Adapun laba bersihnya sekitar 50% dari omzet.

Selempang gelar dengan brand Selempang Nonsa ini menawarkan selempang yang terbuat dari bahan satin. Lili menggunakan jasa penjahit untuk membordir tulisan. "Kalau pola selempang sama tulisannya sudah saya bikin sebelumnya. Jadi tukang jahit hanya membordir," kata Lili.

Kalau begitu, boleh dong Lili kita kalungi selempang sebagai orang yang jeli menyabet peluang. Atau, sebenarnya bisa saja kita hadiahi Lili baju. Enggak usah ke mal, kita bisa beli di butik berjalan (mobile boutique). Itu lo butik dalam truk. Unik ya.  

Kita lihat yuk. Yang memiliki ide seperti ini adalah duo pebisnis, Alvin Halim dan Nicholas. Dua pria lulusan Purdue University di Amerika Serikat (ini membangun butik berjalan yang diberi nama Ellsworth. Ruang dalam truk pun disulap sedemikian rupa. Yang penting, meski di dalam truk, konsumen akan berasa seperti butik di dalam mal. Tak lupa, Ellsworth juga menyediakan ruang ganti.  

Meski telah dirancang sejak 2013, butik berjalan Ellworth baru resmi beroperasi November 2014. Alvin bercerita, saat itu, mereka diundang oleh manajemen FX untuk ikut meramaikan ajang lari maraton yang diselenggarakan pengelola mal tersebut. “Respons pertama cukup baik, banyak orang yang sehabis lari datang dan membeli baju di Ellsworth,” ujar Alvin.

Tak hanya mengedepankan konsep butik mobil, Alvin dan Nicholas tetap mengutamakan kualitas produk yang dijualnya. Saat ini, butik Ellsworth menjual kemeja pria yang diproduksi sendiri. Sayang, Alvin masih enggan mengungkapkan perolehan omzet tiap bulan. Begitu pula dengan besar profit bisnisnya.  “Yang jelas kami cukup kaget, permintaan bisa sebanyak ini,” kata Alvin.

Sudah membeli baju di butik berjalan. Sudah mundur-maju dan merasa cantik. Yuk mari kita temui  Fajrin Ramdhani, si penjual cokelat marshmallow dan cokelat crunchy yang dimasukkan ke dalam jar atawa stoples kecil yang biasanya untuk selai. Fajrin memberi usahanya Chocorife.

Ide usaha yang baru dijalankan Fajrin pertengahan 2014 ini adalah kebiasaan anak-anak muda yang suka memfoto makanan untuk diupload ke media sosial. “Itu yang membuat saya membuat makanan dengan tampilan unik," kata Fajrin.

Menurut Fajrin, cara pembuatan cokelat marshmallow ini terbilang mudah. Dia hanya mencampurkan marshmallow berbagai rasa dengan lelehan cokelat. Adapun untuk produk cokelat crunchy hanya mencampurkan sereal dengan cokelat leleh. Setelah itu produk dimasukkan ke dalam jar dan diberi merek.

Dengan konsep berjualan dengan kemasan seperti ini, bisnis kudapan cokelat miliknya mendapat respon bagus dari konsumen. Dalam sehari dia bisa memproduksi sekitar 20 jar sampai 50 jar cokelat. Harga jualnya dibanderol Rp 25.000 per jar. Dia mengaku bisa mengantongi omzet hingga Rp 20 juta per bulan. Laba bersih yang bisa dia raih sekitar 20%−30%. Wah, Fajrin benar-benar menggiurkan, eh, bukan Fajrinnya melainkan usahanya yang benar-benar yahud.

Eh, ternyata kudapan dalam kemasan stoples imut bening ini juga enggak susah dibawa-bawa. Tinggal masukkan ke tas, si botol sudah kebawa. Kalau mau difoto atau mau dimakan tinggal diambil. Enggak susah kan. Kalau masih susah juga, belajar lebih keras lagi dan minta soal yang lebih gampang. Emangnya lagi ujian. Wah, sori, kita akhiri saja kebersamaan kita ini. Selamat berakhir pekan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi