JAKARTA. Lada merupakan salah satu komoditas perkebunan yang sudah cukup lama dikenal sejak abad ke-16. Bahkan hingga saat ini, Lampung tetap menjadi sumber lada terbesar di Indonesia. Sayangnya, laju konversi tanaman tersebut belakangan ini cukup besar. Alhasil, kelak, lada bisa jadi menghilang dari ujung Pulau Sumatra ini. Muhari, Ketua Kelompok Tani Margoyoso, Semarang Jaya, Kecamatan Air Hitam, Lampung Barat, mengatakan, lada di tempatnya tidak lagi rindang. Bahkan banyak tajar yang tidak lagi melekatkan tanaman lada. Penyebabnya adalah serangan penyakit jamur. "Begitu tanaman terserang, tinggal menunggu hari hingga tanaman mulai menguning”, katanya, baru-baru ini. Meski begitu, petani masih bergairah menanam lada karena harganya cukup bagus. Pada Maret lalu, harga lada sekitar Rp 80.000 an per/kg. Sebelumnya harga lada sempat mencapai Rp 100.000 per/kg. Cuma, Hilman, Ketua Kelompok Tani Way Kaca, Desa Sukabumi, Kecamatan Batu Brak, Lampung Barat menyebutkan, saat ini petani lebih fokus merawat kopi. Sedangkan lada sengaja ditanam di sela-sela tanaman kopi biar sekaligus perawatannya. "Masalahnya, akibat tidak ada pengaturan jarak tanam, maka terjadi kompetisi hara," ungkapnya. Selain itu kelembapan di bawah nauangan kopi cukup tinggi sehingga lada rentan terkena penyakit busuk pangkal batang. “Di Lampung Barat sendiri 5%-10% tanaman lada mati karena penyakit busuk pangkal Batang", aku Suroso, pembina petani di Lampung Barat. Suroso menambahkan, beberapa petani lada yang ikut serta di kegiatan rehabilitasi pada 2013 lalu, sekitar 30% tanamannya terkena penyakit busuk pangkal batang. Selain mengeluhkan penyakit busuk pangkal batang, Syarif Hidayat, Kepala Desa Kistang, yang juga petani lada di Kabupaten Lampung Utara, mengkhawatirkan serangan jamur akar putih pada tanaman panjat.“Beberapa tanaman tajar sudah mati karena penyakit jamur akar putih. Bila tidak segera ditangani maka akan menyebar ke tanaman panjat lainnya”, ujarnya. Berdasarkan hasil rekapitulasi Dinas Perkebunan Provinsi Lampung, luas areal lada yang terkena penyakit busuk pangkal batang pada triwulan IV 2013 sekitar 2.217 hektare (ha), dengan kerusakan terparah terjadi di Lampung barat seluas 1.140,45 ha, dan Lampung Utara seluas 695,83 ha.Adanya serangan hama ini menjadi tantangan berat bagi Lampung yang bertekad mengembalikan kejayaan komoditas lada di provinsi tersebut. Dulu, di masa penjajahan Belanda, lada Lampung sempat mencapai puncak kejayaan. Saat itu, luas areal lada di Lampung mencapai 100.000 ha. Kini, turun drastis tinggal 63.678 ha dengan produktivitas sekitar 500 kg/ha per tahun. Ada sejumlah program yang tengah dilaksanakan Pemprov Lampung, antara lain menetapkan daerah sentra pengembangan lada di Lampung Timur. Lainnya, melalui program perbaikan tanaman. Saat ini, pemerintah pusat juga telah mengucurkan sekitar Rp 3 miliar untuk program rehabilitasi lada di Lampung yang terpusat di Kabupaten Lapung Timur, Lampung Barat, Tanggamus, Way Kanan dan Lampung Utara dengan target areal 500 ha. Hanya saja, alokasi dana terbilang minim ketimbang program penyelamatan teh rakyat di Jawa Barat yang menghabiskan dana lebih dari Rp 40 miliar.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Serangan hama bikin lada Lampung tak lagi pedas
