Serangan bertubi bikin Garuda lunglai



Badai itu tak jua reda. Pekan lalu, nilai  tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) menggelepar ke level terlemah sejak April 2009, hingga menembus Rp 11.347 per dollar AS di pasar spot, Selasa (27/8).

Pasar bergeming merespons paket kebijakan yang dirilis oleh pemerintah pada Jumat (23/8). Ada empat kebijakan yang dirilis pemerintah merespons perkembangan terakhir di pasar yang menekan nilai  tukar rupiah dan harga saham. Empat paket kebijakan tersebut diarahkan untuk mengatasi biang kerok defisit neraca berjalan dengan mendorong ekspor dan membatasi impor sektor tertentu, penjagaan daya beli, serta pengendalian inflasi.

Ekonom Bank Central Asia David Sumual menilai, kebijakan yang dirilis pemerintah tersebut sejatinya cukup bagus  karena mencerminkan rencana pembenahan masalah struktural perekonomian kita. Namun,  seharusnya, langkah-langkah itu sudah pemerintah lakukan sejak jauh-jauh hari. Selain itu, dampak kebijakan pembenahan struktural itu baru akan terlihat dalam jangka menengah dan panjang. Sedangkan kondisi pasar ketika itu ibarat orang sakit yang tengah butuh pertolongan pertama nan segera.


Dus, ketika yang keluar adalah obat yang efeknya membutuhkan waktu, pasar kecewa. “Pasar melihat kebijakan pemerintah belum jelas, harusnya fokus pada produksi dan tak semata memacu konsumsi,” komentar David, Rabu (28/8).

Imbasnya, para pemodal asing terus menarik asetnya keluar dari pasar domestik. Dari pasar saham saja, total hot money yang melesat keluar selama 26 Agustus–29 Agustus lalu mencapai US$ 155,76 juta atau setara Rp 1,71 triliun (dengan kurs US$1 = Rp 11.000).

Tersulut panik

Rupiah pun kian tersudut. Kurs tengah Bank Indonesia (BI) mencatat, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menembus Rp 10.950, Rabu (28/8). Di pasar spot, kurs rupiah melawan dollar AS lebih merana hingga mendekati Rp 11.400.

Sedangkan, di gerai penukaran mata uang asing (money changer) dan bank-bank umum,  lonjakan harga dollar AS lebih dahsyat lagi. The greenback bahkan dijual di kisaran

Rp 11.700, hendak memecah level psikologis tahun 2008, yakni di level Rp 12.000.

Selain tekanan aksi jual aset  pasar modal oleh asing, aksi para spekulan juga memojokkan mata uang Garuda. “Banyak yang sengaja menahan dollar AS alias tidak menjualnya ke pasar karena berspekulasi dollar AS akan terus naik,” ujar Edi Masrianto, Kepala Tresuri Bank Rakyat Indonesia.

Para pengamat pasar menilai, tanpa kepanikan yang berlebihan yang memicu aksi spekulasi pelaku pasar, seharusnya, nilai tukar rupiah tak perlu terdepresiasi hingga sedalam itu. Lana Soelistianingsih, ekonom Universitas Indonesia, menghitung, dengan asumsi tingkat inflasi 9%, depresiasi nilai tukar rupiah semestinya cuma 7% atau tertahan di kisaran Rp 10.379 per dollar AS.

Faktanya, KONTAN mencatat, di pasar spot, rupiah sudah terjatuh hingga 16% sejak awal tahun. Sedikit lebih rendah dibanding dengan nilai rupee India yang merosot sampai 17%.

Rupiah dan rupee bersama dengan valuta negara berkembang lain saat ini tengah kompak tiarap menghadapi the greenback akibat rencana pengurangan stimulus (tapering off) dari The Federal Reserve, bank sentral AS.

Ditambah defisit neraca berjalan yang kian memburuk, ancaman inflasi tinggi, dan cadangan devisa yang menipis, rupiah seolah kehabisan darah. Aksi para spekulan dan dana asing  yang terus mengalir keluar memperburuk situasi ini.

Padahal, kendati capital outflow cukup deras yaitu berkisar US$ 23,5 miliar selama Agustus ini, dana asing di pasar domestik masih cukup banyak. “Di pasar saham masih tersisa sekitar US$ 135 miliar,” kata Lana.

Adapun, duit para pemodal asing di Surat Utang Negara (SUN) per 28 Agustus lalu masih mencapai Rp 284,75 triliun atau sekitar US$ 28 miliar. Angka itu mencapai 31% dari total SUN yang diperdagangkan di pasar.

Dengan kata lain, masih lebih banyak investor asing yang memilih tinggal di pasar domestik tinimbang yang angkat kaki keluar. Namun, apa boleh buat, “kepanikan” seolah menjelma menjadi drama tersendiri yang  digerakkan oleh para spekulan.  “Para bandar yang menjadi penggerak pasar terus menekan dan ingin BI mengerek bunga acuan sebagai bentuk insentif,” bisik sumber KONTAN.

"Kemoterapi" ala BI

BI menggelar rapat Dewan Gubernur (RDG) di luar jadwal  rutin pada Kamis (29/8). Sebelum rapat itu digelar, mayoritas pelaku pasar, terutama kalangan investor asing dan perbankan, terus mengarahkan agar bank sentral mau mengerek bunga acuan lagi.

Harapan itu dipenuhi oleh penguasa Thamrin. BI yang dipimpin oleh Agus Martowardojo, mantan Menteri Keuangan dan mantan Direktur Utama Bank Mandiri, memutuskan untuk mengerek lagi BI rate sebesar 0,5% sehingga bunga acuan bertengger di 7% sejak 29 Agustus lalu. Dus, hanya dalam tiga bulan, BI rate melesat 1,25%. “Kebijakan itu sebagai respons jangka pendek BI untuk stabilisasi pasar, juga pengendalian inflasi agar pasar tenang dan rupiah menarik lagi di mata asing,” kata Difi A. Johansyah, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI.

Langkah BI ini langsung direspons positif oleh pasar. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali menguat ke level 4.103,59 pada penutupan perdagangan Kamis (29/8). Sedang kurs rupiah menguat menjadi Rp 10.935 per dollar AS.

Pertanyaannya, seberapa efektif langkah BI tersebut? Lana menilai, langkah BI mengerek BI rate dan bunga Fasilitas BI (Fasbi) sudah cukup tepat untuk membendung pelemahan rupiah dan antisipasi inflasi Agustus 2013.

Muhammad Doddy Arifianto, ekonom Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), menilai, jika bertujuan mengendalikan inflasi, kebijakan BI itu bisa dimaklumi. Namun, perlu digarisbawahi, efek kenaikan BI rate yang bertubi-tubi itu akan berat bagi sektor usaha juga pebisnis di sektor usaha kecil dan menengah. Bunga kredit bank dipastikan naik. “Menaikkan BI rate ibarat kemoterapi. Langkah yang bertujuan membunuh sel kanker jahat ikut pula membunuh sel tubuh yang baik,” ujar Doddy beranalogi.

Doddy tak yakin efek kenaikan BI rate ke rupiah ini akan awet. Pasalnya, masalah utama yang menggerakkan sentimen pasar adalah kepastian kebijakan The Fed, suksesi kepemimpinan bank sentral AS, dan kondisi defisit neraca RI.

Kepastian kelanjutan stimulus AS kemungkinan baru akan didapatkan oleh pasar, pertengahan September nanti, saat The Fed menggelar rapat. “Untuk mengatasi ancaman krisis, memang tidak ada obat yang tidak pahit,” imbuh Doddy.

Pengamat pasar dari Aspirasi Indonesia Research Institute Yanuar Rizky menambahkan, langkah BI menguntungkan pelaku pasar keuangan, terutama pemodal asing. “Kenaikan BI rate melengkapi kebijakan quantitative easing atau pengucuran stimulus ala BI yang jauh lebih dermawan ala Sinterklas dibanding AS,” kata Yanuar.

Sebelumnya, BI memberikan instrumen hedging pada perbankan melalui transaksi swap dollar AS setiap Kamis. Lalu, ada aksi buyback obligasi oleh BI. Sekarang ditambah kenaikan bunga acuan. Tak cukup di situ, BI juga memperpendek batas kepemilikan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari enam bulan menjadi satu bulan.

Difi mengakui, segala bentuk kebijakan itu memang ditujukan untuk memikat investor asing agar kembali masuk ke pasar domestik. “Kemarin tekanannya besar sekali, dan kami belum bisa kalkulasi berapa arus keluar dana asing nanti jika The Fed benar menghentikan stimulus,” ujarnya.

Lantas, bagaimana hitungan dampaknya terhadap sektor riil akibat risiko kenaikan bunga? Difi bilang, itu sudah konsekuensi sehingga pertumbuhan ekonomi tahun ini diperlambat di kisaran 5,8% saja. Sedang inflasi tahun ini, menurut perkiraan BI, bisa berkisar 9%-9,8%.

Analis Harvest International Futures Tonny Mariano pesimistis obat dari BI itu akan kuat menyokong rupiah. Krisis Timur Tengah yang memanaskan harga minyak dunia membikin defisit neraca RI makin lebar. Pasar juga menunggu data ekonomi terbaru AS. “Rupiah pekan ini tak banyak bergerak di kisaran Rp 11.000–Rp 11.400,” prediksi Tony.

Namun, tak perlu berlarut-larut dalam kepanikan. Indonesia masih cukup punya bantalan dengan mengaktifkan bilateral swap agreement (BSA). Terakhir, BI menggandeng Jepang dengan BSA senilai US$ 12 miliar. “Kami juga tengah mendekati negara-negara lain untuk tujuan ini,” imbuh Difi.              

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Djumyati P.