KONTAN.CO.ID-JAKARTA. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) terus mengakselerasi penurunan emisi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) melalui sejumlah strategi mulai dari dukungan pelaksanaan pensiun dini PLTU, peningkatan bauran energi terbarukan hingga substitusi energi batubara. Implementasi
cofiring di PLTU kini menjadi salah satu program yang difokuskan PLN dalam menekan konsumsi batubara di sejumlah unit PLTU milik perusahaan setrum pelat merah tersebut. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Jisman P. Hutajulu mengatakan, implementasi
cofiring PLTU oleh PLN sejalan dengan komitmen Pemerintah Indonesia dalam mencapai target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai dokumen
Enhanced-Na5onally Determined Contribution (E-NDC).
"Target E-NDC pada tahun 2030 yakni pengurangan emisi dengan co-firing adalah sebesar 8,88 juta ton CO2 atau 5,73% dari total target pengurangan emisi subsektor pembangkit tenaga listrik," ujar Jisman kepada Kontan, Sabtu (31/8).
Baca Juga: PLTGU Tambak Lorok Blok 3 Dorong Pertumbuhan Investasi di Jateng Jisman menambahkan, implementasi cofiring juga merupakan salah satu cara untuk meningkatkan capaian energi baru dan energi terbarukan dalam bauran energi nasional. Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengatakan, penerapan cofiring biomassa terus menunjukan tren peningkatan dari tahun ke tahun. "Jumlahnya naik dibandingkan tahun kemarin. Jadi ada kenaikan terus, artinya ini direspon dari dua sisi baik itu PLN maupun produsennya," kata Dadan di Kementerian ESDM, pekan lalu. Dadan menjelaskan, pemanfaatan biomassa sebagai bahan bakar substitusi batubara di PLTU menjadi salah satu strategi dalam mengejar target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025 mendatang. Hingga tahun 2025, PLN menargetkan program cofiring pada 52 PLTU dengan proyeksi serapan biomassa mencapai 10 juta ton dan berpotensi menurunkan emisi hingga 11 juta ton CO2e per tahun. Sampai dengan tahun 2023 lalu, implementasi cofiring biomassa telah dilakukan pada 46 PLTU serapan biomassa mencapai 1 juta ton. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengungkapkan, implementasi cofiring PLTU oleh PLN menjadi komitmen perusahaan dalam mendorong pemanfaatan sumber energi terbarukan sekaligus menekan emisi yang dihasilkan dari pembangkit batubara. "Co-firing menjadi salah satu solusi cepat dalam mengurangi emisi karbon dan peningkatan bauran energi baru terbarukan (EBT) karena tidak perlu membangun pembangkit baru,” kata Darmawan. Demi memuluskan program cofiring, secara paralel PLN ikut menyiapkan kebutuhan biomassa dengan melibatkan masyarakat. Komitmen ini dijalankan PLN melalui anak usahanya, PLN Energi Primer Indonesia. Direktur Utama PLN EPI, Iwan Agung Firstantara mengatakan, program co-firing PLN EPI memanfaatkan limbah pertanian dan perkebunan seperti sekam padi, bonggol jagung, serbuk gergaji, serta cangkang sawit dan bukan berasal dari deforestasi. Menurut Iwan, Implementasi co-firing tidak hanya berdampak pada pengurangan emisi namun juga ikut mengerek perekonomian masyarakat setempat. "Kami melibatkan lebih dari 1,25 juta masyarakat dalam rantai pasok biomassa yang mencakup pengumpulan limbah, produksi, hingga distribusi rantai pasok, serta penanaman dan pengembangan ekosistem biomassa di 52 PLTU yang tersebar di seluruh wilayah Tanah Air dan sirkular ekonomi ini memiliki skala ekonomi Rp 9,43 triliun," kata Iwan. Tak hanya memanfaatkan biomassa, PLN pun mulai menginisiasi strategi baru untuk cofiring PLTU. PLN Indonesia Power kini tengah memulai tahapan pilot project atau proyek percontohan memanfaatkan green ammonia sebagai substitusi batubara di PLTU. Dukungan pengembangan green amonia untuk PLTU turut disampaikan oleh Kementerian ESDM. Jisman memastikan, Kementerian ESDM siap memberikan dukungan bagi PLN dalam menjalankan
coal phase down melalui penerapan cofiring biomassa dan retrofit ammonia. Bahkan, sebagian besar PLTU batubara direncanakan akan digantikan dengan ammonia secara bertahap mulai tahun 2045 mendatang. "Untuk penerapan green amonia pada draft Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional Tahun 2024-2060 sudah direncanakan akan bertahap mulai tahun 2045," terang Jisman. Direktur Utama PLN Indonesia Power Edwin Nugraha Putra mengatakan, implementasi green ammonia sebagai substitusi batubara akan dilakukan di PLTU Labuan. "Inisiatif ini merupakan langkah strategis dalam mendukung transisi energi berkelanjutan di Indonesia, sejalan dengan komitmen Pemerintah untuk mencapai netralitas karbon pada tahun 2060," kata Edwin dalam keterangan resmi, Senin (26/8). Untuk memanfaatkan green ammonia sebagai energi primer, PLN Indonesia Power melakukan studi kelayakan dengan menggandeng PT Pupuk Kujang dan IHI Corporation. Melalui kerja sama ini PLN IP, IHI dan Pupuk Kujang akan mengkaji aspek teknis dan ekonomi dari seluruh rantai nilai mulai dari pasokan green ammonia hingga penerapan pembakaran. Komitmen menekan emisi pembangkit batubara tidak menjadi tanggung jawab PLN sendirian, Kementerian ESDM turut hadir dengan dukungan kebijakan.
Baca Juga: PLN Pastikan Pasokan Listrik Andal Selama Kunjungan Paus Fransiskus dan ISF 2024 "Kementerian ESDM memastikan agar PLTU yang dibangun setelah terbitnya Peraturan Presiden 112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik berkomitmen melakukan pengurangan emisi GRK minimal 35% dalam jangka waktu 10 tahun sejak PLTU beroperasi dibandingkan dengan rata-rata emisi PLTU tahun 2021, dan hanya beroperasi sampai dengan tahun 2050," imbuh Jisman. Peneliti dari Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov mengatakan, program cofiring pada PLTU yang dijalankan PLN mengalami tren peningkatan yang signifikan dimana pemanfaatan biomassa sebagai bahan bakar substitusi batubara terus meningkat setiap tahunnya. "Tahun lalu di 2023 itu volume biomassa tumbuh 71% dibandingkan 2022 dimana serapannya hampir 1 juta ton. Saya melihat ini sudah dijalur yang tepat," ungkap Abra kepada Kontan, Senin (2/9). Abra menjelaskan, dengan target pemanfaatan biomassa yang mencapai 10 juta ton pada 2030 mendatang, ada sejumlah poin penting yang harus diperhatikan baik oleh pemerintah maupun PLN. Selain ketersediaan biomassa karena harus bersaing dengan sektor industri lain, PLN juga harus memastikan keekonomian bahan baku biomassa yang akan diserap. Kehadiran regulasi berupa Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2023 tentang Pemanfaatan Bahan Bakar Biomassa Sebagai Campuran Bahan Bakar pada PLTU diyakini dapat mendorong tingkat keekonomian biomassa. Abra mendorong agar proses pengadaan biomassa kedepannya didorong lebih transparan untuk memastikan PLTU dapat memperoleh harga biomassa dengan kompetitif. Terlebih, kehadiran program cofiring PLTU diyakini bakal memberikan dampak positif untuk sektor pertanian dan perkebunan hingga upaya pengolahan sampah perkotaan. Di sisi lain, proyek percontohan cofiring dengan green ammonia yang kini tengah dijalankan oleh PLN pun diyakini akan ikut meningkatkan ketahanan energi nasional. "Indonsia memiliki potensi hidrogen yang sampai 1,75 juta ton per tahun dan kita juga Indonesia masih membutuhkan di industri pupuknya juga sangat besar karena ketergantungan pupuknya juga tinggi. Artinya Green Ammonia ini bisa menjadi solusi terhadap ketahanan energi dan juga ketahanan pangan kita ke depan," terang Abra. Meski demikian, upaya ini bukan tanpa halangan. Kepastian investasi dinilai krusial dalam implementasi teknologi program ini. PLN pun didorong untuk membuka peluang kerjasama dengan perusahaan internasional yang punya sepak terjang dibidang green ammonia. Sementara itu, Ketua I Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Bobby Gafur menjelaskan, tantangan keekonomian kini memang masih jadi kendala dalam upaya pemanfaatan biomassa sebagai bahan baku cofiring PLTU.
"Keekonomian biomassa itu masih belum menarik untuk orang bergerak memasok biomassa ke PLN. Harganya itu terkendala dengan biaya transportasi yang tinggi. Sudah ada Permen ESDM, tapi butuh dukungan kebijakan dari Kementerian Keuangan," terang Bobby ketika dihubungi Kontan, Selasa (2/9). Bobby menambahkan, dukungan untuk pengembangan cofiring diperlukan mengingat ini menjadi salah satu solusi dalam menekan emisi pembangkit batubara sekaligus meningkatkan bauran energi terbarukan. Langkah ini dinilai lebih layak ketimbang implementasi teknologi lainnya yang belum teruji.
Baca Juga: Setoran Dividen Terlalu Besar bisa Menimbulkan Risiko bagi Kinerja BUMN ke Depan Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Sulistiowati