JAKARTA. Lada merupakan salah satu komoditas perkebunan yang sudah cukup lama dikenal sejak abad ke-16. Bahkan hingga saat ini, Lampung tetap menjadi sumber lada terbesar di Indonesia. Sayangnya, laju konversi tanaman tersebut belakangan ini cukup besar. Alhasil, kelak, lada bisa jadi menghilang dari ujung Pulau Sumatra ini. Muhari, Ketua Kelompok Tani Margoyoso, Semarang Jaya, Kecamatan Air Hitam, Lampung Barat, mengatakan, lada di tempatnya tidak lagi rindang. Bahkan banyak tajar yang tidak lagi melekatkan tanaman lada. Penyebabnya adalah serangan penyakit jamur. "Begitu tanaman terserang, tinggal menunggu hari hingga tanaman mulai menguning”, katanya, baru-baru ini. Meski begitu, petani masih bergairah menanam lada karena harganya cukup bagus. Pada Maret lalu, harga lada sekitar Rp 80.000 an per/kg. Sebelumnya harga lada sempat mencapai Rp 100.000 per/kg. Cuma, Hilman, Ketua Kelompok Tani Way Kaca, Desa Sukabumi, Kecamatan Batu Brak, Lampung Barat menyebutkan, saat ini petani lebih fokus merawat kopi. Sedangkan lada sengaja ditanam di sela-sela tanaman kopi biar sekaligus perawatannya. "Masalahnya, akibat tidak ada pengaturan jarak tanam, maka terjadi kompetisi hara," ungkapnya. Selain itu kelembapan di bawah nauangan kopi cukup tinggi sehingga lada rentan terkena penyakit busuk pangkal batang. “Di Lampung Barat sendiri 5%-10% tanaman lada mati karena penyakit busuk pangkal Batang", aku Suroso, pembina petani di Lampung Barat. Suroso menambahkan, beberapa petani lada yang ikut serta di kegiatan rehabilitasi pada 2013 lalu, sekitar 30% tanamannya terkena penyakit busuk pangkal batang. Selain mengeluhkan penyakit busuk pangkal batang, Syarif Hidayat, Kepala Desa Kistang, yang juga petani lada di Kabupaten Lampung Utara, mengkhawatirkan serangan jamur akar putih pada tanaman panjat.“Beberapa tanaman tajar sudah mati karena penyakit jamur akar putih. Bila tidak segera ditangani maka akan menyebar ke tanaman panjat lainnya”, ujarnya. Berdasarkan hasil rekapitulasi Dinas Perkebunan Provinsi Lampung, luas areal lada yang terkena penyakit busuk pangkal batang pada triwulan IV 2013 sekitar 2.217 hektare (ha), dengan kerusakan terparah terjadi di Lampung barat seluas 1.140,45 ha, dan Lampung Utara seluas 695,83 ha.Adanya serangan hama ini menjadi tantangan berat bagi Lampung yang bertekad mengembalikan kejayaan komoditas lada di provinsi tersebut. Dulu, di masa penjajahan Belanda, lada Lampung sempat mencapai puncak kejayaan. Saat itu, luas areal lada di Lampung mencapai 100.000 ha. Kini, turun drastis tinggal 63.678 ha dengan produktivitas sekitar 500 kg/ha per tahun. Ada sejumlah program yang tengah dilaksanakan Pemprov Lampung, antara lain menetapkan daerah sentra pengembangan lada di Lampung Timur. Lainnya, melalui program perbaikan tanaman. Saat ini, pemerintah pusat juga telah mengucurkan sekitar Rp 3 miliar untuk program rehabilitasi lada di Lampung yang terpusat di Kabupaten Lapung Timur, Lampung Barat, Tanggamus, Way Kanan dan Lampung Utara dengan target areal 500 ha. Hanya saja, alokasi dana terbilang minim ketimbang program penyelamatan teh rakyat di Jawa Barat yang menghabiskan dana lebih dari Rp 40 miliar.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News