JAKARTA. Pelemahan nilai tukar rupiah belum jua berhenti. Per Selasa (20/8), kurs tengah Bank Indonesia sudah melewati Rp 10.500 per dollar AS. Pasar dinilai tak melihat adanya sinergi antara kebijakan fiskal dan moneter. "Pengendalian nilai tukar tak bisa hanya mengandalkan Bank Indonesia," tegas anggota Komisi XI DPR Arif Budimanta, Selasa (20/8). Menurut dia, kebijakan moneter tanpa ada perbaikan struktural di sektor fiskal, hanya membuat beban BI kian berat yang terindikasi dari terus tergerusnya cadangan devisa. Cadangan devisa di Bank Indonesia terus tergerus seiring pelemahan rupiah sepanjang tahun ini. Setelah melonjak dan terakumulasi di atas US$ 100 miliar tahun 2011, cadangan devisa per 31 Juli 2013 turun menjadi US$ 92,67 miliar, dan masih terus turun.
Angka per akhir Juli itu sudah turun lebih dari US$ 20 miliar jika dibandingkan posisi per 28 Desember 2012 di posisi US$ 112,78 miliar, yang digunakan untuk operasi moneter. Defisit neraca perdagangan Salah satu indikasi tak tersinergikannya kebijakan fiskal dengan moneter adalah, adanya defisit neraca perdagangan yang memburuk. Di kuartal II 2013, sebut dia, defisit neraca perdagangan membengkak menjadi 4,4% dari pendapatan domestik bruto, setelah kuartal I 2013 tercatat defisit 2,4%. "Ini (defisit kuartal) terbesar dalam sejarah," ujar dia. Menurut Arif, defisit neraca perdagangan berlangsung karena kebijakan fiskal pemerintah pada industri bahan baku atau hulu masih tak menarik. Sementara, perlakuan terhadap eksportir pun tak mendorong gairah untuk memburu pemasukan dari devisa hasil ekspor. Arif mengingatkan, rupiah mengalami pelemahan paling dalam di kawasan regional. "Kalau tidak ada perbaikan terhadap neraca perdagangan, pelemahan ini masih akan terus berlanjut," tegas dia. Melorotnya nilai komoditas ekspor, serta meningkatnya nilai impor dari waktu ke waktu, ujar Arif, merupakan data riil yang menggambarkan kegagalan pemerintah. "Kegagalan menggenjot produktivitas nasional memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri." Pada sisi lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih saja bertumpu pada konsumsi. Situasi hari-hari ini, imbuh Arif, telah memperlihatkan inflasi yang semestinya bersifat musiman menggelagat menjadi permanen bila pemerintah tak segera berupaya melakukan pengendalian. Misalnya, inflasi bahan pangan yang biasanya musiman, kini bisa terjadi di sembarang bulan, bahkan bukan sekali dipicu oleh kelangkaan bahan makanan selain beras. "Bila dibiarkan, kenaikan biaya hidup tak terhindarkan," tegas dia. Langkah fundamental dan struktural Karenanya, Arif berpendapat perlu segera diambil langkah-langkah fundamental dan struktural. Pengendalian rupiah, ujar dia, tak semestinya dilakukan dengan mengerem pertumbuhan kredit yang bisa berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi. "Yang harus dilakukan adalah pengaturan
cash flow nasional," ujar dia. Arif berpendapat, Bank Indonesia perlu mempertimbangkan relaksasi ketentuan untuk melakukan pendalaman pasar valuta asing, untuk memikat aliran modal masuk (
capital inflow). "Termasuk mengaktivasi instrumen FX swap sebagai fasilitas hedging untuk dana asing yang akan diinvestasikan di pasar rupiah domestik," sebut dia.
Namun di sisi lain, Arif menegaskan, ekspor harus didorong dan impor harus sangat dikendalikan. Produksi nasional, mutlak harus didongkrak, termasuk produksi sektor pertanian, serta industri perkapalan dan sektor kelautan. "Agar impor pangan dan defisit neraca djasa bisa ditekan," tegas dia. Kebijakan fiskal pemerintah harus disusun dalam kerangka mendorong ekspor. "Misalnya dengan menurunkan pajak ekspor dan promosi perdagangan agresif," sebut dia. Sebaliknya untuk mengendalikan impor, lanjut Arif, pajak impor harus dinaikkan dengan dimulai dari barang mewah. Selain itu, Arif mendesak strategi pengembangan industri dan produksi nasional, terutama industri menengah dan kecil. "Penciptaan lapangan kerja, realisasi anggaran, serta implementasi program pedesaan, UMKM, dan sosial, perlu dipercepat" kata dia. (Palupi Annisa Aulani/
Kompas.com) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Asnil Amri