KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Upah minimum kabupaten/kota (UMK) yang hanya naik minim belum berarti akan serta merta menarik investor. Upah yang rendah akan berimbas pada daya beli masyarakat yang menurun. Padahal, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar menilai, investor tentu juga akan mempertimbangkan daya beli masyarakat dalam melakukan ekspansi bisnisnya. "Kalau daya beli masyarakat rendah bagaimana barang dan jasa yang diproduksi akan dikonsumsi? Tentunya daya beli yang rendah akan menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi akan kurang laku. Barang akan ditaruh di gudang dan jasa tidak dibeli. Kan ini artinya masalah bagi investor," kata Timboel saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (2/12).
Timboel menyebut, kenaikan upah minimum tahun 2022 dengan formulasi di PP 36 tahun 2021 memang akan di bawah inflasi. Sehingga upah riil menurun walaupun upah nominal naik.
Baca Juga: Soal UMP 2022, Menteri Investasi: Kalau naik tinggi akan picu PHK Namun yang perlu menjadi perhatian, apabila upah riil menurun maka daya beli masyarakat dikhawatirkan juga akan menurun, hingga akan mendorong rata-rata konsumsi per kapita ikut turun. "Bila daya beli menurun maka akan berdampak pada pergerakan barang dan jasa yang dikonsumsi menurun, sehingga akan menyebabkan investasi melemah. Investor masuk ke Indonesia karena Indonesia dilihat memiliki pasar yang besar karena jumlah penduduk yang besar," imbuhnya. Pasalnya, jumlah penduduk yang besar jika tidak dibarengi daya beli yang baik akan menyebabkan pasar tidak berkualitas, dan akan menyurutkan investasi. Timboel menambahkan, struktur pertumbuhan ekonomi Indonesia 56% disumbang konsumsi masyarakat. Jika konsumsi masyarakat menurun maka pertumbuhan ekonomi menurun. Hingga akhirnya menyebabkan pengangguran terbuka meningkat dan kemiskinan meningkat. Kata dia, Menteri Ketenagakerjaan selalu bilang rumus kenaikan upah minimum menggunakan rumus PP 36/2021 akan menurunkan kesenjangan antara daerah yang upah minimumnya kecil dan daerah yang upah minimumnya tinggi. "Pernyataan ini salah besar karena daerah yang upah minimumnya rendah pun mengalami kenaikan upah minimum yang juga rendah baik persentase maupun nominalnya sehingga justru rumus PP 36 akan menciptakan kesenjangan lebih besar lagi," ujarnya.
Ia memberi contoh kenaikan UMP di Jawa Tengah lebih kecil dari kenaikan UMP di daerah dengan UMP yang lebih besar. Alhasil kenaikan upah minimum yang kecil di daerah dengan upah minimum rendah seperti Jawa Tengah akan menyebabkan konsumsi masyarakat semakin tertekan dan akibatnya pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut menurun. "Ada 4 propinsi dan beberapa kota kabupaten yang tidak naik seperti Karawang, Kabupaten Bekasi dan lainnya, akan menyebabkan daya beli semakin tertekan. Apalagi untuk sektor mikro dan kecil yang UM-nya ditentukan berdasarkan garis kemiskinan, akan menyebabkan konsumsi masyarakat tertekan," jelasnya.
Baca Juga: UMP 2022 siap berlaku di 34 provinsi, ini perbandingan dengan tahun 2021 Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat