KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) menolak rencana kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada 2022 karena dinilai akan mengancam kelangsungan hidup dan kesejahteraan pekerja. RTMM telah menyurati Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 25 Agustus dan meminta tenaga kerja yang bekerja di Industri Hasil Tembakau (IHT) dilindungi dengan cara tidak menaikkan tarif CHT. Ketua FSP RTMM-SPSI Sudarto mengatakan, langkah tersebut diambil setelah pihaknya mendengar bahwa pemerintah berencana menaikkan target penerimaan CHT pada Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RUU APBN) Tahun 2022 sebesar 11,9% menjadi Rp 203,92 triliun.
Anggota RTMM SPSI sebagian besar adalah pekerja IHT, khususnya di pabrik sigaret kretek tangan (SKT).
Baca Juga: Tekan perokok, Faisal Basri minta tarif cukai rokok konsisten naik 12,5% per tahun “Anggota kami sebagian besar adalah pekerja SKT yang sebagian kini terpaksa dirumahkan dengan penghasilan yang tidak optimal akibat pandemi. Maka itu, kami meminta pemerintah untuk tidak memberikan beban tambahan lagi berupa kenaikan tarif CHT," kata Sudarso dalam keteranganya, Jumat (3/9). Sejak tahun lalu ketika pemerintah menaikkan tarif CHT, RTMM-SPSI secara konsisten melakukan pemantauan terhadap kondisi tenaga kerja IHT. Hasilnya ditemukan bahwa kenaikan tarif CHT pada tahun 2021 memperburuk keadaan. RTMM SPSI meminta agar pemerintah tidak menaikkan cukai SKT pada 2022 seperti tahun ini. Tarif cukai SKT yang tidak naik pada tahun ini terbukti dapat membuat industri SKT dapat bertahan hidup. “Selama 10 tahun terakhir, SKT terus merosot tajam, padahal sektor ini padat karya yang menyerap tenaga kerja sangat banyak dari masyarakat dengan pendidikan yang terbatas,” ujarnya. Sudarto berharap keluhan RTMM SPSI didengarkan pemerintah. Serikat pekerja yang kini menaungi lebih dari 243.000 tenaga kerja ini membutuhkan kepastian agar seluruh anggotanya mendapatkan perlindungan untuk terus dapat bekerja dan melanjutkan kehidupannya. “Hampir setengahnya dari anggota kami yakni 153.144 orang merupakan pekerja yang menggantungkan hidupnya pada industri hasil tembakau, dan kami ingin menyampaikan kepada ke Presiden bahwa kondisi riil yang dialami para anggota kami cukup sulit,” jelas Sudarto. Dia menjelaskan bahwa setiap tahun para pekerja IHT harus mengalami ketidakpastian terkait kelangsungan kerja dan penurunan kesejahteraan akibat dampak regulasi yang ditetapkan.
Baca Juga: Pemerintah akan turunkan prevalensi perokok anak ke level 8,7% di tahun 2024 Pasalnya, begitu ada kenaikan tarif CHT yang berimbas pada menurunnya jumlah permintaan, maka pabrikan akan melakukan efisiensi yang berimbas kepada para pekerjanya. Belum lagi, tenaga kerja di IHT juga kini sangat dibatasi ruang geraknya akibat pandemi Covid-19 yang tidak kunjung usai. Ditambah lagi dengan prosedur protokol kesehatan di lokasi kerja yang menyebabkan mereka harus bekerja berdasarkan shift. “Kami hanya berharap industri ini jangan dianaktirikan, tetapi diberikan peluang untuk tetap bertahan dan memberi manfaat bagi tenaga kerja IHT dan juga negara,” pungkas Sudarto. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto