KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) meminta Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) untuk menghapus dana insentif bagi biodiesel. Pemberian insentif bertentangan dengan tujuan penggunaan dana perkebunan yang diamanatkan Pasal 93 Ayat 4 Undang-undang (UU) Perkebunan. SPKS meminta pembiayaan usaha perkebunan kembali pada pemberdayaan petani. "Dana BPDP-KS untuk kesejahteraan petani bukan untuk subsidi Biodiesel," ujar Ketua Departemen Advokasi SPKS Marselinus Andry, Selasa (27/3).
Dana perkebunan kelapa sawit yang dihimpun BPDP-KS pada periode 2015-2017 sebesar Rp27,94 triliun. Sebesar 89% digunakan untuk dana insentif biodiesel. Hal tersebut dinilai tidak adil oleh petani kelapa sawit. Pasal hanya terdapat 19 perusahaan yang menerima manfaat dari dana insentif tersebut. Petani hanya mendapat 11% yang terbagi dalam beberapa hal, yakni pengembangan sumber daya manusia, penelitian, pengembangan perkebunan, promosi perkebunan dan peremajaan perkebunan. Andry bilang peremajaan kebun sawit hanya mendapat jatah 1%. Pada tahun 2018 dinilai dana yang dihimpun oleh BPDP-KS lebih kecil. "Tahun ini, BPDP-KS memperkirakan penerimaan dana pungutan sawit hanya akan berkisar Rp10,9 triliun hingga Rp13 triliun," terang Andry. Meski begitu terdapat kenaikan persentase yang diterima oleh petani. Dana pungutan sawit tersebut akan dialokasikan untuk pembayaran insentif biodiesel dengan alokasi sebesar 70%, peremajaan 22%, pengembangan SDM 2%, penelitian dan pengembangan 2%, sarana dan prasarana 2%, dan promosi 2%. Hal tersebut dinilai belum cukup untuk peningkatan produktivitas sawit rakyat. SPKS tetap mendesak agar tidak hanya mengurangi namun meniadakan subsidi biodiesel.
Selain itu dana BPDP-KS yang ditujukan untuk petani pun sulit untuk diakses. Andry mencontohkan kesulitan pada pengajuan dana peremajaan kelapa sawit. Petani sawit yang mengajukan peremajaan harus membuat rancangan pembiayaan perencanaan perkebunan sawit dengan melengkapi data petani, legalitas lahan, dan sebagainya kepada Dinas Perkebunan di Daerah Kabupaten dan Provinsi. Selain itu petani juga harus melaksanakan kontrak dengan perusahaan sawit di sekitar. "Pola kemitraan ini membuat petani sawit seolah tidak memiliki hak dan kemampuan dalam konteks pengelolaan," pungkas Andry. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto